Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mencari Kepingan Sejarah Musik di Lokananta

Kompas.com - 08/02/2015, 13:04 WIB
Wahyu Adityo Prodjo

Penulis

KOMPAS.com - Lokananta. Nama tersebut mungkin tak asing bagi para penggemar musik pada era 1960 hingga 1990-an. Lokananta adalah tonggak penting sejarah perkembangan musik Indonesia. Berbagai nama musisi besar lahir melalui perusahaan rekaman pertama ini. Namun "rahim sang ibu" tampak terlupakan.

Bangunan yang sudah ditetapkan menjadi situs cagar budaya ini, berlokasi di Jalan Ahmad Yani 387, Surakarta, sekitar dua kilometer dari Stasiun Purwosari. Oetojo Soemowidjojo dan Raden Ngabehi Soegoto Soerjodipoero, pegawai RRI Surakarta mempelopori berdirinya Lokananta pada 29 Oktober 1956.

Sementara musisi legendaris yang terkenal dengan ciptaan lagu Di Bawah Sinar Bulan Purnama, Raden Maladi adalah orang yang menggagas nama Lokananta. Mantan Menteri Penerangan pada era Presiden Soekarno itu mengambil filosofi dari dunia pewayangan yang berarti gamelan milik khayangan bersuara merdu.

Saat ini, Lokananta sudah berusia 58 tahun. Usia yang bukan main-main untuk sebuah label musik Indonesia yang berada di bawah Perum Percetakan Negara Republik Indonesia. Nama-nama besar seperti Gesang, Waldjinah, Titiek Puspa, Bing Slamet, dan Sam Saimun "lahir" di Lokananta.

Kompas.com/Wahyu Adityo Prodjo Di dalam Gedung Lokananta, Solo, Jawa Tengah, tersimpan ribuan koleksi piringan hitam.

Lokananta merupakan perusahaan rekaman musik pertama di Indonesia. Sejak awal berdiri, Lokananta mempunyai dua tugas besar yaitu produksi dan duplikasi piringan hitam dan kemudian cassette audio.

Dari pinggir jalan, sebuah plang usang bertuliskan "Lokananta" menyambut kali pertama mengunjungi tempat bersejarah bagi dunia musik Indonesia. Matahari yang menyengat kepala tak menghalangi niat mengunjungi sang "ibu musik" ini.

Sekilas nampak dari luar, kompleks Lokananta ini tampak tak terurus. Daun-daun meranggas, warna tembok bangunan menguning kusam, dan bahkan plafon rusak. Di atas pintu utama, tertulis "Lokananta" dan siap mengantar saya ke dalam dunia musik di era kelahirannya.

Awal kaki melangkah masuk, mata saya dikejutkan dengan gulungan pita master rekaman dengan berbagai ukuran. Benda yang baru pertama kali saya lihat secara langsung. Sebuah pengumuman "Pameran Dokumentasi Sejarah Menuju Era Lokananta Baru" terpajang. Juga foto-foto para pimpinan Lokananta.

Di awal lorong, terdapat sebuah ruangan yang menyediakan penjualan CD (compact disk) dan kaset hasil alih media dari piringan hitam. Sederet artis top seperti Koes Plus, The Steps, Waldjinah, dan lain-lainnya tersedia untuk dibeli. Hasil penjualan ini nantinya akan digunakan untuk membantu membiayai kegiatan operasional di Lokananta.

Seperti yang diucapkan Bekti, penjaga Lokananta ketika saya berkunjung beberapa waktu yang lalu, "Di sini dijual kaset sama CD. Ya untuk bantu-bantu. Dana operasionalnya kurang."

Kompas.com/Wahyu Adityo Prodjo Setelah lobi gedung Lokananta, Anda akan disambut dengan taman kecil yang hijau menyegarkan suasana.

Perjalanan mencari kepingan sejarah musik masih berlanjut. Keluar dari lorong pertama, wajah tampak cerah. Rumput hijau segar menghiasi bangunan yang telah dikategorikan sebagai cagar budaya pada tahun 2014 ini. Sebuah kolam dengan air yang sudah hijau warnanya, beberapa pohon, dan parabola yang sudah berkarat menemani gedung yang kesepian ini.

Struktur bangunan di tengah ini berbentuk persegi empat. Pondasi-pondasi bangunan berwarna dominan abu-abu masih berdiri kokoh. Begitupun pintu-pintu ruangan juga didominasi warna yang sama. Warna coklat pun menjadi teman dari jendela dan pintu.

Ruangan selanjutnya adalah ruang koleksi mesin-mesin yang pernah digunakan di Lokananta. Di dalam ruangan berjajar mesin-mesin seperti mesin quality control keluaran tahun 1980, pattern generator keluaran tahun 1980, mesin pemotong pita keluaran tahun 1980, VHS Video Recorder keluaran tahun 1990, pemutar piringan hitam keluaran tahun 1970, power amplifier keluaran tahun 1960, dan lain-lain.

Beberapa kaset VHS (Video Home System) seperti Taman Mini Indonesia Indah, Ketoprak yang disiarkan di TVRI dulu, dan lain-lain berjajar di sebelah televisi bermerek Sony dan di atas pemutar VHS bermerek National. Mesin-mesin tersebut serasa membuat saya kembali ke masa kejayaannya.

Semuanya tampak masih terawat walaupun sebagian sudah tak dapat digunakan. Yang membuat saya terkesan adalah pemutar piringan hitam keluaran London dan Swiss. Pemutar piringan hitam yang bermerek Lenco dan Garrard masih terlihat mulus.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com