Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenang Gunung Merapi

Kompas.com - 20/04/2014, 11:11 WIB
SUDAH hampir sebulan penduduk di sekitar Gunung Merapi menantikan apa yang akan terjadi. Letusan-letusan kecil seolah sudah menjadi cerita sehari-hari. Hingga akhirnya pada 26 Oktober 2010, jejak seismograf menjadi semakin hitam dan semakin tebal. Jarumnya bergerak cepat sekali.

Malam tidak hening lagi. Semakin terdengar dentuman-dentuman besar, tanah berguncang, dan suara kendaraan yang lalu lalang mengangkut warga. Wajah-wajah lelah itu pun berselimut abu. Ambulans mondar-mandir mengangkut warga yang terluka. Rumah dan jembatan runtuh.

Menyaksikan video di ruang teater Ketep Pass membawa kita pada peristiwa empat tahun lalu, ketika gunung berapi tersebut seolah terbangun dari tidurnya. Ruang teater yang tidak terlalu besar itu dalam satu hari memutar beberapa kali video tentang letusan dahsyat Merapi.

Selain ruang teater, di gardu pandang Ketep Pass kita juga dapat melihat museum dan melihat pemandangan di lereng Merapi yang hijau dan subur.

Siang pada akhir Maret 2014 lalu, matahari bersinar terik. Hanya ada beberapa orang yang masuk ke pintu gerbang Gardu Pandang Ketep Pass, Sawangan, Magelang, Jawa Tengah. Harga tiketnya Rp 15.000, sudah termasuk menonton di teater, masuk ke museum, dan sekaleng minuman bersoda di restoran Ketep Pass.

Dari sisi gunung yang dilihat dari Ketep, nyaris tidak ada tanda-tanda bahwa gunung tersebut pernah mengamuk hebat. Ketika terjadi erupsi besar itu ladang-ladang di kawasan Ketep sempat tertutup debu tebal dan tanaman rusak parah. Tidak lama, kawasan penghasil sayur dan buah ini pun bangkit kembali seperti sedia kala. Kebun-kebun semakin subur.

Setelah puas memandang punggung Merapi dari sisi Ketep, kami memutuskan untuk mengitari gunung, ke arah ”depan” atau ”mulut” Merapi, menuju ke arah Cangkringan, Sleman, Yogyakarta. Jarak tempuhnya sekitar 1 jam, melewati Salam yang merupakan daerah penghasil salak pondoh.

Jalan terus menanjak ke arah Cangkringan. Semakin dekat ke gunung, semakin banyak perubahan setelah erupsi besar itu terjadi. Ada sekitar 25 dusun yang tidak boleh ditinggali lagi setelah erupsi besar itu. Desa yang sudah tidak ditinggali itu saat ini dikelola menjadi kawasan wisata Merapi. Tidak ada air, tidak ada sawah, sehingga penghidupan mereka pun berubah.

Desa tujuan wisata

Mereka mengubah desa petani menjadi desa tujuan wisata. Mereka bekerja sama menyewakan motor biasa, motor trail, juga mobil-mobil jip yang dapat mengantarkan wisatawan menyusuri beberapa desa mati di lereng Merapi.

KOMPAS/ANASTASIA JOICE Rumah rusak setelah erupsi.
Dari Desa Kinahrejo, pengunjung dapat memilih kendaraan yang akan digunakan untuk bertualang di lereng Merapi itu. Motor-motor dapat mengantarkan ke rumah Mbah Maridjan, juru kunci Gunung Merapi. Biayanya sama, Rp 20.000 per motor. Dari tempat parkir di Kinahrejo, kita dapat naik ke Dusun Kinahrejo hingga di ujung desa. Dari sini, jika cuaca cerah, terlihat mulut gunung yang berbentuk V. Dari situlah Merapi memuntahkan laharnya.

Rute lain dapat ditempuh dengan menggunakan jip berkapasitas empat orang atau motor trail. Biayanya mulai dari Rp 250.000 untuk rute terpendek, baik untuk jip maupun motor trail dengan waktu tempuh terpendek sekitar 1 hingga 1,5 jam. Jangan khawatir ada persaingan harga di sini. Mereka telah sepakat untuk menetapkan harga yang sama agar terhindar dari persaingan tidak sehat.

Sebelum menaiki jip, sebaiknya jangan lupa siapkan selendang atau masker penutup mulut dan hidung dari debu. Hamparan material Merapi tersebut kering dan berdebu ketika dilalui. Apalagi jika jip berpapasan dengan truk-truk besar pengangkut batu dan pasir.

Selendang atau masker sangat membantu melindungi mata dari debu. Mengingat jip tidak beratap, topi bisa membantu menghalangi sinar matahari yang terik. Jangan lupa pula oleskan krim anti matahari untuk melindungi kulit dari terpaan sinarnya.

Perjalanan dimulai dengan menyusuri Kali Opak. Kali ini menampung aliran lava dari Merapi. Saat ini tidak ada lagi air. Yang ada hanya hamparan batu-batu besar dan kecil berwarna hitam. Truk-truk silih berganti mengangkut batu dan pasir. Siang menjelang sore ketika itu, terlihat seorang pekerja memotong batu besar yang digunakan untuk membuat batu nisan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com