Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baneson, Melestarikan Tarian Dayak di Perbatasan

Kompas.com - 21/02/2014, 17:11 WIB
KURANGNYA perhatian kaum muda untuk melestarikan tarian Dayak di daerah perbatasan dan kekhawatiran hilangnya budaya lokal karena ”diakui” negara tetangga seperti Malaysia menjadi motivasi Baneson (49) untuk mendirikan Sanggar Daeng Kumang pada tahun 2008.

Sanggar Daeng Kumang menjadi wadah bagi para siswa, mulai siswa sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, untuk belajar berbagai tarian Dayak di perbatasan, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.

Tahun 1999 ketika pertama kali bertugas sebagai guru Sekolah Dasar Negeri 03 Sontas, Entikong, yang berbatasan langsung dengan Malaysia, Baneson sudah melihat ancaman hilangnya kebudayaan lokal, khususnya tarian Dayak, di perbatasan itu. Masyarakat Dayak, terutama yang tinggal di perbatasan pun sudah banyak yang tidak tahu budaya mereka sendiri.

Hal itu terjadi akibat arus globalisasi yang semakin kuat. Kaum muda yang akan menjadi ahli waris kebudayaan setempat tak bisa diharapkan lagi karena mereka sudah sibuk dengan hiruk-pikuk kehidupan masa kini.

Baneson jarang sekali melihat anak muda yang bisa memainkan alat musik tradisional Dayak, seperti sape’k (semacam gitar). Kaum muda di sini lebih sibuk dengan telepon seluler dan gadget yang berganti-ganti dengan cepat.

Padahal, menurut Baneson, semakin berpendidikan seseorang, seharusnya dia pun memiliki kecintaan terhadap kebudayaannya sendiri. Dengan demikian, ada keinginan untuk melestarikan kebudayaan itu dalam bentuk apa pun, baik keinginan untuk mempelajari, mempraktikkan, maupun mendirikan suatu institusi sebagai wadah belajar.

Dia sendiri memiliki keinginan untuk mendirikan sanggar tari sejak tahun 1999. Namun, berbagai keterbatasan membuat Baneson belum mampu mewujudkan keinginan tersebut. Apalagi di sekitar tempat tinggalnya tak banyak orang yang memiliki keinginan sama seperti dia. Bagi sebagian warga, keinginan Baneson itu bukan hal yang populer.

Seadanya

Tahun demi tahun berganti, tetapi tidak ada satu orang pun yang mau mendirikan wadah untuk melestarikan tarian Dayak di perbatasan. Jadilah tahun 2008 Baneson mendirikan Sanggar Daeng Kumang dengan bantuan dan dukungan rekan-rekannya.

”Puji Tuhan, harapan itu akhirnya bisa terwujud meskipun ketika itu kami hanya memiliki peralatan seadanya,” tuturnya.

Sayang, menurut Baneson, perkembangan Sanggar Daeng Kumang bisa dikatakan tidak secepat seperti yang dia harapkan. Salah satu penyebabnya kurangnya perhatian pemerintah pada pelestarian budaya Dayak, terutama di daerah perbatasan.

”Padahal, justru di daerah perbatasan itu yang rawan terhadap klaim dari negara tetangga,” kata Baneson.

Sekarang Sanggar Daeng Kumang memiliki sekitar 30 peserta didik yang merupakan siswa dan siswi dari sejumlah SD, SMP, dan SMA di Kecamatan Entikong. Dalam seminggu mereka berlatih tari-tarian Dayak dua hingga tiga kali.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG Cerita tentang asal mula tanaman padi terdapat di atap rumah Betang Toyoi, Tumbang Malahui, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah.
Tarian yang diajarkan di sanggar ini umumnya berkisah tentang kehidupan masyarakat di perbatasan. Lewat cara ini Baneson berharap siswa memahami jati diri mereka sebagai orang Dayak di perbatasan. ”Saya tak ingin anak muda Dayak kehilangan identitas mereka,” katanya.

Misalnya, tari Dayung Benang yang berkisah tentang pernikahan pada masyarakat di perbatasan. Dulu, pernikahan itu tidak mengenal batas antardua negara, tetapi kemudian pernikahan itu menjadi pernikahan campur antara warga Indonesia dan Malaysia.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com