Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gandrung Sewu yang Berjaya di Tanahnya Sendiri

Kompas.com - 20/09/2016, 05:14 WIB
Kontributor Banyuwangi, Ira Rachmawati

Penulis

BANYUWANGI, KOMPAS.com - Sebuah tulisan "Gandrung Sewu" berlatar belakang Selat Bali terlihat jelas saat masuk ke venue pementasan tari kolosal yang berada di Pantai Boom, Banyuwangi, Jawa Timur, Sabtu (17/9/2016).

Sementara itu ribuan penonton sudah memenuhi tempat wisata yang berada tepat di tengah kota Banyuwangi sejak pukul 10.00 WIB, padahal pementasan yang masuk tahun kelima tesebut baru dimulai pukul 15.00.

Sementara itu sebanyak 1.314 penari Gandrung yang berasal dari pelajar tingkat SD hingga SMA sudah mempersiapkan diri untuk make up sejak jam 05.00. Mereka yang dibagi beberapa kelompok berkumpul di beberapa titik yang sudah ditentukan agar make up selesai dalam waktu bersamaan.

"Rata-rata make up dan titik kumpulnya berada di rumah warga yang dekat dengan Pantai Boom lalu kami diangkut dengan kendaraan menuju Pantai Boom. Ada yang jalan juga karena dekat. Kalau saya jam 12.00 sudah selesai make up dan busana," jelas Evita Eka Mayasari, pelajar SMA dari Kecamatan Singonjuruh kepada KompasTravel.

KOMPAS.COM/IRA RACHMAWATI Pelajar Banyuwangi di Festival Gandrung Sewu yang digelar di Pantai Boom, Sabtu (17/9/2016).
Pukul 12.30, semua penari, penabuh gamelan dan pemain sudah siap berada di bibir Pantai Boom. Cuaca cukup panas sehingga dua tenda besar di sisi kanan dan kiri venue dipenuhi oleh penari Gandrung.

Pemkab Banyuwangi juga mengerahkan satu mobil pemadam kebakaran untuk menyiram pasir pantai tempat tari kolosal diadakan. Sementara itu ribuan penari Gandrung menjadi obyek foto para fotografer yang jumlahnya mencapai ratusan orang.

Dinas Pariwisata Kabupaten Banyuwangi telah mengeluarkan ratusan id card untuk fotografer yang akan mengabadikan acara tahunan yang sudah masuk dalam agenda Banyuwangi Festival tersebut.

Sebelum acara dimulai, beberapa lagu daerah yang menggunakan bahasa Using dinyanyikan di pentas yang berada di sisi selatan venue menghadap ke utara.

"Sengaja diletakkan di sebelah selatan agar pementasan benar-benar berlatar belakang Selat Bali dan tidak terhalang panggung. Memang sengaja diubah sebagai bentuk evaluasi setiap tahunnya," ujar Plt Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Banyuwangi, Yanuar Bramuda.

KOMPAS.COM/IRA RACHMAWATI Salah satu formasi di Gandrung Sewu yang melibatkan 1.314 penari di Pantai Boom, Banyuwangi, Jatim, Sabtu (17/9/2016).
Apalagi saat ini, Gandrung Sewu sudah menjadi ikon pariwisata di kabupaten yang berada di ujung timur Pulau Jawa tersebut.

Tari kolosal Gandrung Sewu dimulai pukul 15.00. Fragmen dimulai dengan sekumpulan anak-anak yang berebut layangan, kemudian mereka bertengkar dan saling mengejek. "Sak koncoan ojo tukaran, enake klendi kadung ndeleng gandrung sewu byaen nang Pantai Boom Banyuwangi (Sesama teman jangan bertengkar, bagaimana kalau kita melihat saja Gandrung Sewu di Pantai Boom Banyuwangi)," kata seorang anak.

Gamelan langsung berbunyi, dan aroma dupa menyeruak di udara sekitar Pantai Boom. Perlahan ribuan penari terlihat muncul kanan dan kiri venue menuju ke pantai berpasir. Kondisi pasir di tepi pantai yang lebih rendah membuat ribuan Gandrung itu terlihat keluar dari laut.

Dengan didominasi warna merah, kemunculan ribuan Gandrung tersebut mendapat tepuk tangan dari ribuan masyarakat yang hadir. Untuk tahun ini, Gandrung Sewu mengambil tema 'Seblang Lukinto' yang menjadi kelanjutan tema dari Seblang Sewu tahun 2015 yaitu 'Podho Nonton'.

KOMPAS.COM/IRA RACHMAWATI Salah satu fragmen di Gandrung Sewu yang diselenggarakan di Pantai Boom, Banyuwangi, Jatim, Sabtu (17/9/2016).
Tema 'Podo Nonton' menyajikan teatrikal tentang perjuangan rakyat Banyuwangi yang dipimpin Rempeg Jogopati dalam melawan penjajahan VOC. Saat itu, tarian diakhiri dengan kisah perlawanan para pejuang hingga titik akhir.

Untuk tahun ini 'Seblang Lukinto' mengisahkan kebangkitan sisa-sisa prajurit Rempeg Jogopati untuk kembali mengangkat senjata melawan penjajah. Seblang Lukinto memiliki arti "seb" atau meneng (diam), dan "lang" diambil dari kata langgeng artinya selawase atau selamanya. Sedangkan "Lukinto" merupakan kata dari bahasa Sansekerta yang artinya “dirahasiakan”.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com