Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Layang-Layang, Riwayatmu Kini

Kompas.com - 12/08/2014, 17:08 WIB
Dhanang David Aritonang

Penulis

KOMPAS.com - “Kuambil buluh sebatang. Kuikat sama panjang. Kuraut dan kutimbang dengan benang. Kujadikan layang-layang.”

Mungkin sebagian dari Anda tidak asing lagi dengan lirik lagu tersebut. Lirik lagu tersebut merupakan kutipan dari lagu anak-anak berjudul “Layang-Layang”. Beberapa dari Anda tentu memiliki memori tak terlupakan ketika bermain layang-layang di masa kecil. Kini, Anda dapat sedikit mengenang permainan masa kecil tersebut di Museum Layang-Layang, Jakarta.

Museum ini berlokasi di Jalan Haji Kamang Nomor 38, Pondok Labu, Jakarta Selatan. Sebenarnya museum ini merupakan milik swasta, didirikan oleh Endang W. Puspoyo yang memang memiliki hobi mengoleksi layang-layang. Lahan seluas kurang lebih 2750 meter persegi dengan arsitektur bangunan bergaya Jawa Tengah dijadikan museum oleh pemiliknya.

Sesampainya di museum tersebut, saya membayar tiket masuk sebesar Rp 10.000 per orang. Dengan membayar seharga tiket tersebut, pengunjung dapat menonton video festival layang-layang di ruang audio visual, tur keliling museum, dan diajarkan untuk membuat layang-layang sendiri.

Tidak hanya itu, bagi pengunjung yang ingin membuat kerajinan tanah liat juga bisa di museum ini dan dikenakan biaya tambahan sebesar Rp 50.000. Ketika masuk ke dalam museum, saya langsung melihat beberapa layang-layang berukuran lebar kurang lebih 1 meter dan panjang 1,5 meter digantung di langit-langit rumah.

“Di museum ini ada kurang lebih 400 koleksi layangan yang dipajang. Ada koleksi dari dalam negeri dan koleksi dari luar negeri juga,” tutur salah satu pemandu museum, Asep Irawan.

Asep menuturkan, sebenarnya layang-layang di museum ini terdiri dari tiga kategori. Kategori tersebut terdiri dari layangan tradisional, layangan 3 dimensi, dan layangan olahraga. Berbagai layang-layang unik seperti Turonggong Seto asal Magelang yang berbentuk kuda Pegasus hingga layangan berbentuk burung purba asal Cilacap dapat dilihat dari museum ini.

KOMPAS.com/Dhanang David Aritonang Layang-layang yang berasal dari daun Loko khas Lampung yang digunakan untuk menangkap ikan.
“Tiap daerah memiliki layangan dengan ciri khas dan kegunaannya sendiri, tergantung tradisi dari setiap daerah,” ucap Asep.

Asep menjelaskan, contohnya adalah layang-layang Dandang Bini yang berasal dari Kalimantan. Layang-layang ini diterbangkan ketika ada upacara perkawinan di daerah tersebut. Kemudian ada layang-layang Tapean asal Banyuwangi yang diterbangkan setelah selasai panen padi. Ada juga layang-layang yang berasal dari daun Loko khas Lampung. Layang-layang ini biasa digunakan oleh nelayan untuk menangkap ikan di laut.

Sejarah Layang-Layang

“Sebenarnya belum jelas asal mula ditemukan layang-layang. Namun dari berbagai literatur menjelaskan bahwa layang-layang ditemukan di Tiongkok kurang lebih 3000 tahun yang lalu,” ucap Asep.

Asep menjelaskan, perkembangan layang-layang  dari negeri Tiongkok tersebut kemudian menyebar hingga ke Korea Selatan, Jepang, Malaysia, dan India. Kemudian, menurut hasil penelitian Arkeolog Nasional tahun 1981, 1986, dan 1991, layang-layang di Indonesia pertama kali ditemukan di Pulau Muna, Sulawesi Tenggara. Layang-layang tersebut berasal dari daun gadung yang dirajut dan dibentuk seperti layang-layang.

“Awalnya masyarakat Sulawesi Tenggara menggunakan layang-layang tersebut untuk mencari keberadaan Tuhan di langit,” tutur Asep.

Layang-Layang Masa Kini

Asep menjelaskan, sekarang beberapa layangan tradisional dan 3 dimensi tersebut diterbangkan di beberapa festival maupun kejuaraan. Untuk membuat layang-layang 3 dimensi berkisar Rp 500.000 hingga Rp 1,5 juta, tergantung ukuran dan waktu pembuatan. Rata-rata satu layang-layang 3 dimensi dibuat dengan memakan waktu kurang lebih satu bulan.

“Layang-layang tersebut biasanya kita mainkan di pantai yang tanahnya luas dan anginnya cukup kencang. Satu layang-layang 3 dimensi harus diterbangkan oleh 3 hingga 4 orang,” ucap Asep.

Sebagai pemandu dan juga pembuat layangan, Asep sangat menyayangkan anak-anak zaman sekarang yang sudah mulai meninggalkan permainan layang-layang ini. Ia mengeluhkan, kurangnya lahan bermain, khususnya di daerah ibu kota menjadi salah satu faktor yang membuat permainan ini mulai ditinggalkan.

“Ya sekarang anak-anak mau main layangan di mana? Lahan kosong sudah mulai terbatas jumlahnya,” ucap Asep.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com