Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Dari Jauh Kelihatan Manado Tua dan Ribuan Turis

Kampung kelahiranya adalah Warembungan yang ada di atas sebuah bukit, 10 kilometer utara Manado, Sulawesi Utara (Sulut).

Nenek selalu mengatakan, dari kampungnya, ia bisa memandang kapal-kapal yang masuk keluar di Pelabuhan Manado, ibukota Provinsi Sulut.

Nenek yang sering dipanggil orang dengan sebutan “Oma Nona” oleh orang-orang di Kampung Kwayuhan, Magelang, selalu menutup ceritanya dengan melantunkan lagu dari tanah asalnya di Minahasa yang berjudul, “Dari jauh kelihatan Manado Tua”.

Manado Tua, bagian dari Kecamatan Bunaken, adalah sebuah pulau yang ada di seberang laut kota Manado.

Di pulau itu ada sebuah gunung api. Kalau kita memandang dari kota Manado, pulau itu akan nampak seperti gunung yang ada di lautan.

Dahulu cerita nenek, saya ragukan. Sebelum saya keluar dari Magelang, saya berpendapat pantai atau lautan tidak bisa dilihat dari gunung. Antara gunung dan laut sangat terisah. Tidak ada gunung di tepi pantai.

Ketika saya belajar di sebuah perguruan tinggi di Pineleng, persis di awa bukit Warembungan, betapa menyesalnya saya membantah cerita nenek.

Bila saya duduk di tepi kampung Warembungan atau dari kampus Pineleng yang letaknya di atas gunung, pemandangan laut bukan suatu yang aneh. Kebenaran ucapan nenek baru saya sadari bertahun-tahun kemudian.

Pada Jumat 16 September 2016, setelah sidang kabinet di Istana Kepresidenan, Jakarta, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya, terbang ke Manado untuk menjalankan tugas dari Presiden Joko Widodo melihat perkembangan turisme di Sulawesi Utara yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Saya ikut dalam perjalanan ini.

Sesampainya di Manado, Siti Nurbaya, langsung naik kapal motor ke perairan laut sekitar Bunaken yang saat itu sedang kotor karena sampah plastik dari sebuah sungai di Manado yang di lintasi Jembatan Sukarno dan Jembatan Megawati.

Siti Nurbaya semat minta juru kamera mengabadikan sampah plastik yang terapung-apung di dekat Pulau Bunaken.

”Untung ketika Presiden Joko Widodo ke Bunaken akhir Mei 2019 ini, laut di Taman Laut Bunaken bersih,” kata Gubernur Sulut Olly Dondokambey kepada saya setelah kunjungan kerja Presiden itu.

“Obyek wisata di sini mencapai standar ideal sekali, karena gunung dan pantai laut menyatu,” ujar Siti Nurbaya memandang mata saya yang basah oleh linangan air mata.

Saya ingat nenek, Oma Nona Berkebaya Putih.

Ketika menyaksikan taman laut Bunaken dengan kapal khusus bersama Menteri LHK, Siti Nurbaya, seorang perempuan yang bekerja untuk salah seorang anggota Tim Komunikasi Presiden Jokowi, Mariza Hamid yang ikut dalam rombongan dengan spontan mengatakan, “Wah kalu sudah seperti ini, keindahan taman laut Bunaken suudah kalah dibandingkan taman laut Kepulauan Seribu, Jakarta”.

Tanggal 11 September 1991, saya ikut Presiden (waktu itu), Soeharto membuka hotel berbintang empat pertama di Sulawesi Utara.

Hotel bernama Manado Bech Hotel yang ada di Kampung Mokupa, Kecamatan Tombariri, Kabupaten Minahasa itu sebenarnya tidak jauh dari Warembungan.

Hotel yang terkenal dengan sebutan MBH ini memberi kesempatan arus turis asing mulai masuk ke Sulawesi Utara pada awal 1990-an.

Dari hotel ini kita bisa memandang Manado Tua sepuas hati. Namun sekarang hotel itu sudah “seperti sarang hantu” tak terpelihara, sudah tutup, sudah “mangkrak” .

Seorang temen lulusan Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada Yogyakarta (UGM), Fendri Ponompan, asal Kuwil, sebuah kampung 15 kilometer barat Manado, berkomentar tajam tentang bangunan-bangunan mercusuar yang mangkrak di Manado.

Ketika berjalan kaki berkeliing Manado bulan Januari 2019 lalu, Fendri, pengamat pembangunan di Sulawesi Utara, mengatakan, Manado Beach Hotel (MBH), adalah salah satu dari sekian banyak dari “monumen kegagalan” pembangunan di Manado.

“Selain MBH bangunan-bangunan mangkrang seperti sebuah bangunan bertingkat di dekat Stadion Kalabat, gedung bertingkat di Kampus Universitas Sam Ratu Langi di Kleak dan lain-lainnya mungkin bisa menjadi obyek wisata menarik di Manado,” ujar Fendri sinis.

Ketika meresmikan Manado Beach Hotel, Soehato antara lain mengatakan, Sulawesi Utara ini adalah tanah yang di berkati Tuhan karena alamnya indah dan penduduknya sangat terbuka dan ramah teradap pendatang.

Saat itu Soeharto juga mungkin berkata dalam hati di Di Minahasa (Sulawesi Utara) orang bisa makan apa saja. Ia mengatakan dunia wisata di Sulawesi Utara sangat menjanjikan untuk pengembangan wisata di Indonesia.

Benar apa yang dikatakan Soeharto. Lima bulan setelah pelantikan pria dari Kampung Kolongan, Olly Dondokambey jadi Gubernur Sulut, di Istana Negara, Jakarta, 12 Frebuari 2016, turis asal Tiongkok menyerbu Sulawesi Utara, walaupun laut di Bunaken semakin kotor karena sampah plastik dari kota Manado.

Pada Juli 2016, jumlah turis dari luar negeri yang masuk ke Sulut, mencapai 48 ribu orang, padahal tahun 2015 masih mencapai angka 15 ribu orang. Sementara selama tahun 2016, turis domestik (datang dari seluruh Indonesia) sekitar 1,4 juta orang.

Tahun 2017, menurut Dinas Pariwisata Provinsi Sulut, tercatat jumlah wisata asing 85 ribu orang dan wisata domestik 1,4 orang. Para pengamat turis amatiran di Sulut menyebutkan laju kenaikan ini sekitar 200 persen dari tahun 2016.

Soal toilet 

Hari Selasa, 31 Mei 2017, Gubernur Sulut Olly Dondokambey dan seluruh aparat/pejabat pemerintahan sipil dan militer/polisi, mengadakan kunjungan di pulau terluar provinsi itu, Miangas yang berbatasan dengan perairan Filipina selatan.

Puluhan wartawan dari Jakarta dan Manado ikut dalam rombongan.

Ketika melintasi pantai pulau kecil itu seorang wartawati televisi dari Jakarta berteriak, “Aduuuh indah sekali pantai ini.”

Seorang wartawan koran di Manado tidak kalah ikut berteriak,”Makanya jangan hanya ke Bali, di sini pantainya lebih indah.”

Wartawan lainnya, juga dari, Jakarta lebih keras berteriak dan bertanya, “Lalu kenapa turisme di sini jauh tertinggal dari Bali, Wakatobi, Yogyakarta, Bandung dan bahkan Kepulauan Seribu di Jakarta .“

Saat itu jawabannya sulit diberikan karena angin di pantai sangat kencang.

Salah satu jawabannya mungkin bisa kita ketemukan dalam acara kunjungan kerja Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani dalam acara pemberian kepada beberapa orang sebagai warga kehormatan Sulut di Manado, pada Jumat 23 September 2016.

Dalam sambutannya, Puan Maharani secara spontan mengatakan, dalam kunungannya ke Tiongkok beberapa bulan sebelumnya ia juga ikut mengimbau Pemerintah Tiongkok mendorong masyarakatnya datang ke Manado sebagai wisatawan.

“Kini banyak turis yang datang ke Sulut, tapi untuk mengukur kemajuan bidang wisata perlu dilihat berapa lama para turis itu tinggal di sini dan berapa uang yang dibelanjakan. Jangan hanya sebentar lalu pulang atau pergi ke tempat lain. Juga harus dilihat bagaimana keadaan penyediaan fasilitas jamban atau WC di sini,” ujar Puan saat itu.

Setelah acara itu Puan dan rombongan, diantaranya Ny Isma Yatun (waktu itu anggota DPR dan sekarang adalah salah satu pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan), mendatangi Pulau Bunaken, setelah gagal berlabuh di Pulau Gunung Manado Tua.

Gagal berlabuh di dermaga Manado Tua, karena air laut di pantai itu sedang surut. Ketika itu saya tunjukan bunga yang berwarna warni di atas sebuah bukit di Bunaken.

“Yuuk kita ke sana,”kata saya. Puan dan Isma Yatun secara serempak seperti koor menjawab, “Ada nggak WC di sana,”.

Dalam kata-kata pengantar pada rapat terbatas mengenai destinasi destinasi pariwisata prioritas di Kantor Kekresidenan di Komplkes Istana Jakarta, Senin, 15 Juli 2019 lalu, Presiden Joko Widodo mengingatkan soal masalah toilet atau WC ini.

Hadir dalam rapat ini, antara lain Gubernur Sulut Olly Dondokambey yang beberapa hari sebelumnya menjadi tuan rumah kunjungan Presiden ke Sulut.

“Fasilitas yang tersedia di lokasi wisata, tolong dicek betul. Ini saya minta pemerintah provinsi turun ke bawah. Kabupaten dan kota juga diajak bersama-sama untuk membenahi. Urusan kecil-kecil saya kira bukan pemerintah pusat. Pemerintah provinsi, kabupaten dan kota bisa melakukan ini. Yang berkaitan dengan ini, misalnya penataan pedagang kaki lima, penataan resto-resto kecil, kemudian toilet (WC)”, kata Presiden.

“Saya harapkan, standar untuk toilet ini minimal bintang empat sehingga betul-betul orang masuk wilayah wisata kita, ke destinasi wisata kita betul-betul diberikan sebuah pelayanan yanng baik,” lanjut Presiden.

Di awal sambutan pengantarnya, Presiden juga mengingatkan tentang gagasannya untuk membangun sepuluh Bali baru yang dikumandangkan tahun 2016, tiga tahun lalu.

“Dan beberapa bulan ini saya melakukan kunjungan kerja ke beberapa daerah dan melihat secara langsung pengembangan destinasi pariwisata. Saya ke Mandalika, Toba, kemudian ke Manado dan terakhir di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, “ kata Presiden.

Presiden melihat berbagai masalah yang perlu diselesaikan demi terciptanya 10 Bali baru untuk dunia wisata di Indonesia. “Terakhir kemarin masih ada masalah, misalnya di Sulawesi Utara, masih ada itu. Dan juga soal dermaga pelabuhan, saya melihat misalnya di Labuhan Bajo dan di Manado. Ini perlu dibenai cepat-cepat,” kata Presiden.

Gereja punya peran

Soal toilet atau WC ini saya rasa masih perlu diperhatikan. Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM), organisasi keagamaan terbesar di Sulut ini punya peran penting dalam soal penyediaan WC bersih dan memadai.

GMIM punya banyak gereja-gereja sebagai warisan budaya masa lalu dalam sejarah. Gereja-gereja GMIM yang tersebar di kampung-kampung di Sulawesi Utara adalah pusat dari acara “pesta syukur” di kampung-kampung .

Pesta pengucapan syukur yang sering diadakan di kampung-kampung di Sulut ini menarik seka li dijadikan obyek turis. Pusat kegiatan pengucapan syukur sebagai rasa terimakasih pada Tuhan atas hasil panen itu adalah kebaktian di gereja.

Setelah kebaktian kita bisa masuk ke rumah-rumah menikmati makan sambil menyaksikan segala macam pertunjukan seni spontan rakyat, tari kabasaran, tarian katrili, makengket dan tentu nona-nona manis. Pesta pengucapan syukur ini adalah tradisi atau warisan budaya dari masa lalu di Sulut.

Oleh karena itu, kata Pendeta GMIM Feybe Lumanau (wartawan dan pengurus Persatuan Wartawan Indonesia di Sulut), pesta pesta di kampung perlu mendapat perhatian dari para pemandu wisata.

Saya sering mengatakan kepada teman-teman di Jakarta, kalu ingin menyaksikan kehidupan orang Minahasa, jangan hanya menyaksikan di kota Manado “Masuk dan lihat kampung-kampung di luar Manado,” ujar saya.

Tapi ingat acara pesta pengucapan syukur ini membuat kampung-kampung didatangi banyak orang. Mereka banyak makan dan minum. Pesta bisa berlangsung 24 jam. Maka penyediaan WC umum yang memadai di kampung-kampung adalah hal sangat perlu mendapat perhatian dari gereja-gereja GMIM dan pemerintah setempat. Sejak tahun 2015 sampai sekarang saya sering ikut kunjungan kerja Gubernur

Masalah toilet memang salah satu kelemahan dunia pariwisata di Sulut. Gereja Centrum Manado misalnya, sebagai salah satu obyek wisata, punya toilet tapi parah aromanya. Menurut Pendeta GMIM Iwan Runtunuwu, yang pernah bertugas di Gereja Centrum Manado, hampir tiap hari ada empat bus turis berkunjung untuk melihat gereja bersejarah ini.

Jangan sampai orang bukan asal Minahasa mengucapkan lagi kosa kata Manado dengan ejaan yang salah, yakni “Menado”. Orang Indonesia non Minahasa, dulu sering mengatakan Menado sebagai singkatan dari “menang diomong doang” atau “omdok” (omong doang atau hanya pandai bicara tapi kosong).

Beberapa waktu lalu para pejabat pemerintah di provinsi ini menyerukan adanya revolusi toilet atau WC. Tapi sampai sekarang masih yang terjadi bukan revolusi “evolusi”. Kantor gubernuran dan pemerintah lainnya di Manado perlu mempelopori.

Jokowi dalam kata pengantarnya pada rapat terbatas tentang destinasi wisata prioritas juga menyebutkan pentingnya promosi. Sebagai catatan, Acara kesenian di Sulut, jangan terlalu mencontoh di Amerika atau Eropa soal pawai atau karnaval. Pawai bunga sudah ada Floriade di Belanda atau Tournamen of Roses di Pasadena, Amerika Serikat, tiap tahun sejak puluhan tahun silam.

“Parade paduan suara, kita akan kalah jauh dari Italia, Belanda, Amerika dan seterusnya,” kata Yulisa Baramuli, mantan wakil Bupati Minahasa Utara, beberapa waktu kepada saya..

Untuk promosi pariwisata sampai sekarang belum juga dimunculkan buku yang menari dan enak dibaca tentang pariwisata Sulut. Kalau ada masih terlalu bombastis narsis. Juga film tentang Sulut, masih “ecek-ecek”, belum menyamai “The Mirror Never Lies” (juga terkenal dengan judul Bercermin pada airlaut) .

Film yang diluncurkan oleh sutradara muda belia, Kamila Andini tahun 2011 ini untuk mempromosikan Kepulauan Wakatobi (Sulawesi Selatan). Ada juga judul film yang cukup sukses mengangkat dunia wisata Pulau Belitung di sebelah timur Sumatera, yakni “Laskar Pelangi” yang diluncurkan tahun 2008.

Drama Natal yang sering dipentas pada acara pesta Natal, sebagai pesta paling besar di Sulut tiap akhir tahun juga jauh dari menarik untuk ditonton turis domestik maupun luar negeri. Walau pun jumlah turis terus banjir, tapi nampaknya Sulut masih harus lari cepat untuk jadi Bali baru.

Tapi bagaimana pun yang dicapai Sulut saat ini sudah mencapai “bintang yang gemerlap” dibandingkan Sulut beberapa tahun lalu. Stabilitas sosial politik dan kepemimpinan Gubernur Olly Dondokambey dan Wakil Gubernur Steven Kandou terlihat akan membawa Sulut menjadi bulan terang di bidang pariwisata Indonesia seperti ramalan Soeharto.

Malimbukan dan Megawati

Untuk catatan kecil dari Sulut, yakni ada obyek wisata mata air atau sumber air di Desa Kolongan, Kecamatan Kalawat, Minahasa Utara.

Di tengah kebun penduduk, ada mata air besar bernama, Malimbukan. Bila malam air dari mata air ini, terasa hangat sekali, pada siang sekali sangat dingin.

Konon kabarnya, siapa yang sering cuci muka dari air Malimbukan, akan awet muda.

Saya beri tahu tentang hal ini kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani ketika datang ke Desa Kolongan, 18 Januari 2019.

“Pantesan Ibu Megawati Soekarnoputri sering datang ke sini, dan nampak awet muda,” kata Sri Mulyani menunjuk pada Presiden RI ke-5 dan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. 

https://travel.kompas.com/read/2019/07/30/152916627/dari-jauh-kelihatan-manado-tua-dan-ribuan-turis

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke