Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Suka Duka Bersepeda di Copenhagen...

Termasuk saya. Sejak baru tiba di Bandara Copenhagen, Minggu 14 Oktober 2018, saya ingin segera mewujudkan keinginan bersepeda di kota ini. Keinginan saya ini baru terwujud pada Selasa (16/10/2018) pagi waktu Copenhagen. (Jakarta lebih cepat 5 jam daripada Copenhagen)

Saya dan Dilo, teman saya, janjian bertemu di lobi hotel pada pukul 07.15. Padahal, pada pukul 07.00, matahari masih malu-malu menampakkan diri. Suhu udara pun dingin, kisaran 11 derajat celcius kalau saya lihat di aplikasi ponsel saya.

Nah, untuk bersepeda di sini, saya perlu persiapan yang beda dibanding bersepeda di Jakarta. Saya harus pakai baju lengan panjang, plus jaket, dan celana yang hangat. Ini demi melawan angin dan dinginnya udara pagi di luar sana. 

Saat browsing mengenai sewa sepeda di Copenhagen, ada juga sewa sepeda Donkey Republic. Enaknya, sepeda ini dilengkapi dengan layar GPS. Sehingga, dijamin tidak nyasar. 

Proses penyewaan ini mewajibkan untuk mengunduh aplikasi di ponsel. Semua proses dilakukan secara online. Sepeda pun bisa di-unlock melalui aplikasi tersebut. Dan enaknya, penyewa bisa mengakhiri penyewaan di lokasi drop off yang tersedia di banyak titik. Sewanya 100 krone per hari. 

Oleh karena beda tipis, 25 krone, dengan sewa di hotel, kami memilih sewa sepeda hotel. Dalam hati saya langsung teringat menyewa sepeda seharian di Gili Trawangan yang cuma Rp 50.000 seharian, atau sewa motor di Bali yang juga hanya Rp 50.000 seharian, he-he-he….

Tapi harus dimaklumi, Denmark adalah salah satu negara dengan biaya hidup tinggi di dunia. Ya, anggap aja pengalaman. Kan katanya, pengalaman lebih berharga daripada uang. Katanya loh yaaa…

Oh iya, karena ukuran tubuh kami tidak setinggi orang-orang Eropa, kami harus menyesuaikan tinggi jok sepeda.

Sumpah, sepeda mereka tinggi-tinggi melebihi sepeda jengki di Kota Tua. Sudah posisi jok paling rendah pun, kaki saya tetap masih jinjit untuk menyentuh tanah. Nasib badan setinggi 160 cm.

Tivoli Gardens merupakan taman hiburan di pusat Copenhagen yang menyediakan wahana permainan, musikal, balet, dan konser musik.

Kalau melihat di Google Maps, jarak dari hotel ke sana hanya 3,5 Km dan bisa ditempuh dalam waktu 13 menit.

Keluar dari kawasan hotel, kami melintasi Jalan Raya Kalkbrænderihavnsgade/O2. Kendaraan roda empat masih sepi, tetapi para pesepeda sudah banyak yang berseliweran. 

Kayuhan mereka kencang-kencang. Sementara saya, duh… pelan benar. Saya baru sekali kayuh, mereka sudah dua atau tiga kali kayuh. Walhasil, saya dilewati terus oleh mereka. 

Oh iya, sekadar mengingatkan, berbeda dengan Indonesia yang menggunakan jalur kiri, di Denmark semua pengendara harus di jalur kanan.

Begitu juga dengan jalur sepeda. Jalur sepeda ada di posisi paling kanan. Terlihat jelas tandanya, bahkan ada lampu lalu lintas khusus sepeda di setiap persimpangan.

Nah, jika kayuhan kita pelan, sebaiknya melajulah di sebelah paling kanan. Kalau kecepatan pelan posisi sepeda di sebelah kiri, dijamin akan terdengar bunyi kring… kring… kring… sebagai kode diminta minggir ke kanan. Ini pengalaman pribadi saya gowes di Copenhagen yang memiliki track sepeda sepanjang 375 kilometer.

