Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Sate Gebug di Kota Malang, Kuliner Legendaris Sejak Tahun 1920

Dilihat dari luar, warung berukuran 7x8 meter itu tidak jauh beda dari warung pada umumnya. Pengunjung akan melihat adanya perbedaan jika sudah masuk ke dalamnya.

Bangunan bekas peninggalan Belanda di dalam warung itu masih berdiri kokoh. Bangunan di dalam warung itu yang dijadikan tempat untuk meracik masakan yang disajikan kepada pengunjung.

Mulanya, bangunan persegi empat seluas 3x3 meter itu yang dijadikan tempat berjualan. Seiring berjalannya waktu, warung itu dilengkapi dengan serambi untuk kenyamanan pengunjung saat menikmati makanan.

Hal itu membuat bangunan awal warung itu tidak tampak dari luar. Bangunan awal pada warung itu sudah ditetapkan menjadi cagar budaya.

Cita rasa yang khas dan berkualitas membuat warung itu tetap diminati banyak orang. Saat ini, warung itu dikelola oleh generasi ke-3.

Achmad Kabir (24), pengelola warung tersebut menyampaikan, warung itu didirikan pada tahun 1920. Saat itu, Yahmon bersama istrinya Karbuwati membeli bangunan itu kepada pemiliknya yang merupakan orang Belanda.

Bangunan itu awalnya berfungsi sebagai tempat penjualan es. Setelah dibeli, Yahmon sekeluarga lantas menjadikan bangunan itu sebagai tempat untuk berjualan sate.

"Akte bangunannya tahun 1910, toko es batu zaman Belanda. Pemiliknya masih Belanda. Dibeli tahun 1920 dan dipakai untuk warung sate," katanya, Minggu (20/1/2019).

Pada tahun 2017, Tjipto meninggal dunia sehingga warung itu dikelola oleh istrinya serta anaknya, Achmad Kabir yang akan menjadi generasi berikutnya atau generasi ke-3.

"Orang tua saya tidak ngasih resep. Saya dididik untuk mengetahui bahan-bahan yang berkualitas. Saya diajak ke pasar, cara belanja dan disuruh menilai bahan-bahan masakan yang bagus. Setelah itu saya disuruh masak," katanya.

Kabir mulai diajak berbelanja oleh orang tuanya ke pasar sejak kelas 2 Sekolah Dasar (SD) dan mulai bisa memasak sesuai dengan standar yang ada di warung tersebut pada kelas 1 SMA.

Ada satu hal yang selalu Kabir ingat dari ayahnya. Yakni nasihat untuk selalu menggunakan bahan-bahan masakan yang berkualitas supaya cita rasanya tetap khas dan tidak mengecewakan pengunjung.

Hal itu yang membuatnya harus mengurangi menu makanan. Menu lodeh yang menggunakan lodeh tewel merah harus dihapus karena bahannya tidak ada.

Sementara daging yang menjadi bahan utama dari semua menu yang ada diambil dari empat penyalur yang dinilai menyediakan daging yang berkualitas.

"Kami menggunakan daging lulur dalam. Diambil dari empat supplier. Kalau nggak ada ya kita tutup. Tidak mungkin saya ambil daging dari yang lain," ungkapnya.

Dalam sehari, pihaknya bisa menghabiskan 20 hingga 40 kilogram daging. Biasanya, warung itu buka sejak pukul 08.00 WIB hingga pukul 16.00 WIB. Sedangkan untuk hari Jumat dan hari besar Islam warung itu tutup.

Sofyan Arif Candra (25), pengunjung asal Surabaya mengaku sangat menikmati menu masakan di warung tersebut. Baginya, ke Malang tidak lengkap jika tidak ke Warung Sate Gebug.

"Wajib untuk dicoba kalau ke Malang. Ini kan legendaris jadi rugi kalau ke Malang tidak ke sate gebug. Rasanya enak murah juga. Suasananya tempo dulu. Soalnya ornamennya kayak di zaman Belanda," ungkapnya.

https://travel.kompas.com/read/2019/01/21/163100827/sate-gebug-di-kota-malang-kuliner-legendaris-sejak-tahun-1920

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke