Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Berkunjung ke Desa Adat Wologai di Flores, NTT

Desa adat ini lebih mudah dijangkau dari Kabupaten Ende, sekitar sekitar 37 kilometer arah timur, tepat di sisi Jalan Trans Flores, Kecamatan Detusoko.

Dari jalan berkelok dan menanjak tersebut, akan terlihat rumah-rumah mengerucut di puncak bukit, ketinggian sekitar 1.045 mdpl. Pesonanya dari kejauhan sudah mengundang decak kagum dan penasaran.

Siang itu, terik matahari menyengat saat KompasTravel berkunjung ke sana dalam kegiatan DBS Daily Kindness Trip, Minggu (14/10/2018). Di pintu gerbang tidak terlihat seperti desa adat, rumah-rumah pun dibangun seperti pada umumnya.

"Hari minggu hari bersenang-senang, waktunya poker, tidak boleh kerja," tutur salah seorang pemain kartu, menyambut wisatawan yang datang dengan muka heran.

Hilarius (52) salah satu "anak adat" desa Wologai, ketika itu memperkenalkan diri, sebagai pemandu wisata kami di kampung adatnya. "Anak adat" ialah gelar bagi orang asli keturunan leluhur Wologai.

Ia menceritakan jika kampung ini kira-kira berusia sekitar 800 tahun, tetapi sempat terjadi kebakaran hebat di 2012 yang menghabiskan separuh rumah adat.

Luas kampung ini tidak begitu besar, sekitar kurang dari satu hektar saja. Kawasan tersebut membentuk sebuah krucut, dengan titik pusat di bangunan batu tinggi, bernama Tubu Kanga, dan rumah-rumah adat pun mengelilingiya.

"Ini Tubu Kanga, tidak boleh sembarang orang naik, untuk upacara adat saja," tutur Hilarius, yang mempercayai jika bangunan tersebut ialah kubur batu leluhurnya.

Ternyata setelah menatapnya dari dekat, satu sama lain memiliki perbedaan yang jelas, bahkan nama-nama yang berbeda setiap rumahnya. Hilarius menyebutkan nama-nama rumah tersebut, antara lain Saopanggo, Attawolo, Saolabo, Lewabewa, Analamba, dan lainnya.

Kampung ini memuat 18 bangunan, diantaranya 5 rumah suku, dan satu rumah besar. Rumah suku berada di lingkar terluar dari Tubu Kanga, dan berfungsi jadi tempat tinggal.

Satu rumah hunian tersebut menghabiskan satu pohon besar di hutan. Kayu yang digunakan jenis ampupu, dengan genting ijuk dari pohon enau atau moke .

"Dulu pakenya alang-alang, tapi sekarang sudah sulit dan kurang awat, jadi ganti ijuk," jelasnya.

Ternyata orang ini salah satu juru pahat di Wologai, yang juga memahan berbagai ukiran cantik di rumah-rumah adat.

Selain berkebun dan ternak, warga kampung juga membuat patung-patung kecil dari kayu untuk dijual ke wisatawan, mengolah kopi, mengolah biji kenari, dan membuat anyaman sebagai mata pencaharian.

Bagi Anda yang suka wisata budaya, tentu tempat ini sangat menarik. Selain bisa melihat keunikan arsitektur kampung, Anda bisa bercengkrama dengan masyarakat adat yang ramah dan terbuka.

Warga kampung adat di sini tergolong ramah, terlebih jika Anda datang bersama pemandu wisata lokal, yang fasih bahasa daerah mereka. Hanya saja, anda perlu izin saat mengambil foto mereka, baik anak kecil, maupun dewasa, agar tidak dimintai bayaran.

https://travel.kompas.com/read/2018/10/22/151800627/berkunjung-ke-desa-adat-wologai-di-flores-ntt

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke