Hari masih pagi ketika kami bersiap menyeberang dari Merak menuju Bakauheni, Lampung. Udara cerah, matahari pun bersinar hangat. Semangat bertualang menjelajahi Pulau Sumatera mulai terasa menyala-nyala dari atas mobil yang kami naiki.
Kami sengaja memilih pagi hari untuk menyeberang agar tidak terlalu malam tiba di Baturaja, salah satu kota yang kami pilih menjadi titik pemberhentian. Berbekal informasi yang kami peroleh dari sanak famili, berkendara malam hari di Pulau Sumatera sebaiknya dihindari. Salah satunya demi alasan keamanan. Pengalaman perjalanan tiga tahun sebelumnya juga membuat kami belajar untuk tidak memaksa terus berkendara pada malam hari.
Di atas dek, deru angin laut menampar-nampar keras wajah dan menerbangkan rambut ke segala arah. Dingin. Namun, warna biru laut, ombak yang berbuih, hingga gumpalan awan di batas cakrawala yang tanpa batas adalah hadiah luar biasa yang tak pantas dilewatkan.
Berkelok-kelok
Feri merapat di Pelabuhan Bakauheni tiga jam kemudian. Semua penumpang bersiap meninggalkan feri. Kami sigap masuk ke mobil dan siap meluncur menuju Baturaja, memulai petualangan di Pulau Sumatera.
Kota-kota yang dilintasi jalur tengah dalam perjalanan kami dimulai dari Pelabuhan Bakauheni, Bandar Lampung, Bandar Jaya, Kota Bumi, Bukit Kemuning, Martapura, Baturaja, Prabumulih, Muara Enim, Lahat, Tebing Tinggi, dan berakhir di Lubuk Linggau. Rute yang cukup panjang. Karena kami hanya jalan pada siang hari, perjalanan sepanjang lebih kurang 800 kilometer ini kami rencanakan akan memakan waktu selama dua hari.
Sepanjang perjalanan menuju Lubuk Linggau, kami berpapasan dengan banyak mobil berpelat nomor kendaraan Jakarta yang mengangkut banyak barang di atap mobil. Maklum, suasana Lebaran memang belum pergi terlalu jauh. Aroma mudik masih terasa kuat. Sementara mobil yang menuju Sumatera sudah tidak terlalu banyak.
Karena hanya melewati jalan lintas Sumatera dan tidak masuk ke kota- kota yang kami lewati, agak sulit menemukan pemandangan yang memuaskan mata. Pemandangan khas yang kami nikmati adalah jalanan yang kanan dan kirinya dipenuhi pepohonan. Tidak banyak rumah penduduk, termasuk rumah makan dan penginapan.
Namun, pemandangan yang kami nikmati itu terasa sangat otentik. Nuansa kota-kota di luar Pulau Jawa yang ”sederhana” benar-benar terasa. Bentuk rumah penduduk yang lebih banyak didominasi material kayu, wajah lokal khas Sumatera, dan aktivitas keseharian mereka yang bersahaja terekam dalam perjalanan kami.
Menjelang maghrib, mobil kami memasuki Martapura. Karena kondisi yang sudah cukup lelah, kami memutuskan untuk menginap.
Duku dan durian