Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Merayakan Berkah Tambora

Kompas.com - 12/04/2015, 17:04 WIB
DUA ratus penari laki-laki dan perempuan sontak memenuhi lapangan rumput saat aba-aba diberikan. Iringan musik tradisional yang berirama cepat dan riang membakar semangat mereka di bawah sengatan hebat matahari Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Para penari itu membawakan tari berjudul ”Rai Sa Ida” dalam bahasa Mbojo, asli Kabupaten Dompu, yang artinya tunggang langgang.

Mereka tampil di hadapan ribuan penonton selama sekitar tujuh menit mengisi puncak acara ”Tambora Menyapa Dunia” di sabana Doro Ncanga, Desa Sori Tatanga, Kecamatan Pekat, Dompu, Sabtu (11/4/2015).

”Tambora Menyapa Dunia” adalah rangkaian event dalam rangka memperingati 200 tahun letusan dahsyat Gunung Tambora pada 1815 yang diselenggarakan Pemerintah Provinsi NTB bersama pemerintah kabupaten/kota di NTB, terutama Kabupaten Dompu yang menjadi tuan rumah. Acara itu juga dihadiri Presiden Joko Widodo.

Tarian Rai Sa Ida adalah kreasi seniman asal Dompu, Sukri (53). Ia juga sekaligus menjadi koordinator dan koreografer tarian yang idenya dipersiapkan sejak Juni 2013 itu.

”Tarian ini menggambarkan kondisi tiga kerajaan di kaki Tambora tahun 1815 dan letusan gunung api yang memusnahkan mereka,” kata Sukri. Tiga kerajaan itu adalah Sanggar, Pekat, dan Dompu yang binasa disapu letusan Tambora kala itu.

Ratusan ribu jiwa melayang dalam bencana gunung api terhebat yang pernah tercatat dalam sejarah modern tersebut. Asap dari letusan Tambora tak hanya memengaruhi Nusantara, tetapi juga iklim global yang membawa tahun tanpa musim panas di Eropa.

Lincah

Para penari memainkan gerakan tubuh yang lincah sekaligus anggun, menggambarkan kebahagiaan kehidupan rakyat di tiga kerajaan itu sebelum Tambora meletus. Sesekali mereka kompak berputar dan berlari-lari kecil dalam lingkaran.

Balutan kostum tradisional yang berwarna hitam, merah muda, merah, biru, dan ungu menambah semarak penampilan. Penari perempuan memakai busana tradisional Dompu yang bernama baju poro, sedangkan yang laki-laki memakai pakaian yang disebut kunci bae ciwi.

Puncak tarian adalah saat penari menggambarkan kengerian dan kepanikan akibat letusan Tambora. Sebuah replika Gunung Tambora yang terbuat dari papan di tengah lapangan lalu mengeluarkan asap dan menyemburkan material yang meniru erupsi gunung.

Mereka pun berlarian kacau balau, tunggang langgang, persis seperti nama tarian tersebut. Bagian itu lalu diakhiri dengan rebahnya para penari secara bersamaan di atas tanah untuk menggambarkan ribuan jiwa yang tewas dalam peristiwa tersebut. Latar musik dan lagu pun berubah menjadi sendu dan menyayat hati.

Namun, setelah babak kengerian itu, tarian memunculkan pesan harapan. Para penari yang bersimpuh di bagian belakang mengangkat dan mengibarkan tanaman jagung sebagai simbol kemakmuran dan berkah letusan Tambora yang menyuburkan lahan pertanian di sekitarnya sebelum menutup penampilan.

Gerakan tradisional

Sukri mengatakan, meski kreasi sendiri, tarian tetap memasukkan unsur-unsur gerakan tradisional Dompu. Di antaranya sere atau berputar dengan lutut yang setengah ditekuk dan buja ka’danda atau gerakan seperti bermain tombak.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG Ratusan penari menampilkan tari Rai Sa Ida di padang sabana Doro Ncanga, Kabupaten Dompu, Provinsi Nusa Tenggara Barat, saat puncak acara peringatan 200 tahun meletusnya Gunung tambora, Sabtu (11/4/2015). Acara yang dihadiri oleh Presiden Joko Widodo itu juga dijadikan momentum untuk menetapkan Taman Nasional Gunung Tambora.
Hal itu untuk memanggungkan tarian tradisional Dompu yang dinilainya makin tenggelam karena minat generasi muda yang minim. ”Saya berharap dengan tarian ini masyarakat bisa menghargai dan menjunjung tinggi adat budayanya sendiri,” kata Sukri yang juga mengetuai sanggar tari Nggahi Rawi Pahu.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com