Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kisah Layar Tancap Keliling, dari Masa Kejayaan hingga Jadi Museum

Praktis, suasana akan terbawa ke masa silam. Masa di mana layar tancap masih menjadi idola di tengah masyarakat Indonesia.

Namun, kejayaan layar tancap telah hilang. Perkembangan teknologi membuat pertunjukan out door itu gulung tikar.

Hariadi lantas menceritakan perjalanan dirinya menjadi pengusaha penyedia hiburan layar tancap keliling. Dalam kurun waktu 1977 hingga 1992, Hariadi sebagai penyedia jasa hiburan lacar tancap mengalami puncak kejayaan.

Sebanyak 45 proyektor yang dimilikinya tersebar ke sejumlah daerah di Jawa Timur. Setiap malam, proyektor itu nyala untuk memberikan hiburan di tengah-tengah masyarakat.

Rata-rata, penonton dalam satu pertunjukan sebanyak 4.000 orang. Tak pelak, Hariadi mendapatkan untung berlimpah. Dalam semalam, ia bisa meraup hasil sebesar Rp 4 juta. Uang sebanyak itu cukup besar di masanya.

"Kita dulu masuk ke pelosok yang tidak pernah di masuki film. Waktu itu emas seharga Rp 20.000 per gram. Saya bisa mendapatkan hasil Rp 4 juta per hari," katanya.

Hariadi menyebut jasa hiburannya itu dengan Cinedex 14. Cinedex merupakan singkatan dari Cinema Gedex. Sedangkan gedex atau gedek merupakan dinding yang terbuat dari anyaman bambu.

"Waktu itu ramai sekali. Karena juga menjadi ajang pertemuan anak muda," katanya.

Dalam sekali pertunjukan, ia bisa memutar hingga tiga film dengan durasi sekitar 5 jam, mulai dari pukul 19.00 WIB hingga 24.00 WIB.

Untuk mempromosikan pertunjukan layar tancap tersebut, pihaknya menyiarkannya dengan selebaran dan pengeras suara sembari berkeliling ke perkampungan dan tempat keramaian.

Ada banyak film yang disediakannya. Semuanya adalah film karya dalam negeri. Termasuk film Rhoma Irama, Barry Prima dan Suzana.

Bioskop itu dikenal dengan sebutan Bioskop Misbar atau gerimis bubar. Sebab, bioskop layar tancap itu dikemas out door. Seperti halnya layar tancap keliling. Bisokop itu cukup terkenal di tengah masyarakat Malang.

Lalu pada Tahun 1992, kejayaan layar tancap mulai redup. Hal itu seiring dengan berkembangnya teknologi dan munculnya sejumlah stasiun televisi swasta.

Hiburan masyarakat beralih. Layar tancap tidak lagi dikerumuni oleh masyarakat.

"Tahun 1992 sudah mulai menurun setelah TV swasta mulai bayak. Tapi Tahun 2000 masih ramai pesanan. Terutama kalau ada hajatan manten. Kemudian untuk perayaan 17-an," katanya.

"Setelah itu mulai habis. Proyektor sekarang jadi besi tua," katanya.

Beruntung, perlengkapan layar tancapnya masih ada yang terpelihara. Dari 45 proyektor, yang masih tersisa hanya 4 unit. Sementara dari ratusan film, yang tersisa hanya 30 film.

"Ada ratusan film. Tapi hanya 30 yang ready," kata Hariadi.

Perlengkapan layar tancap yang masih terpelihara itu disimpan dalam satu ruangan dan dijadikan museum bernama Indonesian Old Cinema Museum. Museum itu telah banyak menyita perhatian masyakat. Terutama kalangan mahasiswa dan turis asing.

"Ada turis kesini lihat - lihat. Ada juga mahasiswa," ungkapnya.

https://travel.kompas.com/read/2018/02/15/111500227/kisah-layar-tancap-keliling-dari-masa-kejayaan-hingga-jadi-museum

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke