Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Tetek Pantan", Upacara Hormati Tamu

Kompas.com - 31/03/2015, 13:52 WIB
PETIKAN kecapi dan tabuhan garantung atau gong suku Dayak mengudara setelah Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Robert Blake turun dari pesawat di Bandar Udara Tjilik Riwut, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, beberapa saat lalu. Enam remaja putri dengan luwes dan lincah menarikan tari bahalai atau selendang, menyambut kedatangan Blake dan mengawali upacara adat tetek pantan.

Tetek pantan dalam bahasa Dayak Ngaju berarti memotong penghalang atau menyingkirkan rintangan sehingga biasa disebutpula potong pantan. Upacara adat khas suku Dayak itu merupakan warisan tradisi nenek moyang. Dahulu, upacara itu khusus digunakan untuk menyambut kemenangan kepala suku yang pulang dari perang dan mengayau atau memotong kepala musuh.

Kini, tradisi itu digunakan menyambut tamu kehormatan, misalnya kepala negara, menteri, pejabat negara, pimpinan DPR, pimpinan perusahaan, dan tokoh masyarakat yang disegani.

Setelah tarian selesai, mantir adat Kelurahan Langkai, Kecamatan Pahandut, Sius D Daya, yang memimpin upacara adat itu mendekati duta besar. Dengan daun sawang atau daun lenjuang yang dibasahi air suci, dia memerciki sekitar tempat Blake berdiri, seraya berdoa mohon pembebasan dari segala pengaruh roh jahat. Bagian itu disebut memapas.

Ritual dilanjutkan dengan menginjak telur ayam kampung di atas batu oleh Blake dengan kaki kanan. Batu melambangkan kerasnya niat dan usaha manusia untuk meraih suatu kebaikan serta tujuan hidup. ”Telur ayam kampung yang berisi kehidupan ini tercurah ke bumi pertiwi dan akan membawa kesuburan serta kesejahteraan bagi manusia,” kata Sius.

Selanjutnya, ritual adat memasuki bagian utama, yaitu potong pantan atau menyingkirkan rintangan. Di hadapan ”gerbang” kayu berbentuk kubus dengan ukuran masing-masing sisi sekitar 2 meter, terbentang sebatang kayu akasia terselubung kain. Pemimpin adat berada di bagian dalam gerbang, sedangkan tamu di sisi luar.

Sebelum tamu menyingkirkan penghalang, pemimpin adat melontarkan tiga pertanyaan yang wajib dijawab. Tiga pertanyaan itu adalah siapakah nama tamu, berapa jumlah rombongan, dan apa maksud juga tujuan kedatangannya. Setiap kali tamu selesai menjawab satu pertanyaan, pemimpin adat menyahutnya dengan pekik kemenangan atau disebut melahap, "U u u u u Ku iy!"

Blake yang diberi pertanyaan menjawab dengan mantap dalam bahasa Inggris.

Saat itu, Blake mengunjungi Palangkaraya dan Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, untuk meninjau pelaksanaan program perubahan iklim, pengelolaan hutan lestari, dan emisi karbon rendah yang disebut Indonesia Forestry and Climate Support (IFACS) oleh Badan untuk Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID).

Seusai bertanya-jawab, tamu pun dipersilakan menggulung kain penyelubung dengan melipatnya dari kedua sisi terluar menuju ke dalam. Hal itu melambangkan pekerjaan harus dilakukan dengan cermat dan rapi. Kain itu lalu diangkat sebagai lambang dipersembahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Lalu satu mandau atau golok senjata khas suku Dayak yang sakral diserahkan kepada Blake untuk memotong kayu akasia yang dijadikan pantan. Harapannya, dengan memotong hingga putus kayu yang berdiameter sekitar 5 sentimeter itu, segala rintangan dan bahaya yang ada selama tamu berada di Bumi Borneo itu dapat dihindari.

Dengan agak kaku, Blake mengayunkan mata mandau ke kayu itu berulang kali hingga terpotong. Sekali lagi pemimpin adat kembali melahap seiring terpotongnya kayu itu. "Melahap ini artinya membuka pintu anugerah," ujar Sius.

Pada akhir ritual, tamu diberi segelas air kehidupan atau disebut nyalung kaharingan untuk mengembalikan kesegaran setelah memotong penghalang itu. Minuman itu juga melambangkan tamu telah diterima dengan hati terbuka oleh suku Dayak. Blake lalu melewati gerbang dan disambut Wakil Gubernur Kalimantan Tengah Achmad Diran.

Kendati lebih dikenal dengan potong pantan, upacara adat itu tidak selalu memotong sesuatu yang melambangkan penghalang seperti kayu. Ada benda lain yang bisa digunakan untuk upacara itu, misalnya tewu (tebu) atau hasil perkebunan dan pertanian; garantung atau gong, balanga atau guci khas suku Dayak; dan timpung atau kain yang dipasang seperti gorden pintu. "Ini merupakan bentuk penghargaan kami pada tradisi nenek moyang," ucap Sius.

Sius mengatakan, upaya melestarikan tradisi itu masih terkendala masalah dana dan keterbatasan sarana pendukung, misalnya minimnya apresiasi kepada seniman dan penari, alat musik yang seadanya, juga dalam pelaksanaannya kadang tidak mengikuti aturan baku.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com