Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tradisi Kolo Kabe di Kampung Mesi Flores

Anggota suku dari lima Mbaru Gendang, rumah adat yang berada dalam wilayah tanah ulayat Suku Sulit masing-masing mempersiapkan berbagai keperluan untuk melaksanakan tradisi Kolo Kabe tahunan di pusat kampung Mesi.

Kaum laki-laki sesuai kesepakatan bersama bergegas mengambil bambu muda, kayu api dan sebagiannya mempersiapkan tungku api untuk membakar Kolo atau nasi bambu. Sementara kaum perempuan menyiapkan berbagai keperluan lain seperti beras, menyiapkan hidangan minuman kopi untuk ratusan warga yang mengikuti tradisi tahunan ini.

Kelima Mbaru Gendang, rumah adat di Kampung Mesi di wilayah tanah ulayat Suku Sulit, diantaranya Suku Sulit (tuan tanah, pemilik tanah ulayat), Suku Ka’e, Suku Lenang, Suku Mokol dan Suku Sulit Perwalang. Kelima Mbaru Gendang itu bersama-sama melaksanakan tradisi Kolo Kabe di pusat Kampung Mesi.

Arti Kolo Kabe

Teno Suku Sulit di Kampung Mesi yang juga sebagai pemilik tanah ulayat Suku Sulit, Damianus Abu kepada Kompas.com, Senin (22/10/2018) di rumah gendang Suku Sulit menjelaskan, tradisi Kolo Kabe merupakan tradisi permulaan musim tanam di ladang di wilayah ulayat Suku Sulit di Kampung Mesi.

Kolo Kabe merupakan sebagai awal kalender pertanian untuk menandakan mulainya musim tanam di lahan-lahan kebun ladang di wilayah tanah ulayat Suku Sulit. Jadi biasanya kalender pertanian orang Manggarai Timur yang memiliki lahan-lahan perkebunan ladang dimulai dari bulan September dan berakhir di bulan Februari setiap tahunnya.

Jika tradisi ini tidak dilaksanakan maka anggota suku dari lima rumah gendang di wilayah tanah ulayat Suku Sulit tidak mengolah lahan ladang dalam setahun. Warga dari lima suku ini dilarang secara adat untuk menanam berbagai jenis tanaman, seperti padi dan jagung dan lainnya di wilayah tanah ulayat Suk Sulit.

Aturan lisan ini ditaati oleh seluruh anggota suku dari lima rumah gendang itu. Jika melanggar aturan adat maka anggota suku yang masih mengerjakan lahan pertanian untuk menanam padi dan jagung dan jenis tanaman lainnya dikenakan denda adat.


Damianus menjelaskan sesungguhnya arti Kolo Kabe adalah, "kolo" artinya bakar nasi dengan bambu, sedangkan "kabe" adalah tempat untuk menyimpan nasi bambu saat dihidangkan dengan sebuah daun lebar.

Nenek moyang orang Sulit dan suku lain di wilayah tanah ulayat Suku Sulit tidak mengenal piring, periuk dan peralatan makanan lainnya. Jadi Kolo Kabe adalah tradisi makan nasi bambu secara massal dengan wadah dari sebuah daun saat nasi itu dihidangkan kepada seluruh warga suku.

Namun, sesungguhnya tradisi Kolo Kabe sebagai pembukaan musim tanam di kebun-kebun ladang dari warga limba rumah gendang di wilayah tanah ulayat Suku Sulit. Jadi petani di Manggarai Timur yang tersebar di seluruh kampung memiliki kalender pertanian sesuai yang diwariskan leluhur orang Manggarai Timur.

“Saya sebagai Tua Teno Suku Sulit yang memiliki tanah ulayat bersama dengan empat rumah gendang bersepakat bahwa pembukaan musim tanam 2018 ini ditandai dengan Kolo Kade di pusat kampung agar seluruh warga bisa menanam padi, jagung dan tanaman jenis lainnya di ladang masing-masing,” jelasnya.

