Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Merenungkan Bung Karno di Pantai Ria Ende Flores (1)

Perjalanan darat dari arah Barat ke Timur membutuhkan ketahanan fisik yang prima karena jalan Transflores dari Aimere sampai di pertigaan Terminal Watu Jaji ditempuh dengan jalan berkelok-kelok.

Bahkan, seorang yang tidak mampu berhadapan jalan berkelok-kelok itu akan muntah dalam perjalanan.

Jalan Transflores yang berkelok-kelok yang di rintis Belanda dan diteruskan oleh Jepang zaman itu merupakan salah satu keunikan jalan raya di daratan Pulau Flores. Turis asing dan nusantara juga tertarik dengan keunikan jalan raya di Pulau Flores.

Ini juga bagian dari tantangan bagi wisatawan untuk lebih mengenal keunikan alam Pulau Flores. Selain itu bagi turis asal Belanda bisa mempelajari jejak-jejak yang dilakukan selama menguasai Indonesia.

Sebelum masuk ke Terminal Watu Jaji, Kabupaten Ngada, kita melihat puncak Gunung Inerie yang tegak dan menjulang ke langit.

Sesungguhnya di bagian kiri kanan jalan transflores dari Labuan Bajo, ibu kota Kabupaten Manggarai Barat sampai di Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur dengan jarak 705 kilometer memikat mata para pelancong.

Pasalnya selama perjalanan, gunung, bukit dan lembah, pesisir pantai sangat elok dipandang.

Memasuki kawasan Aegela, mobil melintasi jalan menurun menuju ke kawasan Nangaroro. Kiri kanan jalan tumbuh subur pohon kelapa dan pohon-pohon mahoni.

Selanjutnya dari Nangaroro jalan lurus sampai di kawasan Nangapanda. Nangapanda sudah masuk Kabupaten Ende yakni kampung perbatasan antara Kabupaten Nagekeo dan Kabupaten Ende.

Melintasi Nangapanda, kita bisa melihat bagian kanan jalan saat dari arah Barat dengan pantai batu biru. Batu biru selalu dipakai untuk bahan-bahan bangunan dan diekspor ke luar negeri. Namun batu biru itu tak pernah habis.

Siapapun yang berwisata ke Pulau Flores selalu mengungkapkan kekaguman demi kekaguman dan tak bosan untuk mengunjungi kembali Pulau Flores.

Akhirnya mobil memasuki kota Ende. Kota ini terkenal dengan sebutan Kota Pancasila karena pendiri bangsa dan presiden pertama Indonesia, Ir Soekarno pernah diasingkan oleh Belanda di pulau terpencil itu.

Saat diasingkan kolonial Belanda, Soekarno menemukan lima mutiara indah dari Pulau Flores yang selanjutkan dijadikan dasar Negara Indonesia yakni Pancasila.

Saat memasuki Kota Pancasila, saya mulai merenungkan kisah-kisah Soekarno yang tidak menolak Belanda untuk diasingkan ke Flores. Permenungan demi permenungan muncul dalam pikiran dan hati nurani saya terhadap kehebatan Soekarno melewati masa kelam dan masa kegelapan di Kota Ende zaman itu.

Zaman itu belum ada listrik, belum ada jalan-jalan yang bagus. Pertanyaan saya dalam hati, apakah Soekarno atau Bung Karno mengalami stres saat tiba pertama di Pelabuhan Ende dengan keadaan yang serba terbatas? Bagaimana cara Bung Karno dan keluarga mengelola kehidupan yang serba terbatas di Kota Ende saat itu?

Kedatangan saya ke Ende diundang Taman Bacaan Pelangi untuk meliput peresmian Taman Bacaan Pelangi yang ke-100 di Indonesia Timur yang didirikan Nila Tanzil.

Nila Tanzil adalah pendiri Taman Bacaan Pelangi. Taman Bacaan Pelangi sudah secara resmi terdaftar sebagai yayasan dengan nama “Yayasan Pelangi Impian Bangsa” pada tahun 2013.

Ketika saya berada di kamar hotel dan menyiapkan berbagai perlengkapan liputan yang dikeluarkan dari tas, HP berdering. Seorang staf Taman Bacaan Pelangi bernama Monik Harahap mengajak untuk menikmati matahari terbenam di Pantai Ria Ende bersama teman-teman lainnya.

Sebuah tawaran menarik. Saya setuju. Pukul 16.30 Wita, rombongan yang terdiri wartawan Kompas, Liputan6.com Jakarta dan KompasTravel bersama dengan staf Taman Bacaan Pelangi menuju ke Pantai Ria Ende di Kelurahan Kotaratu, Kecamatan Ende Utara.

Selain jurnalis, ada juga ibu dari Nila Tanzil, Yuriah Tanzil bersama cucunya, Sienna, staf Taman Bacaan Pelangi, Fina dan Monik Harahap.

Sambil menikmati kopi flores yang disuguhkan oleh pelayan kafe, ingatan saya kembali merenungkan Bung Karno yang diasingkan di Kota Ende pada rentang waktu 14 Januari 1934 sampai dengan 18 Oktober 1938.

Perlahan-lahan sang surya tenggelam di ufuk barat. Terbayang dalam ingatan saya bahwa saat itu Pantai Ria belum dipadati gedung-gedung perkantoran dan rumah-rumah warga serta bangunan untuk menjual berbagai bahan perdagangan, restoran, rumah makan dan lain sebagainya.

Selama empat tahun Bung Karno menikmati keindahan dan keunikan matahari terbenam di Pantai Ria Ende. Akhirnya dalam permenungan saya berkesimpulan bahwa Soekarno bersama keluarganya sangat menikmati keindahan alam Kota Ende.

Bahkan, di bawah pohon sukun, Bung Karno merenungkan dasar negara atau lima mutiara untuk Indonesia kelak. Dasar negara itulah yang kemudian dikenal dengan Pancasila. 

Selanjutnya saya mengabadikan keindahan senja di Pantai Ria. Saat itu juga nelayan Ende bersiap-siap ke laut untuk mencari ikan. Matahari kembali ke peraduannya di balik bukit dan gunung yang berada di sekitar Pantai Ria sejauh mata memandang.

Sejauh mata memandang saat matahari kembali ke peraduannya, jejeran bukit dan gunung di sekitar Pantai Ria di bagian Timurnya sangat indah dipandang mata. Masing-masing pantai di Flores saat matahari terbenam memiliki keunikan tersendiri.

Liputan saya kali ini di Kabupaten Ende memiliki daya magis dengan ingatan akan Bung Karno yang diasingan di kota ini. Sosok hebat Bung Karno yang muncul dalam ingatan saya memberikan nilai tersendiri.

Saya bersyukur mengalami peristiwa ini karena ingatan saya terhadap Bung Karno yang pernah diasingkan di pulau terpencil di sudut negeri ini.

Saat kembali ke Hotel Grand Wisata Ende, wartawan Kompas, Ester Napitupulu, Yuriah Tanzil (ibu dari Pendiri Taman Bacaan Pelangi, Nila Tanzil) bersama dengan staf Taman Bacaan Pelangi sangat terkesan dengan keunikan dan keindahan senja di Pantai Ria Ende.

Sopir travel, Edi dan Ardi yang menghantar rombongan ke Pantai Ria Ende kepada KompasTravel menjelaskan, wisatawan yang berkunjung ke Ende selalu berkunjung ke Pantai Ria Ende untuk menikmati keindahan dan keunikan matahari terbenam. Apalagi, pantai ini tak jauh Kota Ende.

Pendiri Taman Bacaan Pelangi, Nila Tanzil menjelaskan dirinya mencintai alam dan keunikan-keunikan yang di miliki Pulau Flores.

Ide mendirikan Taman Bacaan Pelangi di Indonesia Timur berawal dari keunikan alam bawah laut di Taman Nasional Komodo.

"Saya tergugah dan terinspirasi oleh keramahtamahan anak-anak di Pulau Flores. Saya bertekad berbuat sesuatu bagi anak-anak di Indonesia Timur. Wujud nyata dari niat baik saya itu dengan mendirikan Taman Bacaan Pelangi pertama kali di rumah penduduk di Kampung Roe, Manggarai Barat. Lantas berkembang ke seluruh Indonesia Timur dengan total sementara sebanyak 104 Taman Bacaan Pelangi dan sekaligus sebagai perpustakaan ramah anak di Indonesia Timur," tuturnya.

“Saya ingin berbuat sesuatu bagi anak-anak Indonesia Timur agar minat bacanya tinggi demi masa depan anak-anak itu sendiri,” kata Nila Tanzil. 

https://travel.kompas.com/read/2018/09/21/120900827/merenungkan-bung-karno-di-pantai-ria-ende-flores-1-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke