Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menyebut Banyuwangi, Teringat Gandrung

Kompas.com - 24/03/2015, 14:30 WIB
MALAM itu kita sengaja untuk janjian ketemuan di Pondok Kopi Wina. Saya dari greatindonesia dan mas Budiosing salah satu budayawan Banyuwangi yang sekarang juga menekuni bidang fotografi, ditemani mas Hendra, owner dari Pondok Kopi Wina. Kita mulai ngobrol.

Obrolan kita dimulai tentang Gandrung Banyuwangi serta cikal bakalnya. Selama ini saya atau mungkin masyarakat Banyuwangi yang lain belum paham akan sejarah cikal bakalnya kesenian Gandrung itu sendiri dan hanya tahu ini lho tari Gandrung khas Banyuwangi tanpa mengetahui cerita di balik itu.

Konon ceritanya kesenian ini timbul sebagai bentuk dan alat komunikasi antar masyarakat Osing yang tersisa dan tercerai berai akibat dari perang besar puputan bayu. Untuk menjalin komunikasi di antara masyarakat Osing yang tercerai berai itu dibuatlah suatu kesenian yang awalnya ditarikan oleh kaum laki-laki yang lebih terkenal dengan sebutan Gandrung Marsan. Hal ini dilakukan mungkin karena kaum laki-laki akan dengan mudah untuk melewati hutan hutan untuk menyampaikan misi yang diemban.

Tiba tiba obrolan kita sejenak terhenti di depan saya sudah tersuguhkan secangkir kopi yang dari tampilannya sama seperti kopi cappucino biasa tapi setelah disruput spontan kata-kata "celeng", "nagud" dan sebagainya keluar bukan sebagai umpatan tapi ekspresi diri dari perwakilan rasa yang tidak bisa dituangkan dalam bahasa.

Konon, katanya awal terbentuknya kata "celeng", "babi" itu juga bukan kata umpatan tapi sebagai kata penanda suatu kelompok masyarakat Osing yang tercerai berai karena perang puputan bayu tersebut. Jadi apabila mereka bertemu kata awal yang keluar sebagai penanda mereka bagian dari suku Osing adalah "celeng", "babi" atau "asu" dan apabila tidak dijawab dengan kata-kata tadi berarti mereka bukan dari suku Osing.

Kembali ke kopi tadi, ternyata ini bukan kopi biasa. Sebagai pencinta kopi saya bisa menjaminnya bahwa ini world class coffee belum pernah merasakan racikan kopi seperti ini, atau anda datang sendiri untuk membuktikannya. Tapi jangan lihat di daftar menu, mintalah kopi spesial, kopi celeng begitu saya dan mas Budiosing menyebutnya.

BUDIOSING SETIANTO Penari Gandrung Banyuwangi.
Dan obrolan pun berlanjut. Sempat mengalami pasang surut, terpinggirkan dan mendapatkan stigma negatif sekarang Gandrung Banyuwangi mulai menggeliat lagi seiring meningkatnya kecintaan masyarakat Banyuwangi akan kota dan tanah kelahirannya.

Pertunjukan Gandrung ada di mana-mana hampir di setiap acara ada. Sadar akan kekuatan budaya Gandrung maka Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas menggagas pergelaran "Gandrung Sewu", sebuah pentas kolosal tari Gandrung yang diikuti oleh kurang lebih 1.000 penari Gandrung di pinggiran Pantai Boom Banyuwangi.

Decak kagum akan kesuksesan acara itu bukan hanya datang dari masyarakat lokal tapi juga masyarakat luar Banyuwangi bahkan mancanegara dan makin menguatkan julukan Banyuwangi sebagai Kota Gandrung.

Stigma Gandrung yang dulu negatif sekarang sudah terhapus oleh pesona Gandrung itu sendiri. Sebagai kesenian rakyat Banyuwangi, Gandrung sekarang sudah melanglang buana seantero dunia melahirkan tokoh-tokoh gandrung dari Semi sampai Supinah bukan hanya sebagai duta daerah tapi duta bangsa. Sebagai rakyat Indonesia khususnya Banyuwangi seharusnya bangga akan kekayaan khasanah budayanya. Dan tidak bisa dipungkiri Gandrung ini sebagai motor penggerak dan memiliki andil besar akan kesuksesan dunia pariwisata Indonesia khususnya Banyuwangi. (Kuncoro Budi)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com