Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menelusuri Jejak-jejak Makam Tionghoa di Bekasi

Berjalan dari kota menuju Kabupaten Bekasi, saya pun mencari pemakaman etnis Tionghoa. Saya pun memilih menggunakan sepeda motor untuk menempuh perjalanan.

Dari Kota Bekasi, saya pun melintasi Jalan Perjuangan menuju wilayah Kabupaten Bekasi, yakni Babelan. Dari Stadion Patriot Candrabhaga Kota Bekasi, menuju pemakaman tersebut, saya menempuh sejauh kurang lebih 14 kilometer. Sementara waktu tempuhnya sendiri kurang lebih selama satu jam perjalanan.

Sebelum memasuki kawasan Babelan, Kabupaten Bekasi, tepatnya di wilayah Kebalen, saya pun sempat terhenti melihat beberapa bangunan kuburan cina. Beberapa dibuat seperti kompleks sendiri, tetapi tak terlalu banyak bangunan. Lalu, ada pula satu bangunan kuburan yang lokasinya benar-benar berada di pinggir jalan.

Deretan bangunan kuburan Tionghoa pun menarik perhatian saya, sebab bangunan terlihat begitu megah dengan bebatuan hingga atap kuburan. Sebentar saja untuk berkeliling, saya pun berbincang dengan kuncen pemakaman tersebut.

“Sebenarnya ini pemakaman umum, ada pula orang Islam dan Kristen dimakamkan di sini. Tapi kalau orang Tionghoa memang sudah lama banyak yang dimakamkan di sini,” kata kuncen pemakaman di Babelan, Ra’ing kepada KompasTravel, di Babelan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Selasa (30/1/2018).

Ia menjelaskan, orang Tionghoa yang pertama kali dimakamkan di sana sudah ada sejak sekitar tahun 1930-an. Sehingga lokasinya sendiri berada di bagian belakang kompleks pemakaman.

Hingga saat ini, warga Bekasi keturunan Tionghoa yang telah meninggal, ada sekitar 400 yang dimakamkan di sana. Namun, hanya sekitar 100 makam yang sudah dibangun dibuat seperti rumah.

“Ya yang belum dibangun biasanya belum ada dananya. Kalau keluarganya sudah ada dananya biasanya akan dibangun. Kalau bangunan (modelnya) biasa saja ya paling Rp 25 juta sampai Rp 30 jutaan. Tapi kalau megah, ada tuh yang sampai Rp 100 jutaan,” kata dia.

Menurut, Ra’ing, makam tersebut adalah makam pertama orang Tionghoa di sana, bahkan pada saat kakeknya masih menjadi kuncen di sana.

Bangunan makam di sana rata-rata berukuran empat kali empat meter persegi. Terdapat tempat sembahyang seperti kursi-kursi dan juga bagian belakang makam agak tinggi seperti bukit. Mahalnya bangunan makam tergantung pada jenis atau bahan bangunan yang digunakan.

Kala itu juga kebanyakan makam etnis Tionghoa ini dipenuhi alang-alang yang cukup tinggi. Menurut Ra’ing, memang secara sengaja alang-alang tersebut tidak dibersihkan.

“Kalau kepercayaannya (orang Tionghoa) emang begitu. Nanti setelah Cap Gomeh baru dibersihkan. Kalau sekarang dibiarkan dulu, paling tempat sembahyangnya yang selalu dibersihkan, sisanya nanti sekaligus makamnya diperbaiki,” kata pria yang sudah 15 tahun menjadi kuncen di pemakaman tersebut.

Usai berkeliling, saya pun hendak bertemu dengan salah satu warga Bekasi yang merupakan keturunan orang Tionghoa, Veny (72). Veny mengaku sudah lama tinggal di Babelan, Kabupaten Bekasi, mulai sekitar tahun 1965.

Nah, bicara soal makam, Veny mengatakan bahwa dalam budaya keluarganya, ketika meninggal tidak harus selalu dimakamkan.

“Nggak selalu dimakamkan, seperti suami saya dikremasi. Itu tergantung permintaan masing-masing orang nantiya jika meninggal mau dikuburkan atau dikremasi,” kata Venny saat ditemui.

“Biasanya akan ke sana dua bulan setelah Imlek. Buat bersihin dan nambahkan tanahnya supaya nggak rendah. Kan kalau nggak dibersihin lama-lama bisa rusak,” ujar Venny.

Usai berbincang dengan Veny, saya pun kembali bergegas kembali ke Kota Bekasi. Di perjalanan pulang, saya pun mampir ke kuburan Tionghoa yang ada di Jalan Perjuangan, letaknya dekat dengan gerbang masuk Perumahan Wisma Asri.

“Luasnya sih sekitar empat hektar. Ada makam orang Tionghoa, tapi disebelahnya ada juga makam orang-orang Muslim,” kata Ketua Yayasan Pancaran Tri Dharma, Ronny Hermawan.

Dia menjelaskan, pemakaman milik yayasan tersebut pun tidak menarik iuran setiap bulan atau tahunan. Pemakaman yang mayoritas diisi oleh keturunan Tionghoa ini dikelola secara sosial.

https://travel.kompas.com/read/2018/02/03/110000927/menelusuri-jejak-jejak-makam-tionghoa-di-bekasi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke