Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Jalan Panjang Ramen, Dari Lambang Penjajahan hingga Makanan Nasional Jepang

Ramen merupakan jenis mi yang diadaptasi dari salah satu ragam mi China, yakni lamian (baca: lamyen). Dalam dialek Hokkian, lamian merupakan mi yang diregangkan, merujuk pada proses pembuatannya.

Dikutip dari buku The Untold History of Ramen (2014) karangan George Solt, kemungkinan besar ramen dikenalkan oleh seorang koki Tionghoa di salah satu restoran Tokyo pada tahun 1910.

Perbedaannya yang mencolok dengan udon dan soba mencakup teksturnya yang lebih tebal dan kenyal, warnanya yang kekuningan, serta bumbu yang lebih pekat dan berkaldu.

Lambang penjajahan

Sebelum disebut “ramen”, ramen lebih dulu dijuluki “shina soba” (mi china). Julukan ini, kendati terkesan biasa saja, rupanya punya muatan politis seiring konteks penyebutannya di masa itu.

Penyebutan “China” dalam “shina soba” terselip cercaan implisit pada etnis Tionghoa yang saat itu kedudukannya inferior. Fenomena ketika penyebutan “China” mengandung olok-olok tersebut mungkin serupa dengan diskriminasi rasial terhadap etnis Tionghoa di Indonesia pada era Orde Baru.

Pendudukan Jepang atas China kemudian melahirkan pula fenomena “ledakan China”. Segala produk budaya Tionghoa mulai dari dekorasi, pakaian, hingga makanan dikonsumsi besar-besaran oleh warga Jepang sebagai simbol penjajahan secara konkret.

Shina soba yang tengah menjadi makanan favorit orang Jepang pun tak terhindarkan dari lambang itu. Dengan kata lain, melahap semangkuk shina soba disamaartikan oleh warga Jepang sebagai upaya mencaplok China itu sendiri, secara konotatif.

Penggunaan istilah “shina soba” baru redup usai Jepang kalah dalam Perang Dunia II dan kehilangan otoritasnya atas Negeri Tirai Bambu.

Perang Dunia II (1939-1945) pun berkontribusi terhadap redupnya popularitas ramen. Masa-masa sulit itu memaksa penduduk Jepang menghindari aktivitas “bermewah-mewah” seperti makan besar, di samping suplai pangan yang juga mampet.

George Solt mengutip catatan seorang pakar boga Jepang yang lahir pada 1937:

“Sejak 1944, bahkan di pedesaan, lapangan sekolah dijadikan ladang ubi. Kami memakan semua bagian ubi, dari daun sampai ujung akar. Untuk protein, kami memakan kepik, larva, dan segala serangga yang kami temukan di akar-akar tanaman. Bahkan di desa, makanan begitu langka.”

Usai perang dunia, Amerika Serikat (AS) memonopoli impor pangan Jepang. Praktik jual beli bahan pangan selain oleh tangan AS dianggap subversif. Nasi semakin sulit didapatkan, sedangkan AS hanya menyuplai tepung terigu bermutu rendah untuk membuat roti.

Imbasnya, tepung terigu pun disuplai oleh para pemain pasar gelap. Penjaja-penjaja ramen yang beraktivitas secara sembunyi-sembunyi pun satu per satu dicokok dan dipenjara.

Masuk ke tahun 1950, kontrol ketat atas suplai pangan dihentikan. Di saat yang sama, prajurit-prajurit Jepang mulai kembali ke kampung halaman usai bertugas di China. Kebanyakan dari mereka tentu telah terbiasa mengonsumsi jenis mi china, khususnya lamian.

Ramen kembali menguasai lidah orang-orang Jepang seiring laju ekonomi yang mendadak pesat dalam rentang 1955-1973. Dihelatnya Olimpiade 1964 Tokyo membuat kota ini dibangun sedemikian rupa guna menyukseskan ajang olahraga dunia empat tahunan itu.

Industrialisasi kembali merebak, menuntut pergerakan ekstra cepat dari para pegawainya. Ramen, untuk kedua kalinya, menjadi santapan primadona kalangan pekerja.

Fenomena ini disokong oleh Nissin yang menoreh sejarah dengan peluncuran ramen instan pada 1958, disusun ramen instan kemasan gelas pada 1971.

https://travel.kompas.com/read/2019/01/22/110300927/jalan-panjang-ramen-dari-lambang-penjajahan-hingga-makanan-nasional-jepang

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke