Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gemulai Sintren di Pesisir Pekalongan

Kompas.com - 23/10/2014, 15:40 WIB
GADIS itu, Eka Sulistya (19), keluar dari semacam kurungan ayam, mengenakan kebaya bermanik-manik, kain, dan selendang. Setelah memasang kacamata hitam, ia pun mulai menari, melenggak-lenggok mengikuti irama ritmis, sambil kepalanya bergoyang dengan lembut. Beberapa sinden menyanyi dan para penabuh gamelan khusyuk mengiringi Eka, sang penari sintren itu.

Beberapa menit sebelumnya, Eka masih berada di luar kurungan, mengenakan celana jins dan jaket ungu. Seorang pawang mengikat tubuhnya dengan tali, membaca mantra-mantra, dan memasukkannya ke dalam kurungan. Di dalam kurungan yang bahkan tidak bergoyang sedikit pun itu, Eka bersalin busana dan membubuhkan bedak serta lipstik.

Begitulah sintren bekerja. Pertunjukan itu digelar di halaman Kantor Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan, Jawa Tengah, Minggu (12/10/2014). Acara itu rangkaian dari Gelar Tradisi Masyarakat Pesisir yang dihelat Direktorat Pembinaan terhadap Tuhan Yang Masa Esa dan Tradisi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud).

Kini, tari sintren makin jarang dipentaskan. Jarang sekali orang mengundang sintren untuk hajatan karena sudah digantikan organ tunggal. Itu membuat masyarakat betah menonton, bahkan berjejal, meski matahari menyengat kulit.

”Dulu, nelayan sehabis melaut, apalagi tangkapan ikannya banyak, hiburannya nanggap sintren. Sekarang jarang, mungkin tinggal sedikit kelompok sintrennya,” kata Sahuri (57), nelayan yang tinggal di perumahan nelayan Pantai Sari, Desa Panjang Baru, Pekalongan Utara, Kota Pekalongan.

Sinden Emi, yang juga ibu Eka, mengatakan, tanggapan sintren menyusut. Hanya jika acara-acara besar yang mengundang kesenian tradisional sajalah sintren bisa disuguhkan. Selebihnya, ”Kami ngamen dengan penghasilan kecil,” kata Emi.

Merosotnya pamor sintren diikuti sulitnya mencari penari sintren yang mau menari dan belum menikah pada usia muda. ”Eka ini untung mau jadi sintren,” kata Emi.

Puluhan tahun

Tari sintren merupakan kesenian tradisional asli masyarakat pesisir utara Jawa Tengah, seperti Cirebon, Brebes, Tegal, dan Pekalongan, yang sudah tumbuh puluhan tahun. Tari sintren dilatarbelakangi kisah percintaan Sulasih dan Sulandono. Sulandono ialah putra bangsawan Ki Bahurekso dan Dewi Rantamsari, sedangkan Sulasih adalah gadis desa yang mampu menjaga kesuciannya. Kisah cinta tersebut ditentang orangtua Sulandono.

Sulandono memutuskan bertapa, sedangkan Sulasih menari. Keduanya bertemu melalui alam lain, alam ruh, sehingga kesejatian kisah cinta mereka bertahan.

Mencermati merosotnya pamor sintren, Direktur Pembinaan Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa dan Tradisi Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemdikbud Sri Hartini mengatakan, tugas pemerintah dan masyarakatlah untuk melindungi seni tradisi itu. ”Gelar tradisi masyarakat pesisir ini juga upaya untuk melindungi dan melestarikannya agar tidak punah. Bahkan, anak-anak zaman sekarang tidak mengenalnya, padahal ini bagian dari sejarah tradisi pesisiran,” ujar Sri.

Selain sintren, Gelar Tradisi Masyarakat Pesisir juga dimeriahkan dengan ritual sedekah laut, pementasan wayang ruwatan, dan kirab budaya, antara lain dari komunitas Reog Ponorogo Kota Pekalongan dan komunitas pencinta senjata tradisional Pekalongan. Ada pula lomba mendayung, voli, dan mewarnai untuk anak-anak nelayan. ”Ini semacam pesta buat masyarakat pesisir yang akan menjadi acara tahunan di berbagai tempat,” kata Kepala Subdit Lingkungan Budaya dan Pranata Sosial Kemdikbud Dewi Indrawati.

Ritual-ritual itu memberikan kenyamanan bagi nelayan. Harapannya, mereka memperoleh banyak tangkapan (ikan) dan perjalanannya pun lancar. ”Apalagi, sekarang nangkap ikan makin jauh. Ikan banyak, tapi makin jauh,” kata Sahuri, nelayan.

Saat ini, tangkapan ikan yang dilelang di Pekalongan hanya 46 ton per hari. Bandingkan dengan tahun 1991 yang mencapai 286 ton per hari. Penurunan terasa dahsyat mulai 2004.

Hal senada dikatakan Sukemi (74), penabuh bonang di pertunjukan wayang ruwatan dengan dalang Ki Sapari. ”Nelayan butuh keselamatan untuk mencari ikan di laut. Ruwatan itu perlu agar dapat ikan yang banyak,” katanya.

Dirjen Kebudayaan Kemdikbud Kacung Marijan mengatakan, semua tradisi yang baik harus dilestarikan. Masyarakat mempunyai tradisi syukuran yang luar biasa. Saat ini, kultur masyarakat pedalaman dan pesisiran memang makin membaur dan membuat distingsi kultural makin kabur. Namun, tradisi-tradisi yang khas dan unik itu masih dilakukan di banyak tempat.

”Kalau kemudian ada perubahan, yang penting bukan transformasi upacaranya, tapi bagaimana filosofi dan nilai-nilai kearifan lokal itu tetap terjaga dan diwariskan,” ujar Kacung.  (SUSI IVVATY)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com