Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Swiss, Mengandalkan Kenyamanan Transportasi

Kompas.com - 01/10/2015, 13:38 WIB
BAGI Swiss, negeri berpenduduk sekitar 8 juta jiwa ini, sektor pariwisata adalah primadona. Tak hanya tempat tujuan wisata dengan segala daya tariknya yang dikemas sedemikian rupa, tetapi juga infrastruktur, terutama jaringan transportasi umum yang relatif ”ramah” pun dibangun dengan baik. Kereta api menjadi tulang punggung. Jaringan kereta ini terkoneksi dengan kapal, bus, dan trem lewat Swiss Travel System.

Begitu kita menjejakkan kaki di bandara kota Zurich ataupun stasiun kereta api di kota Luzern, ada petunjuk yang mengarahkan pengunjung ke kantor pusat informasi pariwisata ataupun loket untuk mendapatkan tiket yang bisa digunakan di berbagai moda transportasi umum di Swiss.

Mereka menyebut tiket itu Swiss Travel Pass. Ketepatan waktu dan relatif banyaknya pilihan jam keberangkatan kereta membuat jaringan transportasi ini pun menjadi pilihan warga setempat.

Lukas Huck, warga kota Luzern yang bekerja di kota Zurich, misalnya, memilih tetap tinggal di kota kelahirannya itu. Alasan dia, selain biaya hidup di Zurich lebih mahal dibandingkan di Luzern, perjalanan dengan kereta pergi-pulang ke kantornya bisa ditempuh sekitar 1 jam. ”Dari rumah ke stasiun di Luzern saya bersepeda. Begitu sampai stasiun di Zurich, saya bisa jalan kaki ke kantor,” katanya.

Jumlah penduduk yang relatif sedikit, ketepatan waktu, dan banyaknya pilihan jadwal kereta api membuat orang tak perlu berdesak-desakkan dalam kereta meski pada jam sibuk sekalipun. Orang yang menunggu di emplasemen tidak berdesakan. Hal yang menjadi pemandangan umum di stasiun adalah orang- orang yang berlari atau berjalan cepat mengejar kereta masing- masing.

Sementara bagi wisatawan, perjalanan dengan kereta selain nyaman, pemandangan, kegiatan penduduk di tempat-tempat yang dilewati kereta, dan cerita yang ”dikemas” membuat sebagian penumpang merasa sayang melewatkannya.

Hal itu, misalnya, sebagian meja di gerbong kereta diberi peta, gambar, dan nama kota-kota yang dilewati rangkaian kereta itu. Setiap gambar menunjukkan ”kekhasan” setiap kota, seperti kastil, gunung, dan danau. Sementara kemasan cerita antara lain muncul tentang tiga pria pembuat keju di Appenzell.

Lepas dari semua itu, pemandangan alam menjadi sajian utama yang bisa dinikmati penumpang kereta. Dalam perjalanan selama sekitar 2 jam dari kota St Gallen ke Luzern, misalnya, rangkaian kereta melewati 11 stasiun. Selama perjalanan itu, mata kita dimanjakan, antara lain, dengan kebun-kebun jagung yang menguning, air danau yang kebiruan, dan deretan kapal yang tertambat di sekitarnya.

KOMPAS/CHRIS PUDJIASTUTI Kehijauan rerumputan dan danau dilihat dari dalam kereta rute St Gallen-Luzern di Swiss.
Pada bagian lain, penumpang bisa melihat deretan gudang yang berkesan ”dingin”, dan rumah- rumah di kejauhan yang dikelilingi hijau rerumputan. Pemandangan lain adalah sekumpulan sapi yang tengah merumput lengkap dengan kalung bel di lehernya. Kehijauan itu mengingatkan saya pada perjalanan kereta dari Jakarta ke Jawa Tengah, misalnya, dengan pemandangan antara lain hamparan padi yang menghijau.

Jalur kereta

Kemasan wisata pun disesuaikan dengan jalur kereta untuk memudahkan pengunjung menikmati obyek wisata. Misalnya, pada rute Zurich-Schaffhausen, kereta melintasi air terjun Rhine Falls. Ada pula kemasan wisata dari St Gallen yang memungkinkan pengunjung dalam sehari setidaknya menikmati dua tempat tujuan wisata, yakni Mount Santis yang sebagian bukitnya tertutup salju sekaligus menikmati kota tua Appenzell.

Kemasan wisata lain adalah bersepeda menikmati sebagian Danau Konstanz, taman-taman, dan suasana perumahan, ataupun kegiatan warga setempat di Rorschach. Lokasinya tak jauh dari stasiun Rorschach yang dilewati kereta rute Schaffhausen- St Gallen. Dari stasiun, pengunjung berjalan kaki ke tempat penyewaan sepeda.

Sambil bersepeda menikmati air danau yang tenang dan sesekali berhenti untuk melihat tumbuhan laut ataupun ikan di air danau nan jernih, pikiran saya melayang ke hutan mangrove yang terdapat di beberapa tempat di Tanah Air. Hutan mangrove yang terpelihara dan bebas sampah bisa dikemas menjadi salah satu tujuan wisata alam yang menarik.

Evelyn Manser, pemandu wisata di Appenzell, bercerita, pemerintah setempat pun ketat menjaga kelestarian bangunan lama di kota kecil itu. Bangunan yang didirikan pada tahun 1560-1905 itu dilestarikan arsitekturnya, tetapi penggunaannya disesuaikan untuk tujuan wisata, seperti kantor informasi wisata, toko, restoran, dan penginapan.

Hal serupa juga terlihat di kota lama Stein am Rhein yang dinding luar bangunannya didominasi gambar-gambar yang berkisah tentang kondisi masyarakat setempat tahun 1600 sampai 1800. Misalnya, hukuman mati bagi perempuan yang dinyatakan berselingkuh dan biji-bijian sereal sebagai makanan utamanya.

”Jendela kaca rumah lama di sini nyaris selebar sisi depan bangunannya. Konon, itu dimaksudkan untuk memudahkan pengawasan antarpenduduknya,” kata Babis Bistolas, pemandu wisata.

KOMPAS/CHRIS PUDJIASTUTI Dinding luar umumnya bangunan di kota lama Stein am Rhein, Swiss dihiasi gambar-gambar yang berkisah tentang kondisi masyarakat tahun 1600-1800.
Semua obyek wisata itu ditunjang kemudahan transportasi untuk mencapainya. ”Jaringan kereta kami menjangkau sekitar 75 kota (di Swiss),” kata Stephanie Eich dari Swiss Travel System.

Hal ini bisa dipahami karena 73,7 persen perekonomian Swiss ditunjang sektor jasa, seperti perbankan, asuransi, dan turisme. Dalam Switzerland in brief disebutkan, turisme menjadi kunci perekonomian negeri ini. Tak kurang dari 215.000 warganya bekerja pada sektor pariwisata.

Dari sisi obyek wisata, sesungguhnya Indonesia tak kalah menarik. Apalagi belakangan ini perhatian pemerintah dan masyarakat terhadap pelestarian bangunan lama di beberapa tempat relatif meningkat. Sayang, masih banyak obyek wisata di Tanah Air yang tak didukung infrastruktur memadai untuk mencapainya. (CP)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com