Benar kata Gubernur Maluku Ir H Said Assagaff, bahwa pemandangan dari Hotel Maulana, milik almarhum Des Alwi, seorang pegiat pariwisata Banda Neira, dengan panorama laut dan Gunung Api di depan hotel sungguh merupakan pemandangan yang luar biasa. Gunung Api yang masih aktif itu masih berdiri tegak dan kokoh. Tak heran, para tamu hotel betah duduk berlama-lama di pinggir pantai menikmati panorama alam Banda Neira yang jauh dari hiruk pikuk dan gegap gempita kota metropolitan.
"Yuk, kita keliling Banda Neira sebelum keburu magrib," kata Elfien Goentoro, Direktur Komersial dan Pengembangan Usaha PT Pelni.
"Lebih baik naik sepeda," sambungnya.
Deretan sepeda sudah siap berjejer di samping hotel. Tak perlu berlama-lama, bersepeda lah rombongan PT Pelni menelusuri Banda Neira. Melewati pelabuhan, tujuan pertama adalah Rumah Budaya Banda Neira, tak sampai 3 menit dari Hotel Maulana.
Letak Rumah Budaya Banda Neira tepat di depan Delfika Guest House. Di Rumah Budaya ini terdapat berbagai catatan sejarah. Barang-barang peninggalan VOC berupa berbagai jenis meriam, keramik Tiongkok, mata uang, serta beberapa lukisan mengenai situasi pada zaman tersebut.
Yang mencolok adalah di ruang utama museum tergantung sebuah lukisan raksasa yang menceritakan pembantaian orang-orang terpandang di Banda tahun 1621. Mereka biasa disebut dengan orang kaya, dan pada masa itu mereka ditawan oleh VOC lalu dibawa ke Benteng Nassau. Di depan anak istri serta keluarganya, semua orang kaya di Banda tersebut dibunuh secara kejam oleh para samurai dari Jepang yang disewa VOC.
Dalam buku "Sejarah Banda Naira" yang ditulis Des Alwi ditulis penuturan saksi mata, Letnan Laut Nicols van Waert mengenai peristiwa yang terjadi pada 8 Mei 1621 itu.
"Keempat puluh tawanan digiring ke dalam benteng (Fort Nassau) yaitu kedelapan orang kaya yang paling berpengaruh, mereka dituduh sebagai pemicu kerusuhan, yang lainnya digiring bersama-sama bagaikan sekawanan domba. Sebuah kurungan bambu berbentuk bulat dibangun di luar benteng, dan sambil terikat erat dengan tali dan dijaga ketat oleh para penjaga para tawanan itu dipaksa masuk.
Bersama para tawanan itu ada juga enam serdadu algojo Jepang yang diperintahkan masuk ke pagar bambu. Eksekusi ini ngeri untuk dilihat. Para orang kaya mati tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, kecuali salah seorang di antara mereka berkata, "Apakah tuan-tuan tidak merasa berdosa?" tetapi memang sama sekali tidak ada belas kasihan atau merasa berdosa dari pihak VOC."
Menurut Mahdi, pemandu wisata, akibat aksi kejam VOC tersebut, sekitar 6.000 warga Banda terbunuh. Akibatnya penduduk Banda berkurang drastis, Belanda lantas mengirim pekerja dari Jawa, Sumatera, Sulawesi untuk memelihara perkebunan pala di Banda. "Banda sekarang seperti Indonesia kecil. Beragam suku campur di sini. Seperti saya sekarang asal-usul campur aduk," tutur Mahdi.
Cahyono, Senior Manager BBM dan Pelumas PT Pelni menyayangkan tidak terurusnya rumah Budaya Banda Neira. Dari depan, rumah tersebut terlihat terawat. Saat masuk ke dalam dan terus ke ruang belakang, sangat terasa, bagaimana semakin tak terurusnya tempat ini. Rumput-rumput dibiarkan tumbuh tinggi. "Sayang ya, padahal nilai sejarah tempat ini sangat tinggi," katanya.