Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Dark Tourism, Saat Tempat Bencana Jadi Tren Wisata

JAKARTA, KOMPAS.com - Kamu tentu tak asing dengan berita wisatawan selfie di tempat bekas bencana seperti Banten yang dihempas tsunami pada 2018. Tindakan wisatawan tersebut menjadi sorotan, lantaran dianggap tidak pantas untuk selfie di tempat bekas bencana.

Nyatanya bukan cuma di Indonesia, berwisata ke tempat bekas bencana kini semakin marak di dunia. Salah satu tren wisata terkini adalah berkunjung ke Chernobyl dan Kota Pripyat, lokasi kebocoran reaktor nuklir pada 1986 di Ukraina. Tren ini muncul karena serial film yang mengangkat kisah nyata Chernobyl di saluran TV berbayar, HBO. Konsep wisata ini kerap disebut sebagai dark tourism.

Sampai sekarang dark tourism sebenarnya mengalami pro dan kontra. Terlebih di zaman media sosial, banyak wisatawan yang tampak bangga berfoto dengan latar lokasi bekas bencana.

Sejarah dan istilah 'dark tourism'

Untuk lebih jelas istilah dark tourism atau wisata di lokasi bekas bencana sebenarnya muncul pada 1990-an. Istilah ini muncul dari para pelajar yang meneliti kaitan wisatawan yang berkunjung ke bekas tempat kejadian pembunuhan Presiden John F. Kennedy.

Istilah dark tourism juga punya nama lain yakni thanatourism yang diserap dari kata Yunani, thanatos berarti kematian atau pariwisata berkabung.

Jauh sebelum Chernobyl, lokasi bekas tsunami Banten, lokasi bekas pembunuhan John F. Kennedy, atau kamp konsentrasi Auschwitz, dark tourism ini ternyata sudah dilakukan wisatawan sejak tahun 1700-an.

Kala itu Kota Pompeii dari Romawi yang terkubur abu karena letusan gunung api pada 79 menjadi destinasi favorit wisatawan. Bahkan tiga abad setelahnya, Pompeii masih menjadi destinasi terkenal dari Italia.

Head of Torusim di Althone Institute of Technology, Tony Johnston menjelaskan
beberapa wisatawan berkunjung ke lokasi bekas bencana karena sedang berlibur di kawasan tersebut. Beberapa memiliki hasrat di bidang sejarah, ada juga yang mencari rasa ngeri hanya untuk kesenangan.

"Seringkali intensi para pengunjung untuk belajar mengenai kekejaman atau masa yang gelap memiliki manfaat. Itu dapat menjadi refleksi apa yang salah di masa lalu dan pelajaran untuk di masa mendatang, agar kesalahan tersebut tidak terjadi lagi," jelas Johnston.

Namun ada berbagai catatan jika kamu memang termasuk orang yang tertarik berkunjung ke lokasi bekas bencana.

"Sebelum mengunjungi tempat-tempat yang berhubungan dengan kematian dan tragedi, penting untuk merenungkan niat Anda. Apakah Anda mengunjungi untuk memperdalam pemahaman Anda dan memberi penghormatan, atau apakah Anda hanya ingin berkunjung dan mengambil selfie?" Communications and Outreach Manager at the Center for Responsible Travel, Rebekah Stewart.

Para ahli mengatakan selfie sangat tidak disarankan saat berkunjung ke lokasi bekas bencana karena itu hanya mencerminkan wisatawan yang narsis dan mempedulikan diri sendiri.

Kepekaan juga dibutuhkan, untuk tidak berkata atau melakukan aktivitas yang mengurangi empati kepada para korban dan keluarga korban di lokasi bekas bencana. Jangan lupa untuk bekali ilmu mengenai lokasi bekas bencana baik sebelum dan saat berada di lokasi bencana.

Caranya bisa mencari tahu terlebih dahulu tempat yang akan dikunjungi, dengarkan penjelasan pemandu wisata, dan membaca petunjuk dengan jelas. Intinya saat berwisata termasuk ke lokasi bekas bencana, selalu menjadi wisatawan yang bertanggung jawab dan penuh hormat.

https://travel.kompas.com/read/2019/06/28/150900727/dark-tourism-saat-tempat-bencana-jadi-tren-wisata

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke