Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Melihat dari Dekat Kehidupan Suku Dayak di Lamandau Kalteng

Ditingkahi suara gendang, garantung, gong dan bebunyian dari alat musik tradisional lainnya, para penari itu terlihat tetap lincah, sekalipun rintik hujan sedang turun.

Begitulah cara masyarakat Dayak di Desa Lopus, Kecamatan Delang, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah menyambut tamunya. Tapi, itu baru permulaan. Ada potongan-potongan kayu bambu melintang di depan puluhan tamu dari dalam dan luar negeri itu.

Seorang mantir (kepala) adat, kemudian maju ke depan. Dengan bahasa setempat, ia menanyakan maksud kedatangan para tamu itu. Setelah jelas, perwakilan dari tamu itu harus memotong kayu-kayu yang melintang.

Ritual memotong kayu itu disebut Garung Pantan. Ritual yang sama harus dilalui para tamu di kampung Dayak lainnya, di Kabupaten Lamandau itu. Ini dialami para tamu itu sehari kemudian, ketika berkunjung ke komunitas Dayak di Kelurahan Tapinbini, Kecamatan Lamandau.

Para tamu yang datang itu memang spesial. Mereka datang dari Italia, Belanda, Singapura, Jakarta, dan beberapa kota lain di Indonesia dalam agenda famtrip ke destinasi wisata Lamandau dan Tanjung Puting yang diinisiasi Swiss Contact dan Dinas Pariwisata Kabupaten Lamandau, 26-30 November 2017.

Destinasi Baru

Namun, perlakuan istimewa itu bukan semata karena keistimewaan rombongan besar itu. Lopus dan Tapinbini merupakan destinasi wisata baru, yang dalam dua tahun terakhir mulai biasa menerima wisatawan.

"Sudah ada 120 kunjungan wisatawan sejak tahun lalu ke desa Lopus," ungkap Rasdi Wangsa, Office Manager Swiss Contact untuk kegiatan pariwisata di destinasi Tanjung Puting, pada Kompas.com, di Pangkalan Bun, Jumat (30/11/2017) malam.

Dua desa di pelosok Kalimantan Tengah ini menyuguhkan pertunjukan tradisi dan lifestyle tradisional suku Dayak dan lingkungan hidupnya yang masih alami. Wisatawan bisa melihat dari dekat kehidupan dan tradisi suku Dayak dan alamnya itu.

Masih dalam rangkaian Garung Pantan tadi, para tetamu kemudian disuguhi welcome drink berupa tuak manis di dalam sepotong bambu. Di Tapinbini, welcome drink tuak manis disajikan dalam tanduk kerbau.

Mereka lalu ditunjukkan bagaimana caranya mengupas kulit kayu, dan menjadikannya sebagai bahan untuk membuat pakaian, ikat kepala, dan topi tradisional yang disebut lawung.

Di Tapin Bini, mereka bisa menyaksikan bagaimana masyarakat Dayak memproduksi beras dengan cara ditumbuk. Mereka juga dapat menonton dan mencoba permainan tradisional. Lalu, tentu saja, menyaksikan dan mencoba menggunakan sumpit, senjata tradisional khas Dayak.

Terlibat

Menyaksikan dari dekat tradisi Dayak, tak berarti menjadikan para tamu sekadar penonton. Sebagai tamu, yang diperlakukan terhormat, mereka juga dilibatkan aktif dalam ritual ikat tongang dan bagondang.

Ikat tongang adalah pemasangan gelang dari akar kayu tongang pada para tetamu oleh kepala adat. Pada tongang yang terikat itu terdapat daun sangkuba, yang menjadi semacam 'mata gelangnya'.

Dalam upacara ini, para tamu didudukkan pada sebuah garantung (alat musik tradisional Dayak), dengan latar belakang Tempayan (guci besar) peninggalan leluhur.

"Jadi orang ikat tongang itu harus duduk di garantung, bersandar di tempayan. Maknanya berarti kita berdiri sama tinggi, duduk sama rendah," kata Kepala Desa Lopus, Yohanes Bidi Dermawan.

Usai penyematan tongang, ada ritus tabur beras, "mengotap bosi" (menggigit besi), dan lalu meminum sedikit tuak manis. Semua ritus ini, dalam pemahaman masyarakat Dayak setempat, ada maknanya.

"Saat kami mengikat, kami itu berdoa. Yang dibaca itu supaya kalian panjang umur dalam bahasa adat. Kalian pulang bisa selamat. Itu doa dari orang agama Kaharingan," lanjutnya.

