Di keluarga Sait sendiri, dari tujuh anak hanya satu orang yakni Minan (36) yang mau bermain tanjidor. Itu pun setelah Sait dengan sabar membujuknya. Enam anak Sait lainnya memilih jalan hidup masing-masing. Agar dia memiliki satu grup lengkap, Sait merekrut kerabat yang masih terhitung keponakan atau cucunya.
”Alhamdulillah, sekarang saya punya satu grup pemain yang terdiri dari aki-aki dan anak muda,” ujar Sait yang mewarisi tanjidor dari kakak iparnya, Bang Banjir, pada 1970-an.
Sait sendiri belum puas dengan kemampuan anak muda yang dia rekrut. ”Mainnya baru asal tiup. Tapi kalau tekun lama-lama mereka pasti bisa main juga.”
Pada tuba milik Sait itu tercantum angka tahun pembuatan 1894. Di bawahnya tertera merek MJH Kessels, perusahaan alat musik di Tilburg, Belanda. Sebuah ”artefak” bunyi yang cukup tua.
Seperti Sait, Jaip Putra Jabar (65), pimpinan tanjidor Al Jabar dari Tangerang, juga berusaha keras melahirkan generasi baru pemain tanjidor sejak tujuh tahun lalu. Ada 20-an orang anak muda yang dia latih main musik tanjidor dengan cara yang sama seperti ketika Jaip dilatih tanjidor oleh engkongnya tahun 1960-an. ”Saya disuruh dengerin engkong mainin lagu. Terus saya inget-inget bunyinya dan saya tiru,” ujar Jaip.
Sekarang, dia merekam permainan musiknya dengan ponsel. Anak-anak muridnya diminta mendengarkannya lalu menirukannya. ”Kita belum kenal not. Lagu juga enggak pernah dicatet. Makanya kita maen pake perasaan aja dah,” tambah Jaip.
Semua lagu yang pernah diajarkan engkongnya, Jaip ajarkan kepada anak muridnya termasuk lagu-lagu yang menurut dia klasik, seperti ”Glatik Nguknguk”, ”Balo-balo”, ”Kramat Karem”, dan ”Kembang Kacang”. ”Itu lagu-lagu yang udah ada sebelum engkong saya lahir.”
Harus dibela
Regenerasi pemain, kata Sofyan Mardianta (40), pemimpin Tanjidor Putra Mayangsari, memang mendesak dilakukan secara luas jika tanjidor ingin selamat dari gerusan zaman. Selama ini, regenerasi pemain tanjidor umumnya berlangsung di lingkup keluarga dekat. Sofyan, misalnya, merupakan generasi kelima penerus tanjidor Mandor Niming yang didirikan tahun 1941. Dari Niming, tanjidor turun ke anaknya, Haji Risin.
Penerus Haji Risin, kata Sofyan, ada dua yakni Nya’at (mantu Risin) dan Haji Nawin. Penerus Nya’at selanjutnya adalah Marta (ayah Sofyan), sedangkan penerus Haji Nawin adalah Bang Piye. ”Nah, kalau tidak ada keluarga yang meneruskan, biasanya grup tanjidor lenyap,” ujar Sofyan.
Hal itu terjadi antara lain di Citeureup, Kabupaten Bogor, yang diduga kuat sebagai tempat berkembangnya tanjidor. Ping Yang (52), seniman gambang kromong asal Citeureup mengerut dahinya ketika ditanya adakah grup tanjidor yang tersisa di Citeureup dan sekitarnya. ”Siape ye? Tanjidor di sini udah selesai tahun 1990-an. Kalau kita bikin Cap Gomeh terpaksa datangin tanjidor dari Parung, Bogor,” kata Ping Yang.