Siapa sangka Gede Hardy, penyandang gelar Sarjana Teknik Industri dari Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1995 ini malah banting setir dan justru melambungkan namanya saat menekuni bisnis ritel yang dibuka pertama kali tahun 1997 di Negara, Kabupaten Jembrana, ujung barat Pulau Bali.
Masa kecil laki-laki yang lahir di Desa Penyaringan, Mendoyo, Jembrana pada 27 Mei 1972 ini tumbuh di tengah keluarga yang terbilang sederhana. Ayahnya I Wayan Nastra dan ibunya Ni Ketut Susilawati Astuti membesarkan Gede Hardy dengan lima saudaranya dalam lingkungan pedesaan yang masih alami. Ayah Gede merupakan petani cengkeh, kopi, vanili, sementara ibunya hanyalah seorang guru Sekolah Dasar.
Namun masa kecil Gede Hardy bukanlah dibesarkan dengan orang tuanya, tetapi dibesarkan oleh neneknya. Tatkala Gede lahir, dia dianggap reinkarnasi kakeknya. Sehingga neneknya berkeras kepada orangtua Gede untuk mengasuh Gede sejak bayi. Sejak saat itu Gede diasuh neneknya dan tinggal di rumah berdinding gedek/bambu. Sejak kecil Gede sudah merasakan kasih sayang nenek dan tinggal dalam suasana pedesaan, bahkan bisa dibilang di tengah hutan, jauh dari Kota Negara.
Sambil sekolah, jiwa bisnis Gede mulai terasah sejak muda. "Dari kecil bakatnya berbisnis sudah kelihatan. Jualan apa saja dia lakukan, terutama hasil kebun," kata I Wayan Nastra kepada Kompas Travel saat green launching Hotel Pop! Hardys Singaraja Square, di Singaraja, Bali, Jumat (15/11/2014) lalu.
Sementara Ni Ketut Rukmini -- sekarang menjadi istri Gede Hardy -- saat itu kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB). Tak heran waktu kuliah di Bandung, Gede sering bolak-balik Bandung-Bogor.
Setelah menyandang gelar Ir, Gede bekerja di perusahaan otomotif. Selama 8 bulan Gede bekerja di perusahaan mobil asal Jepang ini. Di sini dia memetik pelajaran berharga yakni soal kedisiplinan. Meskipun mendapatkan tawaran untuk bekerja di Toyota Jepang, namun jiwa bisnis Gede dan panggilan untuk pulang kampung lebih kuat sehingga baliklah dia ke Pulau Dewata.
Bisnis ritel menarik perhatiannya. Namun buku-buku ritel saat itu belum banyak. Tokoh ritel terkenal dari AS saat itu adalah Sam Walton dengan bisnis Wal-Mart-nya. Dari tekadnya menekuni bisnis ritel, lahirlah Hardys yang pertama pada 11 Juni 1997 di Jembrana, kota kelahirannya.
"Saya sadar. Saya tidak jago program. IP saya 2,78," sambungnya sembari tertawa.
Berbekal kerja sambil belajar di Tip Top Pak Rusman itulah, perlahan-lahan ide bisnisnya mengelola ritel mulai tertanam. Menurut Gede, Tip Top ini cocok didirikan di kampung-kampung. "Sisanya tinggal meniru saja," katanya.
Tahun 1997, Gede mendirikan GH Holdings. Awalnya hanya fokus di bisnis ritel dan membuka outlet pertama di Bali yakni di Negara, Kabupaten Jembrana. Hardys di Jembrana sudah menggunakan sistem barcoding dan ini diklaim Gede sebagai simtem barcoding pertama untuk ritel di Bali saat itu.
Strategi yang diterapkan untuk mendirikan Hardys sama dengan strategi Sam Walton mendirikan Wal-Mart yakni mulai dari daerah pinggiran sebelum menyasar ke pusat kota. Setelah tiga tahun membangun sistem manajemen yang terintegrasi, tahun 2000 Hardys membuka outlet kedua di Seririt, Kabupaten Singaraja. "Sekarang Hardys sudah memiliki 34 outlet yang tersebar di Bali dan Jatim sampai Lombok. Menurut riset AC Nielsen, Hardys menguasai 21,8 persen market share untuk ritel modern di Bali," kata Gede bangga.
Gede melanjutkan, tahun 2003 GH Holdings memasuki bisnis properti dengan membangun gedung di Banyuwangi dan Jember, Jawa Timur. Muncul kendala tahun 2007 ketika keluar kebijakan, peritel modern dan asing boleh masuk kota dan kabupaten. Gede mulai berpikir, apakah mau bergabung atau berdiri sendiri. "Kami mulai berhitung. Akhirnya kita rangkul mereka dan menyewakan gedung-gedung kami kepada mereka. Lumayan, hasil sewa untuk bayar bank. Bersaing kemudian bermitra. Kami operator ritel sekaligus bermitra dgn peritel asing," paparnya.