Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Rambut Gimbal, Nyai Roro Kidul, dan Permintaan Tak Biasa Para Bocah Dieng

BANJARNEGARA, KOMPAS.com – Ada yang berbeda dari Kayang. Dari segi penampilan, ia tak seperti anak lainnya yang berambut gimbal. Meski usianya baru menginjak lima tahun, Kayang adalah seorang fashionista: rambut gimbalnya dikuncir rapi ke atas dan bajunya berwarna pink muda, senada dengan kalung dan gelang bergambar Hello Kitty yang dikenakannya.

Kayang Ayuningtiyas Nugroho (5) adalah salah satu dari 11 anak gimbal yang akan melakukan ritual pemotongan rambut di Dieng Culture Festival 2019. Pagi itu, Sabtu (3/8/2019), Kayang bersama ibunya Sugiarsih (38) dan ayahnya Kuat Adi Nugroho (38) tiba di rumah pemangku adat Dieng. Mereka berangkat dini hari dari Wonosobo.

Mbah Sumanto (73), begitu nama pemangku adat tersebut, menyambut keluarga Kayang dengan ramah. Mengenakan lurik tangan panjang dan blangkon berwarna hitam, Mbah Sumanto menyapa dengan ramah. Secangkir teh hangat meluncur ke depan saya. Mbah Sumanto mempersilahkan saya minum, membuka toples-toples camilan, kemudian bercerita.

“Biasanya anak gimbal itu nakal. Lebih nakal dari anak biasanya,” terangnya.

Ucapannya berbuah senyuman di wajah Sugiarsih. Sambil membetulkan rambut anak sulungnya itu, ia bercerita tentang kenakalan Kayang terutama kepada adiknya yang berusia dua tahun.

“Kalau dia (Kayang) menendang, betul-betul menendang. Mainan adiknya hampir selalu direbut,” tutur Sugiarsih.

Meski begitu, Kayang adalah anak yang ramah dan enerjik. Ia kerap tertawa ketika kami mengobrol. Tentang kesukaannya terhadap warna pink, tentang hobinya menonton video tutorial make up di Youtube, tentang ketergantungannya terhadap es krim. Termasuk ketika ditanya, Kayang, permintaan apa yang kamu mau?

“Es krim cokelat,” begitu jawabnya berkali-kali, tanpa ragu.

Permintaan yang dilontarkan anak berambut gimbal bukanlah permintaan biasa. Warga Dieng percaya, anak perempuan berambut gimbal adalah titisan dari Nyai Dewi Roro Ronce yang merupakan abdi penguasa Laut Selatan, Nyai Roro Kidul.

Sementara itu, jika anak tersebut adalah laki-laki, warga Dieng percaya bahwa mereka merupakan keturunan dari Kyai Kaladete. Sang Kyai dipercaya sebagai penguasa Dataran Tinggi Dieng, yang kini bersemayam di Telaga Balekambang.

Sejak usia 1 tahun

Mbah Sumanto menjelaskan, rambut gimbal pada tiap anak bisa muncul dari usia satu tahun. Namun sebelum muncul, bocah tersebut biasanya sakit-sakitan.

“Biasanya sakit-sakitan dulu, kejang-kejang. Nanti begitu muncul gimbalnya, sudah tidak sakit lagi,” ungkapnya.

Hal tersebut diamini Sugiarsih. Ia bercerita, Kayang mengalami sakit-sakitan sedari bayi. Badannya selalu panas dan tidurnya selalu susah.

“Sudah ke dokter, pengobatan segala macam. Tapi tidak berhasil. Sampai akhirnya rambut gimbal keluar di usia 1 tahun, saya baru sadar,” kisah Sugiarsih.

“Saya juga waktu kecil rambut gimbal,” lanjutnya sambil tertawa.

Meski bisa muncul mulai usia satu tahun, tak menutup kemungkinan ritual ruwatan (pemotongan rambut) baru dilakukan bertahun-tahun setelahnya. Mbah Sumanto punya kriteria sendiri untuk hal ini.

Menurutnya, usia paling baik untuk melakukan ritual pemotongan rambut gimbal adalah sejak 3 tahun, di saat anak tersebut bisa mengkomunikasikan permintaannya.

“Tapi ada juga yang sampai tua dipelihara (gimbalnya). Ada yang sampai 45 tahun,” lanjutnya.

Sebenarnya apa pentingnya ritual ini? Mbah Sumanto menjawab, berdasarkan kepercayaan, rambut gimbal merupakan “titipan” dari para leluhur. Titipan itu harus dipotong, kemudian dilarung (dihanyutkan) di Telaga Balekambang sebagai tanda terima kasih.

Hal ini sudah dilakukan penduduk Dataran Tinggi Dieng selama berpuluh tahun. Uniknya, rambut gimbal masih “menghantui” keturunan warga Dieng bahkan saat orang tersebut sudah pindah ke kota lain. Tak heran banyak peserta yang berasal dari luar Dieng, termasuk Jakarta.

Ada warga yang melakukan ritual ruwatan di kediaman masing-masing, dengan mengadakan syukuran setelahnya. Ada pula warga yang melakukan pemotongan rambut massal karena merasa tak mampu untuk menggelar hajatan.

Dieng Culture Festival, yang kali ini memasuki tahun ke-10, digelar untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Sepersekian harga tiket yang dibeli wisatawan adalah untuk membeli permintaan-permintaan tak biasa para bocah Dieng. Sepersekiannya lagi, untuk sesaji dan syukuran massal pasca-ritual.