Damianus menjelaskan, selama 20 tahun tidak dilaksanakan tradisi Kolo Kade di pusat Kampung Mesi atau di halaman rumah gendang Suku Sulit karena berbagai alasan.


Salah satu alasan adalah apabila di kampung Mesi ada ritual Raga Kaba atau paki kaba bagi orang yang meninggal dunia maka tradisi Kolo Kabe tahun itu tidak dilaksanakan.

Jadi selama 20 tahun tidak dilaksanakan tradisi Kolo Kabe karena ada banyak kendala-kendala yang dihadapi seperti ritual raga kaba atau paki kaba dari masing-masing anggota suku di lima rumah gendang bagi tua adat atau orangtua dari masing-masing anggota suku yang meninggal dunia.

Lalu, 2018 ini lima rumah gendang kembali melaksanakan tradisi Kolo Kabe di pusat kampung Mesi sebagai tanda memulainya musim tanam. Selama 20 tahun anggota keluarga dari lima rumah gendang di wilayah tanah ulayat Suku Sulit menanam di berbagai ladang lainnya di luar tanah ulayat Suku Sulit.

Namun, kali ini memiliki kesepakatan tertulis bahwa tradisi Kolo Kabe di laksanakan tiap tahun di tengah kampung Mesi yang dilaksanakan oleh anggota Suku dari lima rumah gendang dan juga warga dari suku lain yang memiliki tanah di wilayah tanah ulayat Suku Sulit.

Damianus menjelaskan, sebelum dilaksanakan tradisi Kolo Kabe, terlebih dahulu dilaksanakan ritual ghan woja weru di rumah gendang masing-masing anggota suku.

Ghan woja weru sebagai pergantian tahun lama menuju tahun yang baru dalam kalender adat orang Manggarai Timur. Ghan woja weru sebagai tanda “laun kiwan manga, tu’a kiwan weru", artinya menghantarkan tahun lama dan menerima tahun yang baru sesuai kalender adat orang Suku Sulit dan suku-suku lainnya di Manggarai Timur.


Guru Muatan Lokal di SDI Mesi sekaligus anggota Suku Lenang, Wenseslaus Seong kepada Kompas.com, Senin (22/10/2018) di kediamannya menjelaskan, kalender nasional dan kalender global dimulai dari Januari-Desember, sementara kalendar adat orang Manggarai Timur dalam kalender pertanian di mulai September dan berakhir di Februari tahun berikutnya.

Menurut Wenseslaus, tradisi Kolo Kabe merupakan sebuah tradisi pertanian orang Manggarai Timur untuk menghormati alam semesta, Sang Pencipta alam semesta dan leluhur yang sudah meninggal dunia.

Tradisi ini sekaligus memohon berkat dari Sang Pencipta dan leluhur untuk memberkati alam semesta serta tanaman-tanaman pertanian yang ditanam warga petani agar membuahkan hasil yang berlimpah dalam setahun masa tanam tersebut.

Wenseslaus menjelaskan, Sabtu (20/10/2018), lima suku di lima rumah gendang di wilayah tanah ulayat Suku Sulit melaksanakan Kolo Kabe di pusat kampung Mesi yang diikuti oleh ratusan anggota Suku dari lima rumah gendang tersebut.

Gotong Royong Secara Adat

Saat melaksanakan tradisi Kolo Kabe, Sabtu (20/10/2018), lima anggota rumah gendang di wilayah tanah ulayat Suku Sulit secara gotong royong mengumpulkan beras 2 kg dan uang Rp 20.000 yang dikumpulkan oleh 133 orang yang memiliki lahan di wilayah tanah ulayat Suku Sulit. Ini juga bagian dari persaudaraan dan rasa kekeluargaan yang diikatkan oleh tradisi dan adat.

Hingga saat ini kebiasaan gotong royong masih terpelihara dengan baik di kampung-kampung dalam meringankan beban bagi sesama, baik dalam ritual adat maupun upacara lainnya. Gotong royong sangat nampak di kehidupan sosial kemasyarakatan di kampung-kampung.

Tegakkan Aturan Adat

Saat dilangsungkan tradisi Kolo Kabe, Tua Teno Suku Sulit mengumumkan aturan-aturan adat yang harus ditaati oleh seluruh anggota suku dari lima gendang serta warga dari suku lain yang memiliki lahan di tanah ulayat Suku Sulit.

Aturan-aturan adat itu seperti dilarang mencuri dan lain sebagainya. Jika warga melanggar aturan adat ini maka didenda secara adat. Dilarang bunyi meriam bambu dan petasan di tengah kampung, kecuali di tempat umum di luar wilayah tanah ulayat Suku Sulit. Bunyi-bunyian ini berbahaya kaum perempuan yang sedang mengandung.

Selain itu, setelah tradisi Kolo Kabe, warga dilarang menanam jenis tanaman seperti padi dan jagung di ladangnya. Saat mulai tanam, pertama-tama dilaksanakan oleh tua Teno Suku Sulit, baru sesudah itu diikuti oleh warga anggota suku lainnya.

Aturan ini tidak boleh dilanggar oleh seluruh anggota suku dari lima rumah gendang dan warga suku lain yang ada lahan di wilayah tanah ulayat Suku Sulit.

Kolo Kabe di SDI Mesi

Wenseslaus menjelaskan, setiap tahun, siswa dan siswi kelas VI yang mempersiapkan ujian nasional terlebih dahulu dilaksanakan Kolo Kabe di halaman sekolah pada bulan Maret agar anak-anak kelas VI yang mengikuti ujian bisa berhasil.


“Saya sebagai guru muatan lokal di Sekolah Dasar Inpres Mesi memberikan pelajaran secara teori kepada siswa dan siswi dan menerapkan dengan kegiatan langsung kepada siswa dan siswi seperti tradisi Kolo Kabe langsung dilaksanakan di sekolah. Percuma hanya memberikan teori tanpa ada praktik langsung dari teori tersebut, khusus ritual-ritual adat,” jelasnya.

Wenseslaus menjelaskan, Tradisi Kolo Kabe merupakan warisan nenek moyang di Manggarai Timur sebagai awal mulainya musim tanam di seluruh ladang yang berada di masing-masing tanah ulayat. Saat dilangsungkan tradisi itu juga dilanjutkan dengan tapa kolo.

Tapa Kolo artinya masak nasi dengan cara membakar dengan bahan dari bambu. Beras yang sudah di ritual secaraadat dimasukkan dalam lubang bambu muda dan di bakar.

Saat Kolo Kabe ayam warna merah disiapkan untuk ritual adat di persembahkan kepada nenek moyang, alam semesta dan Sang Pencipta.

Menurut Wenseslaus, setiap pemilik ladang melaksanakan tapa kolo di kebun (tapa kolo pean uma) dengan seekor ayam berwarna merah dengan seekor telur.

“Sebelum dilangsungkan Kolo Kabe, terlebih dahulu tua teno Suku Sulit melaksanakan ritual di ujung kampung dengan tapa kolo, di tengah kampung dan di ujung kampung bagian belakang. Semua itu dilangsungkan untuk meminta restu kepada nenek moyang sebagai penjaga kampung dan menghormati, menghargai nenek moyang atas jasa mereka untuk membuka kampung zaman dulu,” jelasnya.

Kolo Massal

Tua adat Suku Ka’e, Marsel Tandang kepada Kompas.com menjelaskan tradisi Kolo Kabe, Sabtu (20/10/2018) dengan menghidangkan 370 kolo (nasi bambu). Warga dari lima rumah gendang membakar (tapa kolo) sebanyak 370 kolo ditengah kampung. Ini tradisi Kolo kabe yang bisa diartikan kolo massal.

“Warga dari lima rumah gendang di wilayah tanah ulayat Suku Sulit sudah menantikan pelaksanaan tradisi Kolo Kabe. Dan saat Tua Teno Suku Sulit membuat rapat dan panitia bersama untuk melaksanakan Kolo Kabe maka warga dari lima rumah gendang sangat gembira dan penuh semangat untuk melaksanakannya,” katanya.

Tandang menjelaskan, sebelum mengenal padi dan jagung, nenek moyang di seluruh Manggarai Timur menanam lepang, ngozu, e’lar atau ghela. Namun, begitu masuknya benih padi dan jagung, perlahan-lahan makanan lokal orang Manggarai Timur punah dan hilang dengan perkembangan-perkembangan benih padi dan jagung yang terus membanjiri seluruh petani dengan program yang dilaksanakan pemerintah.


“Saat ini warga Kampung Mesi dari lima rumah gendang dan seluruh warga Desa Ranakolong dan desa-desa tetangga tidak lagi tertarik untuk menanam lepang, ghozu (sorgum), e’lar atau ghela di ladang-ladang melainkan padi dan jagung. Memang zaman dulu, lepang, ghozu dan e’lar atau ghela ditanam bersamaan dengan padi dan jagung dalam sebuah ladang, tidak ditanam secara terpisah,” katanya.

Perempuan Dilarang Makan Kolo

Tandang memaparkan, saat ritual Kolo Kabe di pusat kampung, baik di kampung Mesi maupun kampung-kampung lainnya di seluruh Manggarai Timur, perempuan dilarang makan Kolo bersama laki-laki di pusat kampung.

Hanya kaum laki-laki saja yang diperbolehkan makan Kolo di tengah kampung, walaupun segala sesuatu disiapkan dan dihidangkan kaum perempuan.

Perempuan bisa menghidangkan berbagai jenis menu makanan dan lauk pauknya, namun selesaikan dihidangkan lantas dibiarkan di tengah kampung tersebut dan selanjutnya dihidangkan oleh laki-laki. Perempuan berada di rumah masing-masing.

Tandang menjelaskan, selama tradisi Kolo Kabe dilangsungkan dilarang menabuh gendang dan gong di dalam rumah gendang maupun rumah-rumah warga pada siang hari. Pada malam hari diperbolehkan oleh tua teno dan tua adat di masing-masing rumah gendang.

Menurut Wenseslaus, larangan kaum perempuan tidak makan kolo sudah diwariskan oleh nenek moyang dan tidak boleh dilanggar oleh keturunannya. Hanya kaum laki-laki saja yang makan kolo. Dikisahkan secara turun temurun bahwa saat kaum laki-laki pergi berperang di zaman dulu, kaum laki-laki menyiapkan hidangan makanan bagi diri sendiri

Selain itu, saat membuka kebun ladang, kaum laki-laki yang mampu menebang pohon besar dan menyediakan hidangan makanan di kebun ladang. Kolo di makan oleh kaum laki-laki sebagai tanda penghormatkan terhadap seorang laki-laki yang bertanggung jawab mengurus keluarga dan berbagai keperluan lainnya di dalam keluarga.

Wenseslaus menjelaskan, perempuan boleh makan kolo hanya di dalam rumah masing-masing. Itupun kalau ritual adat di pusat kampung sudah dilaksanakan dan kaum laki-laki sudah selesai makan kolo.

“Tradisi Kolo Kabe di kampung Mesi sudah disepakati bersama untuk dilaksanakan setiap tahun. Ini juga moment untuk mempromosikan kepada dunia luar tentang ritual adat yang unik di kampung-kampung di seluruh Kota Komba,” jelasnya.


Mantan Kepala Desa Ranakolong, Paulus Ndoi, Rabu (24/10/2018) menjelaskan, nama kampung Mesi di Desa Ranakolong merupakan nama sebuah pohon dadap berkulit putih. Dalam bahasa lokal, dialek Kolor, pohon dadap berkulit putih dinamakan Mesi.

Dikisahkan lereng bukit di Ranakolong itu penuh dengan dadap berkulit putih dan mulai saat itu nenek moyang di Ranakolong memberikan nama kampung itu dengan Kampung Mesi. 

https://travel.kompas.com/read/2018/10/25/141600027/tradisi-kolo-kabe-di-kampung-mesi-flores

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke