Sore itu kapal feri dari dermaga di Pulau Male menuju Pulau Hulhumale dipadati penumpang. Kapal ini membawa sebagian besar penumpang yang bertempat tinggal di Hulhumale dan bekerja di Male.
Setibanya di Hulmuhale, sebagian penumpang memilih berkendaraan dengan bus umum, melewati jalan beraspal dan lingkungan perumahan yang tertata rapi, menuju tempat tinggal mereka. Sebagian lagi menggunakan sepeda motor pribadi yang sejak pagi diparkir di pelataran dermaga.
Setiap harinya, sebagian besar penduduk yang tinggal di Hulhumale ini harus menyeberang lautan selama 20 menit menggunakan feri menuju Male untuk beraktivitas. Mereka berdagang, berbelanja di pasar tradisional dan mal, atau bekerja di kantor.
Adapun Hulhumale adalah pulau yang dipusatkan sebagai tempat tinggal, tentu saja dengan beragam fasilitas pelengkapnya, seperti rumah sakit, pasar swalayan kecil, sekolah, tempat rekreasi taman dan pantai, tempat pengisian bahan bakar, dan pembangkit tenaga listrik.
Selain fungsinya, Male dan Hulhumale memiliki perbedaan lain. Male adalah pulau lama yang terbentuk secara alami. Sementara Hulhumale adalah pulau buatan, yaitu pulau yang dibuat manusia.
Pulau seluas 2 kilometer persegi itu direklamasi mulai Oktober 1997. Berdasarkan data dari Housing Development Corporation (HDC), pulau ini diharapkan menjadi tempat tinggal bagi 60.000 orang.
Saat ini, Hulhumale sudah dihuni sekitar 3.000 orang. Sebagian di antaranya mengungsi dari pulau lama yang musnah karena tsunami tahun 2004. Salah satunya adalah Ahmad yang bekerja sebagai sopir bus umum.
”Kami pindah ke sini karena tsunami. Awalnya tinggal di tenda-tenda pengungsian,” kata Ahmad, yang sekarang sudah tinggal di apartemen yang dibangun pemerintah.
Ancaman tenggelam
Program ini bisa membantu penduduk dari pulau yang rawan tenggelam untuk pindah ke pulau buatan. Tetapi, hal ini hanya berlaku untuk jangka pendek.
Meskipun terdiri dari banyak pulau, dengan jumlah 1.900-an buah, pulau-pulau di negara ini terancam ”hilang” karena pemanasan global yang membuat permukaan air laut terus naik. Apalagi, permukaan daratan di Maladewa secara umum cukup rendah, hanya setinggi pohon kelapa untuk titik tertinggi.
Sadar akan perubahan kondisi alam yang mengancam habitat mereka, penduduk Maladewa punya kepedulian tinggi akan lingkungan. ”Pada zaman dulu, orangtua mungkin tidak terlalu memperhatikan kondisi lingkungan. Tetapi, sekarang, semua mengerti pentingnya menjaga lingkungan, terutama laut,” kata Ivan, pemandu wisata.
Di sekolah dasar, misalnya, terdapat kurikulum tentang menjaga kelestarian laut, termasuk di dalamnya pelajaran menyelam. ”Nelayan juga tidak boleh memancing menggunakan alat yang merusak terumbu karang. Ikan harus dipancing satu-satu,” tutur Ivan, ketika memperlihatkan kesibukan pasar ikan di Male.
Sampah-sampah tersebut dan sampah harian dari berbagai tempat dikumpulkan di sebuah pulau, bernama Thilafushi, untuk kemudian diolah berdasarkan jenisnya.
Tak mengherankan, perairan Maladewa terlihat begitu bersih, mulai dari pantai hingga tengah laut. Keindahan biotanya pun bisa dinikmati, bahkan, dari permukaan laut.
Kepedulian penduduk Maladewa akan kelestarian lingkungan ini, tak hanya berpengaruh untuk kehidupan mereka. Sebanyak 600.000 wisatawan yang setiap tahunnya datang, bisa turut merasakan kenyamanannya. (Yulia Sapthiani)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.