Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kota Bukittinggi, Pesona yang Harus Dijaga

Kompas.com - 07/05/2015, 16:41 WIB
KOTA Bukittinggi, dengan pemandangan alam dan sejarahnya yang melekat erat, terus menyimpan pesona yang menjadi daya tarik wisata. Kini, di tengah kian banyaknya pilihan tujuan wisata di Sumatera Barat, Kota Bukittinggi tak sendiri. Keberlanjutan daya tarik ini bergantung kepada pemerintah dan warga dalam mengelolanya.

Kota terbesar kedua di Sumbar setelah Kota Padang ini pernah menjadi ibu kota Indonesia pada masa pemerintahan darurat. Di kota ini pula, proklamator Mohammad Hatta lahir. Rumah kelahirannya masih ada dan menjadi museum yang selalu didatangi pengunjung.

Tak jauh dari pusat kota, terdapat Ngarai Sianok, lembah yang di tengahnya mengalir Batang (sungai) Sianok. Pemandangan menakjubkan Ngarai Sianok dapat dilihat pada pagi hari dari puncak bukit Janjang Saribu atau bagian atas dari kawasan lubang Jepang.

Keindahan itu sayangnya mulai terganggu dengan sampah yang berserakan di sungai dan di jalan setapak yang dibangun pemerintah. Janjang Saribu (seribu tangga) yang diperbaiki dan dilengkapi dengan lampu bertenaga surya juga dirusak. Lampu dan aki untuk menyimpan energi listrik hilang dicuri.

Roni Fazilla (26), warga Bukittingi yang berjualan di Janjang Saribu, juga menyayangkan hal itu. ”Sejak dibenahi pemerintah provinsi tahun lalu, nyaris tidak ada perawatan atau penjagaan. Banyak lampu hilang, padahal sebelumnya bagus sekali kalau malam,” ujarnya.

Di lembah, terutama di sekitar Batang Sianok, juga mulai menjamur warung makan yang membelakangi sungai. Jika tidak diatur, pertumbuhan bangunan ini tentu akan merusak keindahan Ngarai Sianok.

Kota wisata

Bukittinggi, yang mencanangkan diri sebagai Kota Wisata sejak 11 Maret 1984, banyak berkembang. Sepuluh tahun pertama merupakan masa euforia. Segala bentuk pembangunan di bidang pariwisata, seperti hotel dan penginapan, amatlah pesat. Kunjungan wisatawan mencapai 266.694 orang per tahun.

Meski pernah menurun saat krisis ekonomi yang melanda Indonesia tahun 1998, kunjungan wisatawan ke Bukittinggi terus menanjak. Tahun 2009, misalnya, jumlah kunjungan wisata mencapai 306.413 orang dan tahun 2014 jumlah wisatawan domestik dan mancanegara yang datang mencapai 455.113 orang.

Kunjungan wisata yang luar biasa ini terasa ketika akhir pekan atau musim liburan. Jalur menuju pintu masuk kota sering kali macet oleh kendaraan pribadi dan bus pariwisata yang akan ke Bukittinggi. Selain itu, wisatawan yang datang dan berencana menginap, tetapi tanpa memesan kamar hotel lebih dulu, dapat dipastikan kesulitan mencari kamar hotel yang kosong. Padahal, saat ini sudah ada 70 hotel, baik berbintang maupun kelas melati, di kota itu.

Namun, Bukittinggi jangan lengah. ”Kini Bukittinggi bukan lagi pemain tunggal. Wilayah lain, seperti Padang Panjang dan Sawahlunto, juga mengembangkan pariwisata. Apalagi dengan adanya kegiatan balap sepeda Tour De Singkarak, daerah tujuan wisata lain di Sumbar terus bermunculan,” kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Bukittinggi Melfi Ebra.

Oleh sebab itu, Bukittingi harus lebih serius menggarap sektor ini. Sadar wisata, baik dari pemerintah, mitra kerja, pelaku yang bergerak di bidang perhotelan, kuliner, oleh-oleh, dan sanggar seni budaya, maupun warga mutlak diperlukan. Jika tidak, keberlangsungan sektor yang menyumbang 62 persen pendapatan asli daerah (PAD) Bukittinggi ini akan terganggu.

Pemerintah Kota Bukittinggi kini menyiapkan konsep community based tourism atau pembangunan pariwisata berbasis masyarakat. Hal itu adalah bagian dari pembangunan pariwisata pada dekade keempat di Bukittinggi, selain pembangunan fisik dan pembangunan hubungan dengan mitra kerja.

Ruang pertunjukan disediakan secara gratis bagi sekolah, perguruan tinggi, sanggar, serta komunitas di kawasan Medan nan Bapaneh Taman Panorama dan Lobang Jepang setiap Sabtu dan Minggu. Pengelolaan pariwisata oleh badan pengelola juga didorong karena sejumlah tempat wisata, seperti Ngarai Sianok, Great Wall Koto Gadang, dan Janjang Saribu, berada di tanah ulayat milik masyarakat.

”Kami ingin setiap tahap pengelolaan pariwisata dipahami oleh semua pemangku kepentingan, khususnya masyarakat. Mereka harus sadar, kota ini bisa hidup dari pariwisata,” tambah Melfi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com