Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Alunan Angklung Paglak Menemani "Wong Using" Panen Padi di Banyuwangi

Kompas.com - 16/08/2014, 12:32 WIB
Kontributor Banyuwangi, Ira Rachmawati

Penulis

BANYUWANGI, KOMPAS.com - Musik mengalun lembut dari bangunan panggung yang ada di sebelah sawah di desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur. Masyarakat Using sebagai suku asli Banyuwangi mengenal musik tabuh yang terbuat dari bambu dengan sebutan Angklung Paglak. Ada 4 orang lelaki berbaju hitam memainkan alat musik pukul tersebut diketinggian kurang dari 10 meter.

Sementara itu, beberapa petani sambil bersenandung mengayunkan sabit memanen padi yang sudah menguning. Sesekali mereka bercanda dan melempar "wangsalan" (pantun) yang langsung dibalas oleh petani yang lain. "Mereka yang bermain angklung paglak maupun yang bantu panen tidak di bayar. Mereka bukan buruh panen tapi sama-sama petani. Kami bergantian akan saling membantu saat musim panen. Sekarang saya yang panen, mereka suami istri dan keluarga ke sini untuk bantu. Nanti saat ada yang panen saya dan keluarga juga akan bantu. Kami tetap melestarikan tradisi ini," jelas Sucipto, pemilik sawah kepada Kompas.com, Jumat (15/8/2014).

Dari sawah seluas 1 hektar biasanya Sucipto mendapatkan 70 karung dengan berat masing-masing karung sekitar 120 kilogram. "Masa panen yang kami lakukan sekitar 4 bulan 10 hari," tambah lelaki yang biasa di panggil Kang Cip tersebut.

Kang Cip menceritakan, tradisi memainkan angklung paglak saat panen padi di Desa Kemiren sudah mulai jarang dilakukan. "Padahal angklung paglak ini adalah perjanjian yang dilakukan oleh leluhur kita dengan Dewi Sri. Kami percaya tanah ini bukan hanya milik kami tapi ada 'danyang' yang menjaga lahan pertanian ini," jelas Sucipto.

KOMPAS.COM/IRA RACHMAWATI Bangunan untuk memainkan angklung paglak di Desa Kemiren, Banyuwangi, Jawa Timur.
Untuk melestarikan tradisi leluhur mereka, Sucipto masih melakukan beberapa upacara. "Ada Labuh Nyingkal, Labuh Tandur, Ngrujaki Pari dan angklung paglak ini saat panen. Kami memberlakukan sawah kami seperti manusia," jelasnya.

Kang Cip melanjutkan, Labuh Nyingkal dilakukan selepas panen dan tanah mulai dibajak. "Ada daun jarak, daun kluwih dan beberapa jenis daun lainnya diikat menjadi satu. Termasuk juga beras yang diletakkan dalam takir yang terbuat dari daun pisang dicampur dengan kelapa parut serta sabut kelapa yang dibakar dengan menyan. Saat itu kami meminta kepada Dewi Sri agar menjaga tanaman kami," jelas Kang Cip.

Lalu pada saat Labuh Tandur, biasanya Kang Cip akan mencari hari baik untuk memulai musim tanam. "Ada 4 macam, yaitu odot (umbi-umbian), uwit (pepohonoan), godong (sayur-sayuran), woh (buah-buahan). Ada hitungannya sendiri dan banyak yang tidak memahami ini," jelasnya sambil tersenyum.

Terakhir adalah "Ngrujaki Pari" yaitu membuat rujak lethok (rujak gula) yang nanti akan diletakkan di pajupat atau pojokan sawah. "Ngrujaki pari dilakukan saat bulir padi sudah mulai muncul. Sama dengan tradisi rujakan pada acara selamatan orang hamil," jelasnya. Terakhir pada satu minggu sebelum panen, Sucipto akan melakukan selamatan di sawah dengan mengundang teman-teman sesama petani dan juga keluarga. "Biasanya akan membuat pecel pithik dan akan kami makan bersama di sawah," sambungnya.

KOMPAS.COM/IRA RACHMAWATI Panen padi di Desa Kemiren, Banyuwangi, Jawa Timur.
Ia mengatakan tradisi itu akan terus ia lakukan walaupun petani sudah jarang melakukan hal tersebut. "Ada yang bilang ruwet. Tapi selama ini saya menjalankan tradisi seperti leluhur kami dan hasil panen selalu bagus. Tanah pertanian adalah lahan kehidupan jadi ya harus diperlakukan baik agar seimbang dan memberikan yang baik-baik juga kepada kami," ungkapnya.

Sementara itu Aekanu, salah satu budayawan Banyuwangi kepada Kompas.com mengatakan tradisi pertanian di kalangan masyarakat Using harus dilestarikan. "Tradisi pertanian Suku Using benar-benar dekat dengan alam. Contohnya saat panen seperti ini mereka bermain musik angklung paglak dan ini bukan sebuah seni pertunjukan tapi muncul dari diri mereka. Sebuah kepercayaan terhadap leluhur dan juga Dewi Sri, termasuk juga menghibur para petani yang sedang panen. Belum lagi upacara-upacara lainnya. Bukan seperti pertanian sekarang yang sistemnya semua diburuhkan dan sistem kegotongroyongan yang semakin menipis," jelas Aekanu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com