Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tradisi Topo Bisu Lampah Mubeng Benteng Keraton di Yogyakarta

Kompas.com - 15/10/2015, 10:03 WIB
Kontributor Yogyakarta, Wijaya Kusuma

Penulis

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Ribuan warga Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah, Rabu (14/10/2015), mengikuti tradisi "Tapa Bisu Lampah Mubeng Benteng Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat". Tradisi yang sudah ada sejak Sri Sultan HB II ini untuk menyambut malam Malam Satu Suro.

Sekitar pukul 21.00 WIB, masyarakat dari DIY maupun Jawa Tengah mulai berdatangan ke Bangsal Pancaniti, Keben Keraton Yogyakarta. Mereka datang dan duduk bersila mendengarkan para Abdi Dalem melantunkan tembang Macapat yang berisi doa-doa. "Acara Mubeng Benteng diawali dengan Macapat. Isinya doa-doa," kata Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Gondo Hadiningrat Ketua Panitia Tapa Bisu Lampah Mubeng Benteng Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat saat ditemui KompasTravel.

Tepat pukul 23.00 seiring dengan bunyi lonceng jaga, para Abdi Dalem lantas berbaris diikuti oleh masyarakat untuk persiapan prosesi "Tapa Bisu Lampah Mubeng Benteng Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat". Sekitar pukul 00.00, Bregodo, Abdi Dalem dan warga memulai prosesi Mubeng Benteng. "Awal dari Bangsal Pancaniti, Keben Keraton Yogyakarta ini. Lalu berjalan Mubeng Benteng, jaraknya sekitar 4 kilometer," katanya.

Ia menjelaskan, tradisi Mubeng Benteng ini sudah ada sejak Sri Sultan HB II. Mubeng Benteng memang bukan hajatan Keraton, namun dahulu sebagai simbol Bakti Abdi Dalem dan masyarakat. Bentuk pengabdiannya dengan melakukan ronda Mubeng Benteng (ronda memutari benteng) mengamankan Keraton. "Di zaman sekarang juga sama, ini tetap hajatan masyarakat. Nah Keraton yang memfasilitasi," ujarnya.

"Tapa Bisu Lampah Mubeng Benteng Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat", menurut Gondo Hadiningrat, adalah prosesi yang dimaknai sebagai bentuk perenungan diri berupa tirakat atau lelaku sekaligus berdoa untuk Yogyakarta maupun Indonesia ke depan yang lebih baik. "Dimaknai sebagai instropeksi diri dan berdoa, baik diri sendiri maupun untuk sesama, Yogyakarta dan Indonesia. Jadi arti luasnya dari Yogyakarta untuk NKRI," ucapnya.

Sebagai bentuk perenungan dan introspeksi diri, selama tirakat atau lelaku mengelilingi benteng, masyarakat dilarang berbicara, minum, ataupun merokok. Perjalanan berlangsung dalam keheningan total sebagai simbol keprihatinan sekaligus evaluasi terhadap segala perilaku dan perbuatan selama setahun terakhir. "Banyak dari DIY, tapi masyarakat dari Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat juga ada yang ikut serta," katanya.

Sementara itu, Purwadi (68), warga Nganjuk, Jawa Timur mengaku setiap tahun selalu mengikuti acara yang digelar di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Mulai dari Grebeg sampai dengan Mubeng Benteng Keraton. "Setiap tahun selalu ikut, tadi dari Ngajuk berangkat pagi naik bus ke Jogja. Ya untuk ikut Mubeng Benteng ini," ucapnya.

Diakui Purwadi, selain ingin turut melestarikan tradisi, dirinya ikut Mubeng Benteng untuk tirakat. Memanjatkan doa kepada yang memberi hidup dan memohon kesehatan untuk keluarga. "Tirakat, berdoa dan mengucap syukur kepada Yang Maha Kuasa," katanya.

Rute prosesi arak-arakan berawal dari Bangsal Pancaniti, melewati Jalan Rotowijayan, Jalan Kauman, Jalan Agus Salim, Jalan Wahid Hasyim, Suryowijayan, Pojok Beteng Kulon, Jalan MT Haryono, Pojok Beteng Wetan, Jalan Brigjen Katamso, Jalan Ibu Ruswo, dan berakhir di Alun-alun Utara.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com