Lalu, yang tak bisa dielakkan para tamu adalah mereka harus ikut menari dalam acara bagondang. Ketika kepala desa, atau tokoh adat menarik tangan tamunya, maka pada tamu itu segera disematkan busana menari, berupa ikat kepala, kain penutup kaki, untuk kemudian menari atau baigal.

Dalam bagondang, penari berhadapan berpasangan. Di Lopus terdiri dari empat pasangan, sedangkan di Tapinbini dua pasangan.

Tak seperti kebanyakan tarian Dayak yang energik, dalam bagondang tarian berlangsung lambat dan anggun penuh penghayatan. Penari hanya merenggangkan kedua tangan lebar, lalu mengayunkannya perlahan, sembari bergerak ke kanan-kiri.

Kuliner yang unik

Tuak bukan satu-satunya kuliner yang identik dengan Suku Dayak yang disuguhkan dalam trip ini. Selain itu, ada nasi yang juga dimasak dan dikemas dalam daun. Masyarakat setempat menyebutnya daun topah.

Daun ini berbentuk oval, namun lebar, dengan terdapat garis-garis arsiran berwarna hijau tua. Sepintas, kemasannya mirip kue lapis daun pisang, namun lebih panjang.

Yang lebih unik adalah sajian beras ketan gurih yang dikemas dan dimasak dalam bungkus kantong semar. Karena kemasannya, masyarakat setempat menyebutnya tabiku untuk makanan ini.

Tabiku tak lain merupakan sebutan untuk kantong semar itu. Rasa makanan ini seperti nasi lemang yang dibuat di dalam bambu.

Memakan tabiku lebih sedap dengan dicocol ke Sambal Lucung. Lucung di Jawa dikenal sebagai combrang. Tanaman ini banyak tumbuh juga di Kalimantan.

Selain berkesempatan menikmati santapan itu di rumah betang, pengunjung pun diajak menyaksikan cara memasak nasi dan aneka sayur dan lauknya dengan media bambu di pondok tempat berladang masyarakat setempat!

Menikmati Tantangan Alam

Mengikuti proses masak-memasak di ladang, kemudian makan di tempat itu juga menjadi sensasi sendiri. Risikonya, memang pengunjung hanya ditopang dengan fasilitas alami. Air harus mengambil ke sungai. Tidur di tenda. Tapi, konsep kunjungan ke alam ini memang dikemas begitu.

Ini sekaligus sebagai persiapan mengikuti trekking dan mendaki Bukit Bolau, salah satu bukit yang terkenal di Lamandau. Bukit ini masih alami. Di sekelilingnya terdapat ladang dan pepohonan buah-buahan yang menjadi sumber pangan masyarakat setempat. Pada musim buah, banyak orang berburu buah di sana.

Dan yang paling menarik bagi para wisatawan adalah pucuk bukit ini. Dari puncak bukit itu, kita akan seperti berdiri di atas awan. Ya, sebab di sekililing bukit gumpalan-gumpalan awan semata yang sering terlihat, dengan batas di ujung penglihatan jejeran perbukitan lainnya.

"Ugh ini pengalaman yang menyenangkan," kata Irene Van Steenberge, pelaku tour operator dari Belanda.

Bukan hanya itu, tantangan alam lain yang ditawarkan adalah mengikuti arung jeram, di derasnya aliran Sungai Lamandau yang lebar di bawah Bukit Bolau itu. Sementara di Lopus, pengunjung disuguhi kesempatan mengikuti bamboo rafting.

Frans Evendi, Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Lamandau, menyatakan pihaknya mengembangkan wisata alam dan budaya sesuai dengan potensi yang dimiliki.

Selain itu, imbuhnya, wisata jenis ini bisa melibatkan masyarakat, melalui kelompok sadar wisata (pokdarwis) yang telah terbentuk di beberapa desa di Lamandau, sebagai pihak yang mengemas paket kunjungan itu.

Lokasi ini bisa dijangkau empat jam perjalanan darat dari Pangkalan Bun, yang bandaranya telah terkoneksi ke Jakarta, Surabaya, dan Semarang secara reguler.

Bila selama ini, orang mengenal wisata ke kawasan ini untuk melihat orangutan di Tanjung Puting, desa-desa wisata di Lamandau dengan kekayaan alam dan budayanya, bisa jadi menu tambahan dalam berwisata yang menyenangkan.

https://travel.kompas.com/read/2017/12/02/094000327/melihat-dari-dekat-kehidupan-suku-dayak-di-lamandau-kalteng

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke