Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kota Bogor, Tetirah di Kota Mozaik Sejarah

Kompas.com - 28/08/2016, 19:02 WIB

Di Kota Hujan, hampir setiap jengkal alamnya adalah kepingan sejarah sarat makna. Bangunan, tanaman, kultur, hingga udaranya serupa mozaik utuh potret pariwisata. Kota yang nyaman ini bergeliat menyusun narasi lengkap, bersiap memulihkan ingatan dan merangkai masa depan.

Suatu sore, akhir Juli lalu, tetes air sehabis hujan jatuh dari ujung dedaunan pohon kenari yang berjajar rapi di tepi jalan. Bau tanah basah dan udara lembab nan sejuk masuk ke dalam paru-paru. Langit yang perlahan temaram menggoreskan gradasi warna biru, hijau, dan jingga.

Di Tugu Air Mancur, derap sepatu kuda sesekali terdengar, beradu dengan hiruk-pikuk kendaraan. Istana Bogor, yang terletak di lokasi yang lebih tinggi tepat 1 kilometer di depan tugu ini, samar terlihat.

Tugu Air Mancur, yang dahulu bernama Tugu Batu, setinggi 18 meter, satu garis lurus dengan Istana Bogor. Istana yang pada masa penjajahan Belanda merupakan rumah para gubernur jenderal itu kini menjadi tempat tinggal Presiden Joko Widodo.

Impresi kesyahduan Kota Bogor saat ini tentu telah banyak berubah dibandingkan saat Buitenzorg, sebutan lain Kota Bogor, masih sangat alami; saat kendaraan masih satu dua; ketika semua bangunan tak boleh melebihi tinggi pohon kenari.

Lanskap dan denyut keindahan itu dicatat dengan apik oleh Robert Nieuwenhuys (1908-1999). Penulis berkebangsaan Belanda kelahiran Semarang, Jawa Tengah, ini menuliskan kesannya tentang Kota Bogor dalam salah satu bagian buku memoar fiksinya, Faded Portraits (1982).

Nieuwenhuys dan keluarganya rutin berkunjung ke Bogor. Dia, misalnya, menulis, ”Suatu saat, ketika udara panas memuncak, dedaunan menjuntai lesu, rumput mengering dan tanah meretak, ayah pulang sambil berkata, ’Kita akan mencari udara segar,’ kami pun mengerti bahwa saat mengunjungi Buitenzorg telah tiba.”

”Kami mulai menghirup aroma tanah, kelembaban, dan rumput hijau, seolah baru pertama bernapas dalam-dalam,” tulis Nieuwenhuys yang memiliki nama pena E Breton de Nijs.

Taufik Nassuha (50), pegiat sejarah dan pariwisata di Kota Bogor, mengatakan, tulisan itu diperkirakan merujuk pada masa kanak-kanak Nieuwenhuys atau pada 1920-1930. Narasi tersebut membuktikan bagaimana Kota Bogor bukan sekadar tempat singgah, melainkan juga tempat orang datang berelaksasi serta menikmati alam dan sejarah.

Narasi utuh

Hingga kini, Kota Bogor terus menarik orang untuk datang berkunjung. Setiap hari ratusan hingga ribuan orang datang ke Kota Bogor. Jumlah ini melonjak saat akhir pekan. Kunjungan ini belum termasuk ramainya pelatihan dan pertemuan (MICE) yang tumbuh subur.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com