Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pisang Bakar Khas Semarang Bisa Eksis Lebih dari Setengah Abad

Sebutannya pisang plenet. Dalam istilah orang Jawa, plenet adalah menekan sesuatu hingga pipih. Maka sudah terbayang pisang plenet merupakan pisang bakar yang berbentuk pipih.

Sepintas tidak ada hal yang spesial dari pisang racikan Triyono (54), yang berjualan dengan gerobaknya di sisi Jalan Pemuda Semarang. Namun, ternyata ia merupakan generasi ketiga setelah kakeknya Javar membangun usaha ini sejak 1952.

Menurut Turdi (82) generasi kedua yang masih bisa ditemui, dahulu pisang plenet tercipta akibat rasa bosan Javar terhadap penganan tradisional yang itu-itu saja, semisal singkong rebus, pisang goreng, tahu, tempe, dan umbi-umbian.

Lalu ia coba-coba membuat kreasi pisang yang sempat populer di masanya. Di saat kuliner lainnya masih sederhana tanpa campuran apa pun, ia membuat pisang bakar dengan isian gula, cokelat, dan selai.

Itu dulu, tetapi kenapa di tengah beragamnya aneka kuliner sekarang pisang bakar tradisional ini masih saja dinantikan cita rasanya oleh pelanggannya?

Triyono mengakui, bukan perkara mudah meneruskan resep tersebut di tengah berbagai kuliner modern. Ia pun sempat meninggalkan usaha ini beberapa waktu, untuk "bekerja kasar" yang saat itu dirasanya lebih menjanjikan.

"Justru kekhasannya yang buat saya balik lagi ke pisang ini," tutur Triyono saat KompasTravel berkunjung bersama tim Kampung Legenda, Mall Ciputra Jakarta, ke Semarang, Kamis (19/7/2018).

Kekhasannya lah yang membuat pisang ini masih saja dicari orang. Mereka tetap ingin menyesap kuliner tradisional yang sederhana, tanpa campuran yang berlebihan.

Itu kenapa mulai ia berjualan sore hari, pengunjung gerobaknya tidak pandang usia. Remaja yang sedang jalan, orang tua yang menggunakan motornya, bahkan mobil mewah pun sempat singgah dan membungkus beberapa porsi pisang ini.

Kesempatan tersebut tidak mereka sia-siakan, dengan cara merawat betul resep yang kakeknya wariskan. Mulai dari jenis pisang, isian, proses membakar, bahkan hingga dekorasi grobak.


"Pisang harus kepok, kepok jawa yang kesat. Tapi kalau jual di sini kepoknya mateng, kalau di (Pasar) Semawis yang mengekal, beda selera," kata Triyono.

Di gerobak tradisionalnya, terlihat tungku pembakaran arang masih beroperasi. Tidak ketinggalan aksesoris lampu minyak masih tertempel, walau sudah tidak beroperasi maksimal.

"Kita masih pakai anglo (tungku pembakaran), cuman sedikit lebih modern, kalau dulu tanah liat sekarang anglo besi. Kayunya masih pakai kayu kesambi," katanya.

Kayu kesambi dipilih karena teruji menghasilkan panas yang lama dan merata, meski dengan api kecil. Teknik-teknik macam itulah yang terus ia wariskan kini ke anaknya pemegang tongkat estafet pisang plenet.

Soal rasa, sejak awal hanya ada varian isi selai nanas, gula, dan mentega. Beberapa tahun kemudian di era 70-80an ia menambah messes cokelat, kacang, dan keju.

Ia mengatakan dalam satu hari bisa menghabiskan 15 sisir dengan jumlah pisang sekitar 20 buah tiap sisirnya. 

Bila Anda ingin mencoba kuliner tradisional yang acapkali membuat rindu akan Semarang ini, bisa berkunjung ke Jalan Pemuda, tidak jauh dari sebrang Toko Oen, mulai pukul 10.00 hingga 22.00, ataupun jajaran gerobak Pasar Semawis di malam akhir pekan.

https://travel.kompas.com/read/2018/07/24/121000127/pisang-bakar-khas-semarang-bisa-eksis-lebih-dari-setengah-abad

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke