Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Berlatar Selat Bali, Gandrung Sewu Kisahkan Perjuangan Bupati Pertama Banyuwangi

Festival ini bertema Layar Kumendung yang diambil dari judul syair Gandrung Banyuwangi. Festival yang sudah masuk tahun ke delapan ini menceritakan tentang Bupati Mas Alit, Bupati Banyuwangi yang memindahkan pusat pemerintahan dari Benculuk ke Banyuwangi pada 24 Oktober 1774.

Hal tersebut dilakukan untuk memperkuat pemerintahan ketika Kongsi Dagang Belanda VOC mulai berkuasa. Sejumlah prajurit digambarkan melakukan perlawanan kepada para tentara VOC dan banyak prajurit yang tertangkap dan tewas sehingga banyak anak-anak yang menjadi yatim.

Melihat banyaknya anak yatim, para tetua desa menyemangati mereka dengan mengajarkan tari Gandrung. Saat itu, tari Gandrung merupakan salah satu bentuk perlawanan dari masyarakat Blambangan untuk bergerilya mengumpulkan masyarakat Using yang tercerai berai karena peperangan.

Sementara itu, Mas Alit berada dalam posisi sulit karena sejumlah kerabatnya mendukung VOC. Dia tidak mungkin melawan kerabatnya sendiri, tapi di sisi lain dia bersama rakyat Banyuwangi ingin lepas dari penjajahan Belanda.

Mas Alit kemudian diundang para pejabat VOC ke Semarang. Mas Alit berpikir pertemuan tersebut bisa menjadi upaya diplomatik untuk menyampaikan keinginan masyarakat Banyuwangi.

Mas Alit harus pergi ke Semarang dengan menumpang kapal berbendera Belanda. Kepergian Mas Alit diantarkan oleh rakyat Banyuwangi dengan penuh kesedihan dan ternyata menjadi perjumpaan terakhir karena kapal yang ditumpangi Mas Alit di hadang oleh perompak dan Mas Alit tewas di Sedayu Gresik.

Kuat dugaan, Mas Alit dijebak dan dibunuh karena memimpin pemberontakan rakyat Banyuwangi.

Fragmen tersebut ditampilkan dalam waktu 1 jam 30 menit dengan latar belakang Selat Bali dengan melibatkan 1.301 orang yang terdiri dari 1.173 penari Gandrung, pemain fragmen, serta pemain musik yang didominasi oleh anak-anak muda Banyuwangi.

Lebih dari seribu penari Gandrung muncul dari sisi laut Selat Bali, kanan, dan kiri tempat pagelaran di Pantai Boom Banyuwangi. Dengan apik dan kostum khas, mereka menari mengikuti musik gamelan yang dimainkan oleh 30 pemain musik.

Untuk masuk top 100 kalender event nasional, sebuah event harus bersaing dengan lebih dari 200 event lain se-Indonesia. Gandrung Sewu lolos penilaian tim dan dinyatakan layak masuk dalam Top 100 Calendar of Events," jelas Menpar.

Ditambahkan Menpar, Gandrung Sewu memiliki keunggulan dari tiga nilai sebuah pertunjukan seni yang baik. Nilai itu adalah 3C (Creativity, Cultural, Commercial).

"Gandrung Sewu ini sangat kreatif. Mulai dari jumlah penampilnya yang kolosal, konfigurasi tarinya apik kelas dunia, dan yang jelas sangat kameragenik. Indah di kamera, sekaligus indah di offline," kata Menpar.

Nilai lainnya, lanjut Menpar, adalah pertunjukan ini berbasis dan berakar dari budaya lokal Banyuwangi. Dan yang paling penting, Gandrung Sewu mampu menggeliatkan ekonomi daerah.

Bupati Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas kepada Kompas.com menjelaskan Festival Gandrung Sewu adalah bagian dari konsolidasi kebudayaan dengan kemasan pariwisata.

“Penonton dapat menyaksikan unsur pendidikan tentang cinta bangsa yang begitu kuat. Jadi tidak semata-mata atraksi wisata,Festival ini juga menjadi sarana regenerasi pelaku seni-budaya berbasis tradisi rakyat. Peminatnya tiap tahun ribuan anak muda. Insya Allah Banyuwangi tidak akan kekurangan generasi pencinta seni-budaya, sekaligus ini ikhtiar memajukan kebudayaan daerah sebagai pilar kebudayaan nasional,” jelasnya.

"Saya dapat laporan banyak sekali wisatawan yang datang dari Bali, Jakarta, Bandung dan kota-kota lain. Hotel penuh dan tempat makan di Banyuwangi juga ramai. Efek domino dan ini menjadi berkah ekonomo bagi masyarakat Banyuwangi," pungkas Anas.

https://travel.kompas.com/read/2018/10/21/111200727/berlatar-selat-bali-gandrung-sewu-kisahkan-perjuangan-bupati-pertama

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke