Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Apa Kabar London Hari Ini? (1)

5 November 2017

“We're just ordinary people
We don't know which way to go
'Cause we're ordinary people
Maybe we should take it slow...”

Suara merdu nan renyah milik John Legend mengalun pelan di The Grosvenor Arms, restoran tempat saya sarapan untuk pertama kalinya di The Grosvenor Hotel di 101 Buckingham Palace Rd, London, Minggu (5/11/2017).

Keindahan suara John Legend terasa sempurna dengan dinginnya udara dan suasana klasik hotel yang masih termasuk dalam kompleks London Victoria Station.

Lagu berdurasi 4 menit 41 detik itu baru dimulai ketika saya mulai mengambil potongan apel dan anggur serta menyendokkan baked beans, mushrooms, bacon dan pork sausage yang termasuk dalam menu sarapan khas orang Inggris atau English Breakfast ke piring lebar berwarna putih.

Saya menjumpai dua teman seperjalanan ternyata sudah mulai sarapan terlebih dulu. Mereka duduk di tengah ruangan dan saya bergabung. Sambil menyantap English Breakfast dan menyeruput black tea yang nikmat yang disajikan, saya memandangi right-wing dari The Grosvenor Arms, tempat kami menyantap makanan.

Saya kagum karena orang-orang Inggris bisa mempertahankan arsitektur bergaya Victoria yang kuno hingga detail, mulai dari fasad hingga ornamen di dalam ruangan.

Meski demikian, kekunoan itu tidak meninggalkan kesan “buluk” atau ketinggalan zaman. Bahkan terasa homey dan tetap relevan di masa kini. Relevan karena kemudian dipugar menjadi hotel dengan layanan wi-fi yang “wus wus wus”.

Gedung hotel yang termasuk dalam bangunan terdaftar kelas II di Inggris ini, bersama seluruh bangunan London Victoria Station, dibangun pada tahun 1862 oleh perintis jalur kereta api Victoria. Bangunan ini disebut-sebut sebagai salah satu ikon kejayaan Golden Age di Inggris.

Suara John Legend masih mengalun. “Maybe we should take it slow. Take it slow...”

Saya terhenyak dan mulai mengikuti saran John, take it slow. Mari nikmati sarapan. Baked beans saya yang tadinya mengepulkan asap tipis mulai dingin, begitu juga teh di dalam mug keramik berwarna putih di depan saya.

Udara dingin tetap menjalari tubuh meski berada di dalam hotel. Pagi itu, kata seorang teman yang biasa merokok pagi-pagi di luar, suhu udara di luar hotel 5 derajat celcius. London sedang berada di fase musim gugur.

Suhu rata-rata pada siang hari antara 9-12 derajat celcius, lain cerita pada pagi dan malam hari. Suhu dingin itu bisa jadi terasa makin menusuk tulang ketika angin berembus dan gerimis turun.

Pagi yang dingin, bagi saya, adalah pagi yang malas. Namun tidak untuk orang-orang di London. Hidup harus terus berjalan apa pun kondisinya. Dan London pun menginspirasi saya.

Saya bergegas menyelesaikan sarapan lalu kembali ke kamar untuk menyelesaikan tulisan yang belum juga rampung, catatan perjalanan saya 14,5 jam terbang langsung dengan Garuda Indonesia dari Jakarta ke London. Rute baru ini baru diluncurkan pekan lalu, tepatnya 31 Oktober 2017. Dan akhirnya selesai juga.

Untuk fans berat Harry Potter

Antrean manusia sudah mengular sepanjang 500 meter ketika kami tiba di depan Platform 9 3/4 yang terletak di King’s Cross Station di Central London, Minggu sekitar pukul 10.22 waktu setempat.

Anak-anak dan para penggemar Harry Potter yang datang ke London biasanya memasukkan platform ini sebagai destinasi yang wajib dikunjungi. Lima gadis dari Jerman di belakang saya, misalnya, sudah merencanakan jauh-jauh hari untuk datang ke tempat ini untuk sekadar berforo di Platform 9 3/4.

“Kalau kamu mengaku penggemar Harry Potter, kamu harus datang ke sini kalau ke London,” ungkap Emma.

Bagi para penggemar Harry Potter, nama Platform 9 3/4 tentu sudah tak asing lagi. Pada novel dan film JK Rowling ini, King’s Cross Station diceritakan sebagai pintu masuk bagi para murid sekolah sihir Hogwarts. Untuk sampai di Hogwarts, Harry Potter dan teman-temannya harus menembus dinding bata di antara platform 9 dan 10 di stasiun ini.

Cerita imajinasi yang fenomenal ini pun diabadikan di King’s Cross Station. Namun, tentu saja replika platform ini bukan sungguhan berada di antara platform 9 dan 10 yang berada di dalam stasiun, tetapi di area plaza.


Para pengunjung bisa bergaya ala penyihir Hogwarts dengan syal bermotif garis berwarna merah marun, hijau tua dan biru tua, lalu berfoto gratis tanpa dikenakan biaya.

Di dinding bata berwarna coklat itu menempel trolley (berukuran setengah karena setengahnya lagi seolah sudah masuk menembus tembok), dua koper berwarna coklat klasik dan sangkar burung yang pertama kali dibawa oleh Harry ketika berangkat ke Hogwarts.

Sementara itu, selain fotografer, ada pula asistennya yang bertugas menggerakkan sisa syal dari arah belakang sehingga pengunjung seolah-olah sedang terbang menembus tembok menuju Hogwarts. Sang fotografer dan asistennya sangat ramah dan bahkan menawarkan saya dan teman-teman untuk mengulang pose jika menurutnya foto sebelumnya belum bagus.

Fotografernya juga memperbolehkan dan memberi waktu kepada rekan atau teman seperjalanan kita untuk mengambil foto kita dengan kamera atau ponsel sendiri jika tak ingin menebus foto profesional yang mereka ambil.

Namun, jika berminat mencetak foto, maka silakan menebusnya di The Harry Potter Shop at Platform 9 3/4 yang berada di sebelahnya dengan harga 9,50 poundsterling atau sekitar Rp 169.000 dengan kurs saat ini per fotonya. Jika menebus dua atau tiga foto sekaligus, harganya jauh lebih murah.

The Harry Potter Shop di King’s Cross Station ini baru dibuka 15 Desember 2016. Toko ini menjual berbagai macam suvenir berbau cerita Harry Potter, segala macam produk seri Gryffindor, Slytherin, Ravenclaw hingga Hufflepuff, lalu juga dari boneka Hedwig Plush hingga berbagai tongkat sihir Harry Potter, Ron, Hermione, Albus, dan Voldemort. Semuanya ada di sini.

Biaya foto: gratis (foto sendiri) atau 9,50 poundsterling per foto
Bagaimana sampai ke sana:
- bisa menggunakan tube dan train dan turun di King's Cross Station
- naik bus dengan rute 10, 30, 91 dan 259 misalnya, atau
- menggunakan mobil sewa atau pribadi


***

Setelah puas berpose, termasuk pose loncat seolah terbang ala murid Hogwarts, kami melanjutkan perjalanan menuju Greenwich.

Sebenarnya menuju Greenwich, dibaca “Grenitch” oleh orang setempat, bisa ditempuh dengan tube (underground), kereta dan bus. Namun kejutannya, kami akan pergi ke Greenwich dengan mengikuti cruise tour menyusuri Thames River. Wow!

Kapal dua lantai itu bersandar di Westminster Pier, tepat di seberang London Eye, bianglala raksasa kebanggaan London.

Kami lalu melewati lantai 1 kapal yang tertutup dan berbentuk seperti restoran dengan bar di dekat tangga untuk naik ke lantai atas kapal yang terbuka. Udara dingin menyergap tubuh seketika saat saya tiba di atas. Brrr....

Cuaca selama kami menyusuri Sungai Thames sepanjang 350 kilometer itu sebenarnya dalam kondisi normal saja. Namun karena angin, udara semakin dingin dan menusuk tulang.

Selama perjalanan, para peserta tur mendapatkan penjelasan dari tour guide mengenai tempat-tempat bersejarah dan ikonik yang kami lewati di sisi sungai yang membelah London di bagian selatan hingga bermuara ke laut itu. Sebut saja Tate Modern dan Shakespeare Globe lalu Tower of London dan The Shard.

Pemandu yang berbicara dengan pengeras suara itu juga menjelaskan sejarah serta cerita di balik jembatan-jembatan yang kami lewati dari bawah, seperti Millennium Bridge dan Tower Bridge.

Mesin waktu ke abad pertengahan

Setelah 10 menit berjalan, kapal lalu bersandar di St Katharine Pier. Bersama Steven, pendamping kami selama cruise tour, kami turun dulu. Ya, tur kapal ini juga menyediakan layanan hop-on hop-in di sejumlah pelabuhan kecil. Untuk melanjutkan perjalanan, pengunjung cukup menunggu kapal dengan jadwal berikutnya.

Baru sampai saja di depan restorannya, kami sudah disambut sepasang patung prajurit Abad Pertengahan lengkap dengan pakaian perangnya yang terbuat dari besi di depan pintu. Lalu kami masuk melewati pintu kayu tebal khas kastil abad pertengahan dan langsung disambut tangga ke bawah. Ya, restoran ini terletak di bawah tanah.

“Seribu tahun lalu, Abad Pertengahan berlangsung di sini,” ungkap Steven.

Siang itu, suasana restoran tampak sepi. Menurut Steven, The Medieval Banquet memang dikenal sebagai tempat makan malam. Restoran ini menyediakan tiga hal sekaligus, wisata kuliner, sejarah dan hiburan.


