Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kudus dan Jepara, Mengubah Rupa Warisan Para Wali

Kompas.com - 16/07/2014, 10:39 WIB
KUDUS dan Jepara adalah kota kecil di kawasan Jawa Tengah bagian timur. Kota yang dahulu berbasis agraris dan perdagangan itu bertransformasi menjadi kota wisata religi berbasis industri kreatif.

Kudus tumbuh menjadi kota yang ditunjang industri pengolahan rokok, pakaian jadi, makanan dan minuman. Pada tahun 2012, di Kudus terdapat 11.483 industri besar, sedang, dan kecil atau rumah tangga. Industri tembakau dan rokok mendominasi dengan 34,94 persen dari jumlah industri, diikuti industri pakaian jadi 22,29 persen, lalu makanan dan minuman 8,43 persen.

Jepara berkembang menjadi kota industri mebel dan patung ukir yang terkenal hingga Benua Asia dan Eropa, Timur Tengah, dan Amerika Serikat. Pada 2012, di Jepara ada 4.104 perusahaan mebel dengan tenaga kerja sekitar 54.400 orang dan kerajinan kayu 369 unit usaha dengan 2.421 pekerja.

Transformasi kedua kota itu tak terlepas dari pengaruh Wali Sanga dan Kasultanan Demak serta tokoh lain. Di Kudus, murid Sunan Kudus, yaitu Syekh Jangkung (Saridin), menjadi inspirasi masyarakat mengembangkan jenang. Di Jepara, RA Kartini menjadi pionir yang mengangkat ekonomi kerakyatan Jepara ke dunia internasional.

Desa pelabuhan sungai

Kudus awalnya desa kecil di tepi Sungai Gelis, bernama Desa Tajug. Warga hidup dari bertani, membuat batu bata, dan menangkap ikan. Setelah kedatangan Sunan Kudus, desa kecil itu dikenal sebagai Al-Quds yang berarti Kudus.

Sunan Kudus yang gemar berdagang menumbuhkan Kudus menjadi kota pelabuhan sungai dan perdagangan di jalur perdagangan Sungai Gelis-Wulan-Pelabuhan Jepara.

Pedagang dari Timur Tengah, Tiongkok, dan pedagang antarpulau dari sejumlah daerah di Nusantara berdagang kain, barang pecah belah, dan hasil pertanian di Tajug.

Warga Tajug juga terinspirasi filosofi yang dihidupi Sunan Kudus, ”Gusjigang”. Gus berarti ’bagus’, ji berarti ’mengaji’, dan gang berarti ’berdagang’. Melalui filosofi itu, Sunan Kudus menuntun masyarakat menjadi orang berkepribadian bagus, tekun mengaji, dan mau berdagang.

Dari pembauran lewat sarana perdagangan dan semangat ”gusjigang” itulah masyarakat Kudus mengenal dan mampu membaca peluang usaha. Dua di antaranya usaha batik dan jenang.

Pada masa awal, motif batik yang dikembangkan masih sederhana, yaitu sulur, beras, merak, dan kupu-kupu. Warnanya masih kalem, seperti coklat, merah tua, biru tua, hijau, dan putih. Pada 1880-1940, pedagang Tionghoa, GS Liem, TS Ing, dan Pho An Nyo, turut memberi warna dan nuansa baru pada batik Kudus (The Journey: Batik Pesisir from Semarang, Kendal, Demak, & Kudus, 2009).

Seiring berkembangnya industri rokok pada awal abad ke-19, batik kian meredup dan sempat hilang pada 1980-an. Dua puluh tahun kemudian, batik Kudus kembali dihidupkan. Sejumlah perajin menggali dan mereproduksi motif kuno sekaligus mengembangkan motif baru.

Pengembangan motif baru itu tak terlepas dari inspirasi Sunan Kudus dan Sunan Muria. Motif itu antara lain menara Kudus, kapal kandas, bulusan, gebyok, parijoto, dan pakis haji.

Pembatik ”Muria Batik Kudus”, Yuli Astuti, mencontohkan, motif menara Kudus mencerminkan pesan Sunan Kudus untuk menghargai perbedaan dan keberagaman. Pasalnya, menara itu perpaduan arsitektur Hindu, Islam, Tiongkok, dan Jawa.

”Saya ingin menjadikan batik wadah pelestari sejarah, kearifan lokal, dan nilai hidup yang diajarkan Sunan Kudus dan Sunan Muria,” kata Yuli.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com