BENGKULU, KOMPAS.com - Mengunjungi rumah pengasingan Bung Karno saat diasingkan di Kota Bengkulu tahun 1938 hingga 1942 seolah mengulang sejarah yang pernah tergores di tempat itu.
Bendera Merah Putih menyambut gagah di halaman depan rumah berarsitektur Belanda itu. Hamparan rumput, taman bunga, menambah kesan asri dan nyaman menyambut pecinta wisata sejarah.
Saat memasuki beranda rumah berbelok ke sebelah kanan terdapat ruang kerja Bung Karno. Aroma intelektualitas Bung Karno terasa menyeruak. Buku berukuran tebal tersusun di rak yang dikunci. Semua buku itu merupakan bacaan Bung Karno semasa diasingkan. Semua buku merupakan bahasa asing seperti, Belanda, dan Inggris.
"Bung Karno memang penggila baca buku, semua bukunya berbahasa asing dan buku soal pemikiran intelektual. Tak banyak tokoh nasional seperti sekarang yang hobi membaca seperti ini," ungkap salah seorang pengunjung, Rizky Antoni, Senin (3/9/2016).
Sementara itu di ruang tamu rumah itu selain terdapat meja dan kursi tua, masih terdapat buku koleksi Bung Karno. Buku-buku tebal dan tua itu selalu dirawat secara rutin oleh Balai Cagar Budaya, sebagai peninggalan bersejarah.
Bergeser ke ruang berikutnya terdapat dua lemari kayu berkaca, di dalam lemari itu terdapat pakaian dan properti yang pernah digunakan Bung Karno dan teman-temannya menggelar pentas drama.
Banyak naskah drama yang dihasilkan Bung Karno semasa di Bengkulu. Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Bengkulu, Agus Setyanto dalam buku karyanya berjudul "Sandiwara Bung Karno".
Menurut dia ada lima naskah drama yang pernah dibuat Bung Karno semasa pengasingan di Bengkulu. Anehnya, lanjut Agus, belum ada produser atau seniman yang mau mengadaptasi lakon-lakon seni yang pernah ditulis Bung Karno.
Menurut dia, Bung Karno merupakan tokoh yang tidak hanya sukses dalam memerdekakan Indonesia tetapi juga dalam seni pertunjukan. Ia pernah sukses sebagai penulis naskah, sutradara, manajer, dan sekaligus produser sandiwara tonil yang diberi nama “Monte Carlo” di Bengkulu.
Bahkan, teks naskah Dr. Sjaitan sudah tidak lengkap–hanya ada dua bedrijf (babak) saja, di mana semestinya terdiri atas enam babak (Lambert Giebels, 1999: 201). Namun, melalui beberapa nara sumber lokal, kandungan cerita naskah Hantoe Goenoeng Boengkoek, Dr. Sjaitan, maupun Si Ketjil (Klein’duimpje) dapat direkonstruksi.
Dalam hal penulisan naskah, Bung Karno rupanya tidak mau asal-asalan. Ia berusaha mempelajari berbagai macam cabang ilmu pengetahuan, termasuk ilmu sejarah dan sastra. Referensi pengetahuan serta wawasan kebangsaan Bung Karno yang sangat luas menjadi entitas yang tak terpisahkan dalam implementasi proses gagasan atau ide kreatifnya.
Tanpa hal tersebut, akan sulit bagi seorang Bung Karno dalam menciptakan ide-ide kreatif, seperti menginterpretasi film Franskenstein yang amat populer pada saat itu menjadi lakon Dr. Sjaitan dan Koetkoetbi.
Sementara itu di bagian ruang tengah terdapat replika sepeda tua yang digunakan beliau saat di Bengkulu. terdapat pula ruang tidur yang berdampingan dengan dapur. Sementara di belakang terdapat sumur yang digunakan ia bersama keluarga.
Rumah pengasingan Bung Karno menjadi sejarah dan salah satu destinasi wisata, keberadaan rumah tersebut diharapkan juga dapat mengasah intelektualitas para kaum muda daerah itu termasuk Indonesia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.