Sepanjang jalan, berkali-kali kami menengok Google Maps di ponsel. Tentu saja sambil berhenti dan turun dari sepeda.

Agak membingungkan ketika berada di persimpangan jalan atau perempatan, sementara kita harus belok ke kiri atau ke kanan. Syukurnya, banyak yang bersepeda sehingga bisa juga menjadikan mereka sebagai pemandu belok.

Berdasarkan penelusuran di google, saat ini, terdapat lebih dari 1.800 sepeda yang “berkeliaran” di jalan-jalan Ibu Kota Denmark ini. Tak hanya sepeda yang dikayuh, juga sepeda listrik yang membikin kaki tidak terlalu pegal. Jadi, jangan khawatir salah jalan.

Selain itu, yang memudahkan, jalur khusus sepeda sangat jelas. Ada di sebelah paling kanan jalur, dan terdapat gambar sepeda di jalurnya. Saat di persimpangan, jalur sepeda akan diberi warna biru, terkadang juga ada lampu lalu lintas khusus pengendara sepeda.

Nah, untungnya bersepeda, masih bisa menggunakan trotoar untuk melintas. Pada saat bingung mencari jalan, saya dan Dilo lebih memilih turun dari sepeda dan menuntunnya. 

Dengan begitu, kami bisa memangkas jarak daripada harus berputar di persimpangan depan, yang jaraknya lebih jauh dibandingkan jika kami menuntun sepeda ke persimpangan yang sebelumnya.

Saya dan Dilo sempat berhenti beberapa kali di tempat yang menurut kami menarik untuk menjadi background foto. Cekrik... pose yang keren biar tidak boleh ketinggalan saat jelajah kota macam ini.

Selain itu, ada kami juga melihat taman-taman yang luas dengan daun-daun kuning yang berguguran di pinggir jalan raya. Kebetulan, Oktober ini masih musim gugur sebelum masuk dingin. Walau terlihat tak bersih, tetapi daun-daun yang berguguran itu menjadi keindahan tersendiri di mata saya.

Tetapi, kami hanya melewati saja karena jalan masuk ke taman tersebut harus dicari. Taman dikelilingi oleh pagar sehingga orang tidak bisa masuk dengan mudah.

Beberapa perbaikan jalan atau pengerjaan proyek juga kami lintasi. Syukurnya, hal itu tidak mengganggu lalu lintas, meski proyeknya berada di jalan raya.

Jika ada pengendara sepeda hendak berbelok parkir, mereka akan memberi kode dengan lambaian tangan, agar pengendara sepeda di belakangnya tidak mendahului.

Semakin siang, kendaraan roda empat seperti bus dan mobil pribadi kian banyak yang lalu lalang. Namun keberadaan mereka dijamin tidak menganggu pengendara sepeda di jalur sepeda.

Bahkan ketika hendak belok di persimpangan, pengendara mobil lebih mengutamakan pengguna sepeda. Jadi berasa lebih aman.

Setelah mengayuh sepeda yang menurut Google Maps adalah sejauh 3,7 Km, akhirnya kami tiba di Rivoli Gardens. Jam di tangan menunjukkan sekitar pukul 08.00. 

Ternyata, kami menempuh jarak itu memakan waktu 45 menit, meleset tiga kali lipat dari perkiraan Google Maps. Makin sedih, ternyata Rivoli Gardens masih digembok pintu besinya, alias masih tutup.

Rasa nyut-nyut di paha dan kaki yang mengayuh sepeda pun kian terasa. Terbayang 3,7 Km lagi harus saya tempuh untuk menuju tempat saya menginap. Nasib…

https://travel.kompas.com/read/2018/10/17/081800327/suka-duka-bersepeda-di-copenhagen-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke