Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Wisata di Biak, Kota Kenangan Megawati hingga Goa Jepang...

Selain karena logat dan mayoritas penduduknya, iklim dan sejarah tempat ini menjadi satu hal baru yang menarik untuk kami kenali lebih lanjut.

Singkat cerita, setelah diambil keputusan bahwa kami tidak jadi menggunakan kapal Pelni yang dijadwalkan pada sore hari tersebut.

Sebagai gantinya, kami akan menggunakan kapal Kasuari Pasifik 4 milik salah satu kolega dari komandan Landasan Udara (Lanud) Manuhua yang akan berangkat menuju Manokwari pada keesokan harinya. Kami diberi tumpangan gratis!

Maka siang itu kami dijadwalkan untuk bertemu dengan komandan Lanud Manuhua. Saat itu kami ditemani oleh salah satu tentara yang bernama Pak Yoggie untuk menemui Komandan Lanud Manuhua.

Setelah memperkenalkan diri, beliau sedikit banyak menceritakan tentang latar belakang dari Lanud Manuhua. Dalam penuturannya, nama dari Lanud Manuhua sendiri diambil dari nama seorang pejuang Indonesia yang bernama Lambertus Manuhua.

Prajurit asal Ambon ini tergabung dalam Pasukan Khas (Paskhas) operasi Trikora pada masa Ir. Soekarno dahulu kala yang berhasil merebut kembali Irian Jaya Barat (Papua) untuk kembali menjadi bagian dari Indonesia.

Lambertus Manuhua bersama rekan-rekannya diterjunkan untuk berhadapan dengan pasukan Belanda. Saat mengalami kondisi terdesak, Lambertus Manuhua menyuruh semua anak buahnya mundur hingga ia tertembak dan gugur dalam pertempuran tersebut. Lambertus Manuhua gugur di Sorong Selatan.

Singkat cerita, kami dibawa untuk berjalan-jalan mengunjungi beberapa objek wisata di Pulau Biak oleh salah satu tentara yang bernama Pak Sampir. Beliau sudah 17 tahun bertugas di Biak dan sudah cukup mengenal tempat tersebut. Bukit Satu Hati menjadi destinasi pertama yang kami kunjungi.

Bukit Satu Hati masih terletak tidak jauh dari Lanud Manuhua. Dari Bukit Satu Hati, tampak landasan terbang Lanud Manuhua dari tempat tersebut.

Di sana ada stasiun radio milik TNI AU dan mess tentara. Menurut penuturan Pak Sampir, mess tersebutlah yang kerap digunakan oleh Presiden Megawati untuk menginap saat berkunjung ke pulau ini.

Mungkin persinggahan Megawati juga untuk mengenang mendiang suami pertamanya tersebut. Betapa masa lalu tidak pernah hilang, ia akan selalu ada meski tak tahu jalan pulang. Setidaknya bagi mantan Presiden RI Megawati.

Tempat ini memiliki kesan romantis bukan hanya karena kisah tersebut. Letaknya tempat ini yang lebih tinggi dan punya beberapa spot foto berlatar pemandangan Biak.

Landasan terbang Lanud Manuhua dan langit biru yang membentang lapang menghidupkan kesan romantis pada tempat ini.

Seperti banyak “Goa Jepang” lain yang ada di Indonesia, khususnya di pulau Jawa yang pernah saya singgahi, tempat ini merupakan bekas tempat tentara Jepang berkumpul dan bersembunyi dari musuh semasa perang dunia kedua.

Menurut penuturan Pak Sampir, di Indonesia terdapat banyak “Goa Jepang” bukanlah suatu hal tanpa alasan.

Jepang memiliki kecenderungan untuk memilih goa sebagai tempat berkumpul sekaligus benteng karena tempatnya tersembunyi di tengah hutan dan sudah terbentuk secara alami. Hal ini sangat berguna ketika Jepang mendapat gempuran dari Sekutu.

Tanpa ragu, Pak Sampir bercerita bahwa hal tersebut merupakan bekas bom yang dilakukan oleh sekutu. Banyak tentara Jepang yang menjadi korban karena bom tersebut. 

Puing-puing, tengkorak, serta bekas-bekas barang perang Jepang yang menjadi korban dari  bom itu bisa dilihat di Goa Jepang. Para warga setempat, dibantu beberapa ahli konservasi, akhirnya melakukan pemugaran dan menjadikan tempat tersebut sebagai tempat wisata bersejarah.

Tulang belulang, pakaian dan senjata perang serta barang-barang bekas peninggalan para tentara Jepang dikumpulkan lalu diletakkan pada suatu ruangan untuk disimpan dan dipajang. Jalan menuju Goa pun dibuat dengan aspal berbentuk tangga.

Saat ini, pengelolaan Goa Jepang masih dilakukan oleh warga setempat dan belum diambil alih oleh instansi tertentu. Tawar menawar harga terjadi di sini.

Pada awalnya, saya melakukan riset dengan mencari di internet tentang testimoni beberapa orang yang memasuki tempat ini dikenai Rp 25.000 per orang.

Atas kemampuan bahasa dan lokal setempat milik Pak Sampir, kami mendapatkan tiket masuk seharga Rp 10.000. Tentu hal ini lagi-lagi menjadi sesuatu yang kami terima tanpa ragu-ragu lagi.

(Artikel dari anggota Tim Ekspedisi Bumi Cenderawasih Mapala UI, Alva Lashyadi. Artikel dikirimkan langsung untuk Kompas.com di sela-sela kegiatan Ekspedisi Bumi Cenderawasih di Papua Barat)

https://travel.kompas.com/read/2018/08/04/221000027/wisata-di-biak-kota-kenangan-megawati-hingga-goa-jepang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke