Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Batik Tulis Jetis yang Menghidupi

Kompas.com - 28/05/2015, 09:43 WIB
GELIAT industri batik Nusantara yang diwarnai tumbuhnya seni batik kontemporer dengan ciri khas motif dan metode kekinian tidak lantas mematikan usaha rakyat tradisional. Batik tulis khas Jetis di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, justru eksis karena merawat tradisi leluhur. Usaha rakyat berusia 341 tahun itu berkembang menjadi ekonomi kreatif.

Di sebuah rumah berarsitek Hindia Belanda di Dusun Lemah Putro, Desa Jetis, Sidoarjo, dua perempuan paruh baya duduk menghadap lembaran kain berpola yang dibentangkan pada potongan kayu, akhir April lalu. Tangan kanan memegang kain, sedangkan tangan kiri memegang canting penuh cairan malam panas. Di dekatnya terdapat sebuah mangkuk tembikar berisi cairan malam panas dibakar di atas tungku berisi bara arang.

Ditemani sebuah radio tua yang memutar tembang-tembang Jawa, kedua perempuan itu tekun menorehkan malam di atas kain berpola. Pengapnya ruangan karena suhu tinggi akibat uap panas dari cairan malam tak membuat mereka gerah.

”Membatik dimulai pagi dan baru berakhir sore hari. Dari pekerjaan inilah kami mendapat upah Rp 15.000-Rp 100.000 per lembar kain. Sebuah nilai materi yang menghidupi keluarga selama bertahun-tahun,” ujar Saniyem (55), salah satu pembatik.

Saniyem merupakan salah satu pembatik rumahan di sentra industri Kampoeng Batik Tulis Jetis. Perempuan yang membatik sejak masih remaja itu mengaku sehari mampu menyelesaikan satu hingga tiga lembar kain. Namun, terkadang dia membutuhkan tiga hari untuk menyelesaikan satu lembar kain untuk motif tertentu.

Ketika itu, ia meninggalkan kampung halamannya di Kabupaten Tulungagung, Jatim, yang tak memberinya peluang kerja. Dia hijrah menjadi pembatik di kota yang berjarak lebih dari 100 kilometer dari kampungnya demi mendulang rupiah.

Pembatik seperti Saniyem biasa mengambil kain yang sudah berpola atau bermotif milik pengusaha batik. Kain berpola itu dia proses menjadi kain batik di rumah di sela kesibukannya mengurus rumah. Setelah jadi, kain dikirim kembali ke juragan untuk diproses, seperti pencelupan dan pewarnaan, hingga siap dipasarkan.

Salah satu pengusaha batik, Ischak, mengatakan, batik tulis khas Jetis memiliki beragam motif, baik tradisional maupun hasil pengembangan kreativitas perajin. ”Motif lama, seperti beras wutah, tebon (bunga tebu), sekardangan, sekar jagat, burung merak, dan kembang ceplok, masih diminati konsumen. Selain motif, batik khas Jetis dikenal berwarna mencolok, seperti merah, kuning, dan hijau,” ujar pemilik usaha batik merek HI ini.

Ischak mengatakan, segmen batik tulis khas Jetis saat ini tidak terbatas hanya di Sidoarjo dan Surabaya, tetapi hingga Madura, Solo, Semarang, dan Jakarta. Menurut cerita rakyat, warna terang pada motif batik tulis asal Jetis dipengaruhi konsumen mayoritas yang berasal dari Madura.

Selembar kain batik tulis khas Jetis dihargai mulai Rp 140.000 hingga jutaan rupiah. Pemasaran masih didominasi pasar lokal kendati beberapa perajin mampu menembus pasar ekspor seperti Singapura dan Malaysia.

Perajin umumnya lebih senang menggarap pasar lokal karena tuntutan pasar ekspor tidak sedikit, misalnya harus menggunakan pewarna alam bukan kimia. Padahal pewarna alam butuh proses panjang dan lama serta pencelupan kain berulang-ulang sehingga menguras waktu serta energi.

Juragan batik seperti Ischak mampu menghasilkan paling sedikit 100 lembar kain batik per bulan. Pengusaha batik lainnya bahkan mampu memproduksi 600 lembar kain batik sebulan. Selain kain, batik tulis khas Jetis juga bisa aplikasikan dalam bentuk kain panjang atau jarit, sarung, seprai, taplak meja, dan tas.

Kampoeng Batik Tulis Jetis merupakan satu-satunya sentra industri rakyat batik khas Jetis yang bertahan. Dua sentra lainnya, batik Kedung Cangkring dan Sekardangan, kini tinggal kenangan. Kalaupun tersisa, tinggal pembatik perorangan yang berusaha membangkitkan kembali warisan leluhurnya.

Batik khas Jetis ada sejak 1675 atau 341 tahun silam. Awalnya, usaha batik hanya ditekuni satu orang yang menurut cerita dari mulut ke mulut berasal dari Kerajaan Kediri. Belakangan, jumlah warga yang menekuni usaha batik tulis semakin berkembang, bahkan menjadi usaha turun-temurun.

Lokasi Kampoeng Batik Tulis Jetis yang sangat strategis memudahkan pengunjung menjangkaunya. Ada dua akses masuk. Pertama, dari Jalan Diponegoro, tepatnya di depan Stasiun Sidoarjo. Kedua, melalui Pasar Jetis di tengah kompleks pertokoan di Jalan Gajah Mada.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com