Sebagai wisata kuliner, menu yang disajikan khas Inggris dan disajikan secara unik. Di awal misalnya, kami disajikan daging ikan salmon dan trout yang diasap dengan saus bit panggang dan salad. Pelayan yang mengenakan konstum khas abad pertengahan membawa makanan untuk 7 orang ini dalam satu piring besar aluminium.

Lalu pelayan kembali dengan membawa dua tumpuk medieval bread, roti besar khas abad pertengahan. Bianka Syarief dari British Embassy Jakarta yang mendampingi kami dengan baik menyendokkan masing-masing daging ikan dan kelengkapannya ke piring masing-masing, sementara itu roti dipotong masing-masing sesuai kebutuhan dengan tangan.

Tak lupa kami memeras lemon di atas daging ikan asap itu dan hmmm, nikmat sekali menu appetizer atau makanan pembuka ini....

Pada sesi makanan utama, pelayan bernama Vicky membawa satu piring besar berisi fish chip yang terbuat dari ikan kod. Dia lalu kembali lagi dengan piring besar, maksud saya memang sangat besar, berisi kentang goreng.

Kami lalu menyantapnya hingga kemudian menu dessert tiba, apple bread pudding, kembali di piring besar aluminium. Rangkaian menu ini yang ditawarkan The Medieval Banquet sepanjang musim menjelang Natal 2017. Yummy!

Selain makanan, lanjut, Steven mengatakan, sebagai wisata sejarah, restoran ini seperti mesin waktu yang membawa para pengunjungnya turut mengalami gaya hidup Abad Pertengahan dengan menyediakan ambience layaknya orang-orang abad pertengahan makan pada dulu kala.

Restoran dipertahankan berada di bunker dengan dekorasi dan ornamen khas Abad Pertengahan, seperti tembok yang terbuat dari batu bata berwarna coklat, patung-patung ksatria berbaju perang besi, penerangan redup seolah hanya ada lilin serta bar yang klasik.

“Biasanya ramai pada malam hari dan restoran menyajikan hiburan seperti tarian dan dansa bersama,” tutur Steven.

Untuk menikmati perjamuan ini, ada beberapa tipe menu yang ditawarkan dengan harga beragam, misalnya Midday Feast dengan harga 45 poundsterling per paket, Nightfall Banquet seharga 59 pounds setiap Selasa dan Rabu malam serta 69 pounds untuk hari Kamis hingga Sabtu malam. Anak-anak biasanya cukup membayar 30 pounds untuk makan siang dan 40 pounds untuk makan malam.

Kami lalu melanjutkan perjalanan menuju Greenwich dengan menunggu kapal milik Thames River Service berikutnya yang berangkat dari Westminster Pier. Steven mengatakan, waktu terbaik untuk memulai cruise tour dari Westminster Pier menuju Greenwich adalah sekitar jam 11.00 waktu setempat. Dengan demikian, masih banyak waktu untuk singgah di St Katharine atau sejumlah tempat di Greenwich.

Perjalanan kali ini ditempuh dengan waktu 20-25 menit. Kami mencoba menikmati pemandangan dari lantai 1 kapal yang tertutup. Kami mengambil foto bergantian sambil bercengkerama bersama Nino Fernandez, Sarah Azka, Raindy dan Erna Mardiana yang berangkat ke London atas undangan Garuda Indonesia dan British Embassy Jakarta.

Sekitar pukul 14.30, kapal bersandar di Greenwich Pier. Dengan bersemangat ala prajurit Abad Pertengahan, kami siap mengeksplor tempat yang dulu sering kali saya dengar saat belajar di sekolah dasar.

Greenwich adalah sebuah tempat di sebelah tenggara London yang disepakati sebagai titik 0 derajat garis bujur atau meridian. Greenwich Mean Time (GMT) kemudian dipakai sebagai patokan untuk penentuan waktu di berbagai belahan dunia.

Awan hitam menggelayut di antara awan putih di langit Greenwich. Sesekali awan hitam mendominasi, namun kerap, keberadaannya langsung digeser oleh awan putih. Di baliknya, sinar matahari tetap dengan baik hati memancarkan kehangatannya.

Jangan pernah khawatir... Awan hitam selalu ada, hidup tidak selalu manis. Namun cinta akan memberikan kehangatan. Kita hanya perlu waktu untuk “take it slow”, memberi waktu pada kehangatan cinta dan menikmatinya.

Dan suara John Legend pun terngiang lagi.

"Maybe we'll live and learn
Maybe we'll crash and burn
Maybe you'll stay, maybe you'll leave
maybe you'll return
Maybe another fight
Maybe we won't survive
But maybe we'll grow
We never know Maybe you and I

We're just ordinary people
We don't know which way to go
'Cause we're ordinary people
Maybe we should take it slow..."

BERSAMBUNG: Apa Kabar London Hari Ini? (2)

https://travel.kompas.com/read/2017/11/09/151200727/apa-kabar-london-hari-ini-1

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke