Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Trupark, Museum Baru di Cirebon, Layak Dikunjungi

Konsepnya sama dengan museum batik di Jakarta, Museum Tekstil (1976); Museum Batik Kuno Danar Hadi, di Solo, Jawa Tengah (1967); Museum Batik Seno, Jogjakarta, (1979); dan Museum Batik, Pekalongan, Jawa Tengah (1972). Ada koleksi batik, perkakas membatik, dan kegiatan membatik bagi pengunjung.

Selain paling lengkap koleksi batik kuno-nya, arsitektur dan interior Museum Danar Hadi tampil klasik dan asri, sementara Museum Batik Pekalongan mengandalkan kelengkapan koleksi batik di seluruh penjuru Tanah Air. 

Lalu apa yang beda di Museum Trupark? Museum ini tampaknya tidak berpretensi menjadi museum sebenarnya yang mengandalkan kelengkapan koleksi batik nan serius. Pengunjung hanya diajak mengenal sekelebat, apa itu batik. Sekelebat batik.

Museum ini lebih menawarkan hiburan dan edukasi ringan yang mengingatkan, “Hei, Indonesia punya batik, lho”. Beberapa ruangan di tata dengan sentuhan pop art. Sejumlah sudut sengaja didisain untuk memberi banyak ruang bagi pengunjung yang suka berselfi ria.

Kimono-Kamuflase

Masuk pintu museum, pengunjung disambut patung canting  batik setinggi sekitar satu setengah meter. Setelah itu, pengunjung disuguhi masa lalu dan kekayaan Kota Cirebon, sebelum masuk dunia batik Cirebon.

Pengenalan kekayaan budaya Cirebon diawali di lapak pertama yang memajang 500 topeng klasik Cirebon dipamerkan. Topeng topeng ini terdiri dari lima wajah sosok rekaan berdasarkan fase perkembangan diri. Topeng Panji menggambarkan wajah sosok anak. Topeng berwarna putih. 

Topeng Samba menggambarkan wajah sosok menginjak remaja. Topeng berwarna putih dengan bagian kepala berambut hitam. Topeng Rumyang menggambarkan wajah sosok pemuda. Topeng berwarna merah jambu. 

Topeng Tumenggung menggambarkan wajah sosok dewasa. Topeng berwarna merah jambu lebih gelap, dengan kumis hitam. Topeng Kelana menggambarkan wajak sosok berusia lanjut. Topeng berwarna merah tua dengan kumis hitam lebih panjang dan tebal. 

Lapak kedua disediakan untuk berfoto bagi pengunjung, dengan latar belakang batik bermotif mega mendung, tiga warna.

“Kami menyediakan pakaian kimono bagi pengunjung pria dan perempuan sebagai pelengkap  mereka berfoto. Buat pengunjung perempuan, kami juga menyediakan payung payung fantasi sebagai properti mereka,” jelas Yossi Risdianto (35), tenaga kreatif dan pemandu Museum Trupark, Jumat (4/1/2018).

Dari sana, kami menuju lapak masa lalu Kota Cirebon. Di dua dinding, bergantungan puluhan foto tentang Cirebon di tahun 1920-1924, termasuk foto foto Keraton Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan. 

Tak mudah mengumpulkan foto-foto jadul tersebut. “Kami harus menempuh birokrasi panjang yang lumayan sulit untuk mendapat foto yang kami inginkan, yang kami anggap mewakili masa lalu Cirebon,” kata Yossi. 

Di lapak berikutnya, sampailah kami pada dunia batik. Lapak kamuflase; koleksi alat batik cap dari bahan tembaga; diorama kegiatan membatik; dan lapak pop art manequen. Di ujung lantai satu ini, dipajang alat tenun bukan mesin, dan beberapa kain tenun dari beberapa daerah.

Mengapa ada tenun? Apa hubungannya dengan batik?

“Kami ingin menunjukkan, Indonesia bukan hanya punya batik, tetapi juga kain tenun,” ujar Yossi.

Lapak-lapak di lantai satu lebih banyak memberi kesempatan para pengunjung berfoto dengan tawaran bermacam suasana. Pengunjung tak dijejali pengetahuan tentang masa lalu dan budaya Cirebon, dan batiknya. Semuanya sekelebat, sekadar memanjakan mata dan suasana hati. Ringan, menghibur, sekelebat.

Saat kami menuju lantai dua, tampak sisi kanan lorong anak anak tangga dihiasi umbul umbul bermotif batik.

“Memotretnya dari atas. Target yang dipotret, di bawah,” kata Yossi. Ah, lagi lagi untuk selfi.

Ketika alat tersebut diaktifkan, di depan muncul gambar-gambar bergerak dan berpendar, bermotif batik. Tampilan ini diperkaya efek perspektif rupa dari kaca kaca cermin. Tontonan hanya berlangsung beberapa menit saja. Sekelebat batik.

Kunjungan ke museum diakhiri dengan nonton film pendek tentang batik, di auditorium yang berkapasitas sekitar 200 orang. Film pendek inipun tidak menjejali penonton dengan paparan teknis, sejarah, dan nilai nilai di balik batik. Si tokoh “aku” yang tak lain adalah batik, bercerita tentang dirinya.

Trupark bukan Tropen

Sebagian sajian di museum ini, mengingatkan kita tentang cara dan apa yang disajikan Galeri Indonesia Kaya, di Grand Indonesia di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat. Terkesan modern, milenial, minimalis, sekelebat.

Kunjungan berakhir di ruang pendopo. Di ruang yang berkapasitas 600 orang ini, pengunjung, terutama anak-anak dan remaja, bisa memilih berlatih membatik dari proses awal hingga akhir, atau melukis topeng Cirebon, atau melukis celengan gerabah, atau melukis kaca.

“Biaya masuk museum pada hari biasa, Rp 50.000 untuk pengunjung dewasa, dan Rp 35.000 untuk pengunjung anak. Tiket masuk akhir pekan, Rp 60.000 untuk dewasa, dan Rp 45.000 untuk anak-anak,” ucap Yossi. 

Mungkin bagi kalangan penikmat seni yang tidak asing lagi pada sejumlah warisan budaya Nusantara termasuk batik, apa yang disajikan Trupark Museum terkesan terlalu “cair” dan hanya sekelebat. Tak ada hal baru tentang batik jika mereka sebelumnya telah mengunjungi museum  batik di tempat lain. 

Tetapi bagi kaum muda milenial dan kalangan pelajar, apa yang disajikan Trupark Museum, bisa jadi sangat menarik, dan menuntun mereka mengenal, lalu mencintai batik. Mereka lebih butuh ruang rekreasi yang menghibur di sela tren hobi mereka berselfi ria. Museum Trupark, memang bukan Museum Tropen di Amsterdam, Belanda.

Bagi kalangan awam, sekelebat mungkin lebih memikat. Sebagian waktu lain bisa mereka manfaatkan untuk berbelanja atau sekadar window shopping di sentra batik Trusmi. 

Kehadiran Museum Trupark memang tak bisa dilepaskan dari bisnis batik. Museum ini seperti bonus hiburan dan edukasi bagi para pembelanja batik yang sebagian besar adalah wisatawan. 

https://travel.kompas.com/read/2019/01/06/174219527/trupark-museum-baru-di-cirebon-layak-dikunjungi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke