Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Perempuan Flores Merawat Tenun sebagai Warisan Budaya

Kaum perempuan yang berada di pelosok Manggarai Timur merasa risih apabila dalam berbagai upacara adat maupun atraksi budaya kalau tidak memakai kain tenun.

Walaupun kaum perempuan masih bergelut dengan urusan domestik serta mengerjakan lahan-lahan pertanian saat musim tiba.

Kaum perempuan setia merawat warisan leluhur itu walaupun mereka harus  membagi waktu antara menanam padi, memetik kopi, mengurusi urusan domestik dalam keluarga dan menenun.

Di Kecamatan Elar, kaum perempuan menenun tenunan motif Rembong, Kecamatan Sambirampas dengan motif Congkar, di Kecamatan Lambaleda dengan motif Lambaleda, Kecamatan Pocoranaka Timur dengan motif Pocoranaka Timur dan Pocoranaka.

Motif Congkar dengan bergaris-garis di kain songkenya, motif Rembong dengan bulat-bulat seperti bulan, motif Lambaleda dengan berbentuk jaring-jaring dan motif Pocoranaka Timur dan Pocoranaka dengan berbentuk ayam.

Saat ini belum ada anak-anak gadis yang mau belajar tenun kecuali ibu-ibu yang sudah berkeluarga.

Itu pun ibu-ibu yang sudah berkeluarga membagi waktu dengan pekerjaan di sawah, di kebun, mengurus anak sekolah dan maupun melayani kebutuhan suami mereka.

Hingga saat ini pemerintah setempat belum memberikan perhatian serius terhadap karya-karya perempuan tersebut khususnya tenun.

Secara khusus KompasTravel belum lama ini mengelilingi lima kecamatan itu untuk menggali potensi tenun yang sering diinformasikan secara lepas.

Berta Linur (41), warga Kampung Marabola, Desa Ligurlai, Kecamatan Elar, Minggu (11/3/2018) dijumpai KompasTravel ketika sedang menenun di rumahnya mengisahkan menenun kain songke dan Mbay merupakan kerja sampingan di waktu senggang. Sementara pekerjaan aslinya adalah merawat kebun dan menanam padi.

"Saya biasa menenun kain motif rembong dan Mbay. Saya menenun kain Mbay dari Kabupaten Nagekeo karena mudah dijualnya sementara kain motif rembong dibeli oleh warga setempat untuk keperluan upacara-upacara adat dan pesta perkawinan adat," katanya.

Linur menjelaskan, harga kain Mbay mulai Rp 200.000 sampai Rp 500.000. Menenun kain Mbay sangat mudah sehingga dalam sebulan bisa menghasilkan empat kain tenun.

Sementara kain tenun motif Rembong membutuhkan waktu sebulan untuk menghasilkan satu kain dengan harga berkisar Rp 800.000 sampai Rp 1.000.000.

"Hasil tenunan ini sangat mudah dijual di pasar di Kabupaten Ngada dan Nagekeo sehingga kaum perempuan lebih fokus menenun kain Mbay dibanding kain tenun setempat walaupun motif rembong sangat bagus. Bahkan pembeli dari Kabupaten Ngada dan Nagekeo selalu membeli langsung dari penenunnya dengan harga murah," katanya.

Bagi kaum perempuan di Golowelu, menenun adalah kerja sampingan bukan merupakan kerja utama.

"Saya bisa menenun karena dilatih Mama Theresia Enas sejak tamatan SMP 1989 di Kampung Rengkam, Desa Golo Nimbung," kata Herni.

"Awalnya dilatih memakai benang, juga cara memasang peralatan-peralatan tenun yang berbahan bambu. Ini karena talenta alamiah dari kaum perempuan itu sendiri. Setahun bisa menghasilkan dua kain tenun motif Lambaleda dan Manggarai," tambahnya.

Herni menjelaskan, kaum perempuan di Manggarai Timur memiliki keterampilan alamiah dalam menenun. Ini juga untuk merawat warisan leluhur supaya tidak punah.

Tetapi, akhir-akhir ini anak-anak gadis tidak lagi tertarik belajar menenun. Yang bisa menenun saat ini adalah kaum perempuan sudah usia lanjut.

"Saya amati bahwa anak-anak gadis di kampung sekitar Kecamatan Lambaleda tidak lagi belajar menenun dari ibu mereka. Anak-anak gadis sangat terpengaruhi dengan perkembangan teknologi," jelasnya.

"Ini merupakan pesan dari ibu saya ketika melatih dan mendidik saya sejak tamat SD di Kampung Golokilit, Desa Lengko Ajang, Kecamatan Sambirampas hingga saya menikah. Yang melatih saya adalah Mama Yustina Linus. Saya sangat tertarik menenun kain tenun motif Congkar karena ketekunan yang dimiliki ibu saya di kampung," katanya.

"Awalnya saya melihat mama menenun. Cara mama menenun membuat saya tertarik untuk bertanya dan belajar," kata Nuria.

Dia menjelaskan, harga kain tenun motif congkar Rp 500.000 dengan ukuran besar dan panjang. Dalam sebulan Nuria bisa menghasilkan 4-5 kain.

Kadang ada keluarga yang pesan atau membeli benang untuk ditenun. Nuria juga bisa menenun kain bermotif Congkar untuk pakaian jas. Harga untuk kain jas Congkar Rp 350.000 per lembar.

"Selama ini biaya beli bahan dan hasil jualnya tetap ada keuntungan. Itu yang membuat saya terus menekuni keterampilan ini walaupun tidak ada perhatian dan bantuan dari pemerintah setempat. Saya usaha sendiri karena warga seluruh Kecamatan Sambirampas selalu memakai kain Congkar untuk upacara-upacara adat," katanya.

Odalia Biba (50), warga Kampung Mui, Desa Kajuwangi, Kecamatan Elar kepada KompasTravel pada pertengahan Maret 2018 menjelaskan, dirinya menenun kain motif Mbay dan Rembong di bawah kolong rumah.

"Kaum perempuan di Kampung Mui tetap menenun kain motif Rembong demi merawat warisan leluhur walaupun pasarnya tidak ada. Kaum perempuan menenun motif Rembong karena ini merupakan identitas budaya dari etnis Rembong di Kecamatan Elar. Jadi yang masih merawat warisan leluhur untuk sebuah identitas budaya adalah kaum perempuan, walaupun minim perhatian pemerintah setempat," katanya.

Harga terendah kain tenun motif Rembong sebesar Rp 500.000. Selama ini kain tenun motif Rembong dijual di sekitar kampung saja saat ada upacara-upcara adat maupun upacara kematian dan perkawinan.

Kaum perempuan tertarik menenun kain motif Mbay karena pasarnya ada di Kabupaten Ngada dan Nagekeo. Juga pembeli dari dari Kabupaten Ngada dan Nagekeo langsung memesan ke para penenun di kampung-kampung di sekitar Kecamatan Elar.

"Menenun untuk mengisi waktu senggang. Pekerjaan utama adalah merawat kebun, menanam padi dan memetik kopi saat musimnya tiba. Apabila musim menanam tiba maka kaum perempuan tidak menenun," katanya.

Emilia menjelaskan, hasil tenun yang dijual dipakai untuk keperluan biaya sekolah anak-anak dari tingkat SD sampai  perguruan tinggi serta biaya kesehatan.

"Saya bisa menenun berkat hasil didikan ibu saya. Biasanya ibu saya mengajak untuk melihat proses menenun selanjutnya. Walaupun kami hanya lulusan SD tetapi saya mampu menangkap apa yang diajarkan oleh ibu secara langsung," katanya.

"Mempromosikan keunikan kain tenun di Manggarai Timur harus didukung dengan jalan raya yang baik. Saya bertekad untuk membuka keterisolasian dimulai dari jalan raya yang baik di seluruh pelosok Manggarai Timur," kata Fransiskus Sarong.

https://travel.kompas.com/read/2018/04/28/112500427/perempuan-flores-merawat-tenun-sebagai-warisan-budaya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke