Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Merayakan 17 Agustus di Pegunungan Arfak, Dingin...

Saya berada di Distrik Anggi, Kabupaten Pegunungan Arfak, Papua Barat saat Hari Raya Kemerdekaan Republik Indonesia.

Suasana upacara di Pegunungan Arfak, dataran tinggi dengan ketinggian sekitar 1.750 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu berjalan dengan khidmat.

Biasanya, momen-momen 17 Agustus beberapa kali saya rayakan di dataran rendah. Riuh, kemajemukan suku, bangunan pencakar langit, dan nuansa nasionalisme juga penghargaan pahlawan jelas terlihat di kota.

Upacara berlangsung di Lapangan Distrik Anggi. Peserta upacara hadir dari berbagai kampung di Distrik Anggi seperti Kampung Irai, Suteibey, Mboindidip, Imbai, Igmbai, Hungku, Susi, Uper, Testega, Bamaha, dan Kostera.

Sebenarnya tak ada yang banyak berbeda dari upacara-upacara hari kemerdekaan lainnya. Ada pembacaan naskah proklamasi, Undang-undang Dasar 1945, mengheningkan cipta, dan pengibaran bendera Merah Putih.

Namun, suhu dingin adalah pembeda yang sangat kentara. Temperatur suhu saya perkirakan sekitar 18 derajat atau hampir setara air conditioner (AC). Nah, bisa dibayangkan bila malam hari akan turun hingga 3 derajat. Dingin bukan?

“Lapor, upacara pengibaran bendera siap dilaksanakan,” kata komandan upacara kepada Yosias.

“Laksanakan!” jawab Yosias.

Sebelumnya, rombongan bupati tiba menggunakan iring-iringan mobil dengan penggerak empat roda. Sementara, pemimpin upacara sudah masuk ke lapangan upacara.

Saya sungguh bangga bisa ikut upacara bersama saudara-saudara di Pegunungan Arfak. Lokasi yang jauh yakni 4 jam dari Manokwari dan relatif terisolir karena akses yang rusak parah tak mengurangi khidmatnya upacara bendera di tengah pegunungan.

Baju Kebaya hingga Aneka Lomba

Bila anak sekolah mengikuti upacara dengan seragam, tetapi lain lagi dengan rombongan tim perempuan Ekspedisi Bumi Cenderawasih Mapala UI. Mereka datang menggunakan kebaya dengan desain modern serta kain.

Mereka terlihat anggun dengan balutan kebaya. Rahmi Hidayati, anggota Mapala UI adalah inisiator penggunaan kebaya saat upacara.

Meski dengan kebaya, mereka tampak tak kesulitan untuk bergerak. Dea Septania, anggota tim ekspedisi, mengaku tak sulit untuk bergerak atau bergiat dengan kebaya saat upacara.

“Ini pengalaman pertama saya pakai kebaya saat upacara. Biasanya terakhir di acara kondangan. Upacara saya terakhir pas SMA pakai seragam. Kemarin itu agak dingin tak terasa,” ujar Dea kepada KompasTravel.

Salah seorang guru SD di Distrik Anggi sempat mengatakan bila lomba 17 Agustus terakhir di Distrik Anggi diadakan tahun 2015. Dari informasi yang dihimpun KompasTravel, alasan dana dan keamanan juga jadi pertimbangan.

“Memang tahun 2016 itu dana tak turun jadi tak bisa bikin lomba. Lagi pula takut juga kalau ada lomba antar kampung ujungnya bisa berantem,” kata narasumber yang tak ingin disebutkan namanya.

Dari lomba-lomba seperti kelereng, kerupuk, dan tarik tambang, seperti yang lazim hadir di Pulau Jawa, keceriaan nampak dari wajah anak-anak SD. Mereka bersemangat.

“Seru sekali, saya ikut lomba makan kerupuk dan tarik tambang. Saya menang di lomba kerupuk. Merdeka!” kata salah seorang anak SD.

Nilai-nilai perjuangan kemerdekaan dari pejuang semoga bisa diteruskan tetapi bukan untuk perang melainkan untuk meningkatkan perekonomian dan pembangunan bangsa.

https://travel.kompas.com/read/2018/08/21/101500027/merayakan-17-agustus-di-pegunungan-arfak-dingin

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke