BANYUWANGI, KOMPAS.com - Dua orang barista terlihat meracik kopi. Tidak begitu lama aroma wangi kopi langsung menyeruak di udara saat minuman berwarna hitam tersebut disajikan di atas meja.
"Kopi ini tidak saya berikan gratis. Pengunjung yang bisa menjawab pertanyaan saya baru dapat kopi spesial ini. Sekarang pertanyaannya siapa nama Bupati Banyuwangi yang sekarang?" kata Reza, salah satu barista sambil mengangkat cangkir yang berisi kopi panas.
Puluhan pengunjung di stand Komunitas Kopi Banyuwangi langsung mengacungkan tangan. "Abdullah Azwar Anas!" kata seorang pemuda yang berusia sekitar 20-an.
Tidak terlalu lama kopi spesial itu pun berpindah tangan. "Kopinya enak. Istimewa," ungkapnya sambil menyeruput kopinya.
(BACA: Goreng Kopi Sendiri, Bik Sari Ikut Festival 10.000 Cangkir Kopi)
Kisma Dona, koordinator Komunitas Kopi Banyuwangi kepada KompasTravel, Sabtu (4/11/2016), mengatakan khusus untuk acara Festival Ngopi Sepuluh Ewu, komunitasnya sengaja menyiapkan beberapa kopi asli Banyuwangi seperti robusta asal Desa Tamansari, arabika Kalibendo serta robusta koneha asal Desa Tlemung untuk dikenalkan kepada para pengunjung.
"Untuk penyajiannya manual brewing dengan metode V60 dan tubruk. Edukasi tentang kopi ini penting karena harapannya agar pengunjung tidak hanya sekadar menikmati kopi tapi juga menghargai kopi dan para petani kopi," kata Kisma.
"Ini cangkir kuno, usianya sudah puluhan tahun dibelikan ibu saya pas nikahan dulu sekali," kata Karsi (47), warga Kemiren kepada KompasTravel.
Ibu yang memiliki tiga anak tersebut menjelaskan hampir semua masyarakat Desa Kemiren memiliki cangkir tersebut sehingga hampir dikatakan seragam. "Isinya tidak terlalu banyak tapi cukup buat tamu yang datang," jelasnya.
Banyaknya jumlah cangkir kopi yang dimilki masyarakat Kemiren yang menjadi inspirasi nama dari Festival Ngopi Sepuluh Ewu atau sepuluh ribu.
Untuk festival yang digelar rutin setahun sekali sejak tahun 2013 tersebut, Karsi mengaku sengaja menyiapkan sebungkus besar bubuk kopi yang dia olah sendiri. "Ada bubuk kopi dari panitia tapi kadang nggak cukup," kata Karsi.
Dia mengeluarkan kursi dan meja dan diletakkan di pinggir jalan utama desa. Beberapa kerabatnya yang berasal dari luar desa juga hadir untuk meramaikan. "Kalau di sini sudah jadi tradisi ngopi kalau medayo (bertamu)," ujarnya.
Bukan hanya kopi, beberapa camilan seperti kacang rebus, singkong, bolu serta tape gadung juga disiapkan di atas meja. "Kalau mau bawa pulang kue-kuenya kami menyiapkan. Paling mahal harganya Rp 5.000. Tapi yang di meja ya gratis plus kopi," katanya sambil tertawa.