Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Serba-serbi Jelajah Sepeda Papua...

Kompas.com - 10/06/2015, 09:07 WIB
Wisnubrata

Penulis

JAYAPURA, KOMPAS.com - Banyak keunikan terjadi dalam kegiatan Jelajah Sepeda Papua yang diselenggarakan Harian Kompas antara tanggal 3 hingga 7 Juni 2015. Dalam perjalanan sejauh 513 kilometer yang dibagi menjadi lima etape itu, berbagai hal menarik dijumpai pesepeda di tanah Papua. Beberapa di antaranya adalah:

Ular di jalan

Bila di Jawa kita banyak menjumpai tikus, ayam dan kambing berkeliaran di jalan atau berwujud bangkai di atas aspal, di jalanan Papua yang banyak terlihat adalah anjing, babi, dan ular. Babi dan anjing berkeliaran bebas di halaman rumah-rumah. Anjing-anjing ini gemar sekali mengejar pesepeda sambil menyalak sehingga membuat pesepeda gowes terbirit-birit. Selain kedua hewan itu, ada juga makhluk lain yang suka menyeberang jalan: ular. Untung hewan ini lebih sering dijumpai sudah menjadi bangkai, meski ada juga yang melenggang di jalanan dalam keadaan hidup. Untungnya lagi ular tidak suka mengejar pesepeda seperti anjing.

Meski ular di jalan merupakan pemandangan yang menakutkan bagi sebagian orang, namun ular-ular python yang dipelihara di Koramil Bonggo, Papua, justru menghibur para pesepeda yang ingin mengelusnya. Saat para pesepeda bermalam di halaman koramil, ular-ular phyton, burung kakatua, dan burung nuri menjadi teman yang acap dijadikan obyek foto selfie.

Burung-burung Eksotis

Papua terkenal dengan burung cendrawasihnya. Namun ternyata bukan hanya burung itu yang dilihat dalam perjalanan bersepeda di Papua. Beberapa yang tampak adalah burung-burung enggang berwarna hitam dengan paruh besarnya. Lalu ada beberapa jenis alap-alap. Burung-burung lain juga ada, namun hanya terdengar suaranya.

Kompas.com/Wisnubrata Burung-burung cendrawasih dijajakan di pinggir jalan di Bonggo, Papua

Bagaimana dengan cendrawasih? Burung-burung itu kami jumpai dalam perjalanan antara Bonggo dengan Sentani, serta di Sota, perbatasan RI dengan Papua Nugini. Sayang semuanya dalam bentuk awetan, yang dijual di pinggir jalan. Saat ditanya berapa harganya, sang penjual menyebut angka Rp 800.000.

Jejak Pinang Sirih

Saat menginjakkan roda sepeda di Papua, para pesepeda menjumpai bercak-bercak kemerahan di berbagai tempat. Baik di jalanan, di halaman rumah, bahkan di tembok-tembok kantor. Ternyata bercak-bercak itu berasal dari ludah yang mengunyah pinang dan sirih. Banyak orang di Papua, pria dan wanita, mengunyah pinang. Gigi dan bibir mereka menjadi kemerahan, begitu pula dengan ludahnya, yang bila dibuang, akan menghasilkan bercak di mana-mana.

Kompas.com/Wisnubrata Penjual pinang ditemui di sepanjang jalan di Papua. Beberapaesepeda berminat mencobanya

Beberapa peserta Jelajah Sepeda Papua sempat mencoba membeli pinang dan sirih yang dijual di pinggir-pinggir jalan. Saat mencoba mengunyah di mulut, sebagian orang merasakan sensasi pedas dan sepat, namun sekaligus segar. Meski begitu tidak banyak yang tahan mengunyahnya terlalu lama.

Batu akik

Batu akik tidak hanya tren di Jawa. Di Papua pun orang-orang sibuk mencari batu dan menjajakannya di berbagai tempat. Salah satu yang dicari adalah batu dari Gunung Cycloops di Sentani. Demam batu akik ini rupanya juga melanda sebagian pesepeda. Banyak yang berburu batu di setiap persinggahan, baik dari Sarmi, Bonggo, Sentani, maupun Jayapura dan Merauke.

Pada etape kedua, di paruh perjalanan, beberapa peserta diketahui tertinggal di belakang. Setelah ditunggu-tunggu, mereka akhirnya muncul dengan senyum mengembang. Ternyata para pesepeda ini berhenti untuk membeli batu-batuan yang dijual seorang penduduk di pinggir jalan yang kami lalui.

Kompas.com/ Dian Maharani Sebagian peserta Jelajah Sepeda Papua menawar batu-batu yang dijual di pinggir jalan di daerah Bonggo, Papua, Kamis (4/6/2015).

Adapun jenis batu-batuan itu beraneka ragam. Kebanyakan dijual dalam bentuk kasar, belum diasah. Harganya mulai dari Rp 15.000 hingga Rp 300.000 seukuran tiga jari. Soal harga, seringkali tergantung pada kemampuan kita menawar. Menurut beberapa orang, ada cara jitu agar batu itu dilepas dengan harga yang kita kehendaki. Misalnya ditawarkan Rp 100.000, kita tawar separuhnya sambil mengeluarkan uang Rp 50.000. “Biasanya pedagang akan melepaskannya setelah ada uang di hadapannya,” ujar seorang pesepeda.

Yang jelas ada peserta yang membeli banyak batu, lalu disimpan dalam tas sepedanya. Saat peserta itu kebetulan harus dievakuasi karena tidak kuat melanjutkan perjalanan, rekan-rekannya berseloroh, “Itu pasti karena keberatan batu di sepedanya. Jadi dia tidak kuat menghadapi tanjakan.”

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com