Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenang yang Tiada di Balik Berita

Kompas.com - 28/05/2014, 15:37 WIB
ADA banyak hal yang justru kehilangan makna ketika ia lama ada dalam rengkuhan. Salah satunya ”kebebasan”. Newseum di Washington DC merayakan kebebasan dengan mengenang ketidakbebasan.

Angin sisa musim dingin berembus malas di Pennsylvania Ave NW menemani kaki-kaki yang berhenti di depan Newseum di Washington DC, Senin (28/4/2014). Panel-panel berlapis kaca yang menyuguhkan halaman depan puluhan surat kabar dari berbagai belahan dunia menyapa kaki-kaki yang berhenti.

”Newseum”, permainan kata ”news” dan ”museum”, memang sebuah museum sejarah pers Amerika Serikat (AS). Lebih daripada sebuah ”gudang koran”, museum seluas 23.225 meter persegi itu memaknakan kebebasan dengan beton sisa Tembok Berlin yang 28 tahun membelah Jerman.

Sisi barat tembok pembelah Kota Berlin yang didirikan 13 Agustus 1961 itu memesona mata dengan segenap keindahan warna cat semprot. Nuansa sebaliknya langsung terasakan begitu kaki melintasi sela Tembok Berlin.

Sisi timur dinding beton yang polos, angker, tak terjamah warga Berlin Timur yang hidup di bawah rezim militeristik Jerman Timur. Tiga meter dari dinding di sisi Berlin Timur itu berdiri Menara Kematian. Menara yang memastikan tidak ada seorang Berlin Timur pun menjamah Tembok Berlin.

KOMPAS/ARYO WISANGGENI GENTHONG Pengunjung Newseum Washington DC melihat koleksi ”mobil veteran” perang etnis di Yugoslavia yang terjadi tahun 1990, Senin (28/4/2014).
Melongokkan kepala ke pintu menara memantik ngeri melihat lorong vertikal sempit. Tangga besi di dinding seperti seringai kematian, menebar teror.

Dari Menara Kematian seperti itulah tentara Jerman Timur menembak Peter Fechter saat pemuda 18 tahun itu mencoba melompati Tembok Berlin pada 17 Agustus 1962. Mereka melarang warga Berlin Timur menolong Fechter yang terluka, membiarkannya tersuruk dan meninggal di sela-sela kawat berduri. Hingga tembok itu diruntuhkan pada 1989, sejumlah 246 warga Berlin Timur tewas saat mengikuti jejak Fechter.

Di balik berita

Newseum merangkai sejarah besar Tembok Berlin itu dengan cerita di balik jejalan berita di koran dan televisi kita. Kisah di balik berita itu diantarkan sebuah mobil putih penuh sayatan peluru dan serpihan ledakan.

Itulah ”mobil veteran” para fotografer majalah Time peliput perang etnis di Yugoslavia pada 1990. Retak-hancur kaca depan mobil itu menggenapi kisah heroiknya menyelamatkan para fotografer hilir mudik di tengah kancah perang demi sebuah foto di halaman majalah ternama itu.

Di depannya, ditaruh rompi anti peluru yang menyelamatkan Bob Woodruff, pembaca berita World News Tonight stasiun televisi ABC, dari bom yang meledak di Irak pada Februari 2006. Pilunya, rompi penyelamat itu ditaruh bersama sebuah helm hancur yang ditemukan dari lokasi penemuan helikopter pengangkut empat jurnalis—Keisiburo Shimamoto, Henri Huet, Larry Burrows, dan Kent Potter—yang ditembak jatuh di Laos pada 1971.

KOMPAS/ARYO WISANGGENI GENTHONG Journalists Memorial di Newseum Washington DC, Amerika Serikat.
Jejak darah di balik berita itu mengawali sebuah lorong berdinding kaca putih, Journalist Memorial. Panel-panel kaca putih di Journalists Memorial Newseum penuh dengan 2.246 nama jurnalis yang terbunuh saat meliput beragam peristiwa sejak 1837.

Udin

Duduk di sebuah bangku logam yang dingin di tengah Journalist Memorial, pelat-pelat kaca putih itu memelankan tiap suara menjadi bisikan dan kekhusyukan. Mendongak dalam diam, mata menelusur nama-nama, di sanalah nama 34 jurnalis yang terbunuh atau tewas saat bertugas di Indonesia terukir.

Nama Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin, jurnalis Harian Bernas Yogyakarta yang meninggal pada 16 Agustus 1996, terukir di atas nama Veronica Guerin. Guerin adalah jurnalis Sunday Independent yang tewas dibunuh mafia narkotika Irlandia pada 26 Juni 1996.

Kematian Udin jadi kasus gelap. Siapa sesungguhnya pembunuh Udin yang semasa hidupnya gigih memberitakan korupsi dan manipulasi kekuasaan di masa Orde Baru.

Praktik impunitas tak hanya melindungi para pembunuh Udin, tetapi juga menjadi pupuk bagi kekerasan dan pembunuhan berikutnya. Di pelat kaca yang sama, terukir nama Naimullah (jurnalis Harian Sinar Pagi di Kalimantan Barat, ditemukan tewas pada 25 Juli 1997), Agus Mulyawan (jurnalis Asia Press, tewas di Timor Timur, 25 September 1999), dan Muhammad Jamaluddin (jurnalis kamera TVRI di Aceh, ditemukan tewas pada 17 Juni 2003),

KOMPAS/ARYO WISANGGENI GENTHONG Nama Fuad M Syafruddin menjadi satu dari 34 nama jurnalis yang tercatat tewas di Indonesia dalam Journalists Memorial di Newseum Washington DC, Amerika Serikat.
Semua kasus pembunuhan jurnalis itu tak terungkap. Nasib yang sama dialami kasus pembunuhan sederet nama lain di Journalists Memorial Newseum: Ersa Siregar (jurnalis RCTI di Nanggroe Aceh Darussalam, 29 Desember 2003), Herliyanto (jurnalis lepas tabloid Delta Pos Sidoarjo di Jawa Timur ditemukan tewas pada 29 April 2006), Adriansyah Matra’is Wibisono (jurnalis TV lokal di Merauke, Papua, ditemukan tewas pada 29 Juli 2010) dan Alfred Mirulewan (jurnalis tabloid Pelangi, Maluku, ditemukan tewas pada 18 Desember 2010). Semuanya menjadi misteri, tetap tak terungkap meski konon kita hidup di era Reformasi.

Di negeri orang, delapan jurnalis Indonesia itu dikenang untuk memaknakan kebebasan dan merawat kebebasan. Sayang, negeri mereka sendiri adalah negeri para penyangkal, dengan ingatan pendek yang terus membuat kebebasan menjadi semu dan dangkal. (Aryo Wisanggeni Genthong)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com