Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perubahan Musik Bambu

Kompas.com - 28/06/2014, 11:45 WIB
CALUNG dan kenthongan banyumasan lahir dari rahim budaya agraris petani di pedalaman Jawa Tengah. Namun, seperti filosofi bambu yang meliuk-liuk mengikuti arah angin, calung bermetamorfosis mengikuti perubahan zaman.

Di Jalan Malioboro, Kota Yogyakarta, pertengahan Mei lalu, tepatnya di sudut jalur lambat di seberang Pasar Beringharjo, sejumlah orang asyik berjoget di sekeliling sekelompok pengamen yang mendendangkan lagu Barat Top 40 dengan seperangkat alat musik bambu. Kelompok musik itu menamai diri Calung Funk.

”Kami asli Purbalingga (Jawa Tengah),” ujar Didi (30), personel Calung Funk. Kelompok yang terdiri atas tujuh orang itu sudah lima tahun menjadi seniman jalanan. Mereka berkelana dengan semangat mengenalkan calung sebagai instrumen musik etnik yang menarik.

Awal mengamen, mereka beberapa kali berkejar-kejaran dengan satuan polisi pamong praja. Namun, melihat kreativitas Calung Funk, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta mengikutkan mereka pada ajang lomba musik etnik. Mereka juara. Sejak itu, Calung Funk mengamen permanen di Jalan Malioboro serta beberapa kali pentas ke Bandung, Surabaya, Jakarta, hingga Medan.

Calung, jelas budayawan Banyumas, Ahmad Tohari, hidup di pedesaan wilayah sebaran budaya Banyumas, seperti Kebumen, Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, Cilacap, Wonosobo, Tegal, Brebes, hingga wilayah Jawa Barat bagian timur. Perangkat calung terdiri dari gambang barung, gambang penerus, dhendhem, kenong, gong bambu, dan kendhang. Calung difungsikan sebagai alat musik dalam seni pertunjukan, seperti lengger (seni tari) dan ebeg (kuda lumping khas Banyumas).

Asal kata calung, lanjut Tohari, ada beberapa versi. Ada yang menyebut calung berasal dari istilah diprocol nganti melung, yakni menyayat batang bambu sampai menghasilkan suara sempurna. ”Ada yang mengartikan calung dari carang pring wulung,” ucap dia. Calung awalnya dibuat dari bambu tutul. Seiring perkembangan, pembuat calung lebih memilih bambu wulung (hitam). Kenthongan semula hanya alat komunikasi warga desa.

Awalnya, calung berlaras slendro saja. Kini, mulai muncul variasi dari seniman yang melengkapinya dengan laras pelog.

Calung berjaya pada era tahun 1970-an. Pada pengujung tahun 1990-an, warga mulai meninggalkan calung dan lebih menyukai pertunjukan lengger diiringi alat musik elektrik.

Anak muda

Calung menemukan roh kembali delapan tahun terakhir di tangan anak muda. Dinamisasi calung menggema di sejumlah wilayah. Tahun 2013, Sanggar Seni Mahasiswa Ekonomi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, menggelar pentas calung dan kenthongan berkolaborasi dengan disc jockey.

Sebaliknya, Komunitas Gethek Ajibarang, Banyumas, konsisten mengangkat calung dan kenthongan menjadi musik etnik bernilai tinggi. Menurut Koordinator Komunitas Gethek Edi Romadon, anggota komunitas itu terdiri dari anak jalanan, kaum muda, dan kaum intelektual. ”Kami mengolaborasikan musik bambu dengan puisi dan teater,” kata dia.

Metamorfosis penampilan musik bambu di Banyumas dan sekitarnya makin marak memasuki tahun 2007. Salah satunya adalah kemunculan kesenian cakenjring, yaitu kolaborasi antara calung, kenthongan, dan genjring (musik religi islami).

Tahun 2007, Dewan Kesenian Kabupaten Banyumas (DKKB) mengirim cakenjring ke Ceko, mengikuti Mezinarodni Folklorni Festival. Cakenjring menjadi penampilan terbaik. Cakenjring DKKB yang sebagian besar anggotanya anak muda juga bertolak ke Malaysia, mengikuti World Drum Festival Chapter 1. Mereka menjadi tim terfavorit.

Kolaborasi musik calung pun melintasi sekat kultural. Misalnya, calengsai, akronim dari calung, lengger, dan barongsai. Sri Rahayu, pamong budaya di Purwokerto Timur, sebagai kreator kolaborasi itu, menyebutkan, calengsai merupakan tontonan seni yang unik, menarik, dan bernapaskan pluralisme.

Suara merdu angklung

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com