JEREBUU, KOMPAS.com - Sang Proklamator, Soekarno, kerap mengatakan intisari Pancasila ialah gotong royong. Di Kampung Bena, Jerebuu, Kabupaten Ngada, Flores, Nusa Tenggara Timur, intisari Pancasila itu tak sekadar slogan. Di sana gotong royong justru menjadi nafas dalam aktivitas keseharian mereka untuk menjaga tradisi leluhur.
Kampung Bena merupakan salah satu kampung adat tua di Ngada, Flores. Terletak di kaki Gunung Inerie, hampir seluruh mata pencaharian penduduk di sana adalah petani. Tak ada yang tahu pasti kapan Kampung Bena berdiri.
Pengelola sekaligus penduduk asli Kampung Bena, Emanuel Sebo menuturkan masyarakat Kampung Bena pun tak ada yang bisa menjawab dengan pasti kapan berdirinya Kampung Bena.
"Kami mengetahuinya kampung ini berasal dari leluhur kami dan telah kami tempati secara turun temurun, itu saja. Kalau ditanya kapan berdirinya ya hanya perkiraan yakni antara ratusan atau ribuan tahun yang lalu," ujar Emanuel di Bena, Minggu (14/8/2016).
"Siapa yang bisa angkat batu besar kalau orangnya juga tidak besar, itu tandanya nenek moyang yang ratusan atau ribuan tahun lalu yang membawa. Dan ada ahli yang meneliti usia batu itu tetapi dia juga belum tahu berapa usia batu yang menandakan usia kampung," ujar Velu.
Kampung Bena terdiri dari sembilan suku yakni suku Bena, Nga'da, Ago, Deru Wazi, Deru Kae, Wahto, Dizikopa, Dizi, dan Solomae. Suku Bena merupakan pendiri Kampung Bena. Oleh sebab itulah disebut Kampung Bena.
Sementara suku lainnya berdatangan dan mereka hidup bersama secara turun temurun hingga sekarang. Mereka tinggal di rumah adat panggung yang terbuat dari kayu fai (sebutan masyarakat setempat) dan beratapkan ilalang. Terdapat sekitar 45 rumah adat yang mereka tinggali di Kampung Bena.
Bagi masyarakat Kampung Bena, rumah adat tak sekadar untuk ditinggali, tetapi menunjukkan pula status mereka sebagai penjaga tradisi leluhur yang sudah turun-temurun. Oleh karena itu membangun rumah adat sangatlah penting bagi mereka untuk melestarikan tradisi leluhur yang kian ditinggalkan.
Martinus Ulu, penduduk asli Kampung Bena menuturkan biaya pembangunan satu rumah adat biasanya merogoh kocek Rp 160 juta. Besaran tersebut di luar biaya upacara adat pembangunan rumah.
Biasanya untuk membangun rumah, seseorang harus menyembelih sejumlah kerbau dan babi untuk upacara adat agar rumah yang hendak dibangun diberkati oleh para leluhur. "Biasanya sekitar 13 kerbau dan 60 babi yang disembelih, bisa jadi lebih juga, tergantung orangnya nanti. Dagingnya nanti dibagikan ke tetangga-tetangga," ujar Martinus.
"Misal keluarga atau tetangga ikut menyumbang kerbau atau babi, maka saat keluarga atau tetangga itu membangun rumah. Orang yang tadi disumbang wajib membantu kerbau atau babi pula, itu dilihat dari kepala kerbau atau rahang babi yang dipasang sebagai tanda," lanjut Martinus.
Sepintas memang total biaya pembangunan dan upacara adat terlihat besar dan sulit untuk dipenuhi. Tetapi bagi masyarakat Kampung Bena, mendirikan rumah dengan biaya sebesar itu tak jadi soal.