Permintaan 11 anak rambut gimbal

Ada 11 anak berambut gimbal yang akan melakukan ritual tahun ini, dan semuanya perempuan. Mbah Sumanto membenarkan bahwa anak gimbal memang didominasi perempuan. Tahun ini mereka datang dari Dieng, Wonosobo, Temanggung, Batang, sampai Tanjung Priok.

“Permintaan anak-anak (gimbal) tahun ini tidak sesusah tahun lalu. Tahun lalu ada yang minta sapi bule segala,” kisah Mbah Sumanto sambil tertawa.

Tahun ini, ada anak yang hanya minta uang sebesar Rp 4.000. Anak lainnya minta uang sebesar Rp 4 juta. Ada anak yang meminta sepeda warna pink. Ada yang minta liburan ke pantai. Seorang anak dari Banjarnegara meminta 10 buah durian. Salah satu anak dari Wonosobo meminta tiga hal tidak lumrah yaitu pecut/cambuk, klintingan, dan topeng.

Kayang sendiri meminta es krim cokelat, satu buah saja. Permintaan paling unik tahun ini jatuh pada Dinda Syifa Ramadhani (4). Bocah asal Wonosobo itu meminta dua hal.

“Kentut satu kantong plastik, dan telur puyuh satu butir,” ujar Mbah Sumanto, menirukan gaya bicara Dinda.

Saya refleks bertanya, kentut siapa Mbah?

Si Mbah hanya tertawa.

Ruwatan rambut gimbal

Minggu (4/8/2019). Waktu menunjukkan pukul 06.15 WIB. Ayahanda Kayang memanggil anak sulungnya itu untuk menyapa saya di pintu depan. Kayang, bersama beberapa peserta lainnya, menginap di rumah tak jauh dari kediaman Mbah Sumanto. Ia sendiri sudah bangun sejak pukul 05.30 WIB dan mandi air hangat. Suhu di Dieng memang tengah menusuk kulit.

Tak lama kemudian, Kayang keluar rumah. Ia mengenakan kebaya brokat warna putih dan bawahan rok berwarna biru laut. Kakinya ditutup selop hitam dengan aksen bordir emas.

Lagi-lagi, tak seperti anak lainnya, wajah Kayang telah dilukis make up sedemikian rupa. Matanya diberi aksen glitter dan pipinya merona merah. Bibirnya dipoles lipstik warna kesukaannya, pink muda. Tak lupa, kalung dan gelang Hello Kitty yang jadi favoritnya.

Digandeng pamannya, Kayang berjalan kaki menuju kediaman Mbah Sumanto. Satu waktu Kayang mengeluh capek, lalu digendonglah ia oleh pamannya. Seketika ia minta turun lagi, malu berhadapan dengan kamera kami.

Kayang bergabung dengan 10 anak gimbal lainnya di kediaman Mbah Sumanto. Pemangku adat tersebut kemudian membaca doa dan mantra sambil mengikat kepala tiap anak menggunakan kain putih.

Sekitar pukul 08.00 WIB, Kayang dan 10 anak lainnya sudah siap diarak menuju Plataran Dharmasala. Bersama ibunda, Kayang duduk di bagian depan kereta kencana.

Wakil Gubernur Jawa Tengah, Taj Yasin Maimoen, mengawal rombongan dengan menunggang kuda. Kuda selanjutnya ditunggangi oleh Ketua Panitia DCF 2019 Alif Fauzi. Empat buah kereta kencana berbaris rapi di belakangnya.

Kayang berada di kereta ketiga. Dengan sumringah ia menebar senyuman. Mereka melaju ke Plataran Dharmasala, tempat ritual Jamasan dilakukan.

Jamasan adalah proses penyucian diri. Para pemangku adat mencipratkan air suci yang diambil dari dua mata air sakral, Sendang Sedayu dan Sendang Maerokoco. Pemangku adat membuka kain penutup kepala Kayang dan teman-temannya. Air suci kemudian dicipratkan pada kepala masing-masing bocah.

Sekitar pukul 10.15 WIB, iring-iringan anak gimbal beranjak ke kawasan Candi Arjuna. Di sinilah prosesi puncak berlangsung. Ruwatan rambut gimbal dilakukan di panggung utama, yang kini berbalut kain hitam.

Di sisi kanan panggung terdapat aneka sesaji. Ada 9 nasi tumpeng dengan aneka warna, dari merah sampai hitam. Ada 18 jenis minuman khas lokal. Ada gunungan ketupat berjumlah 2019, menandakan tahun masehi prosesi ruwatan ini digelar.

Prosesi dimulai oleh Mbah Sumanto yang memanjatkan doa. Tiap tahun, sebelum ruwatan dimulai, Mbah Sumanto selalu melakukan pertapaan.

“Dari Rabu tidak tidur sampai Minggu. Kamis dan Jumat napak tilas ke 37 lokasi tabur bunga. Minta sama Allah biar sehat, biar selamat,” tuturnya kepada saya hari sebelumnya.

Mbah Sumanto kemudian memulai prosesi pencukuran untuk anak pertama, Sakura Al Zahwa Agustine (7).

Beberapa doa yang dipanjatkan. ‘Ya marani nira maya’, berarti dijauhkan siapapun yang akan berbuat jahat. ‘Ya silapa palasia’, dengan maksud maksud orang yang menyebabkan kelaparan justru memberikan makannya.

‘Jamiroda doramiya’, dengan arti mereka yang suka memaksa justru memberikan kebebasan.

Rambut gimbal Sakura kemudian disimpan di sebuah wadah tembikar. Rambut-rambut ini kemudian akan dilarung di Telaga Balaikambang, tempat bersemayamnya Kyai Kaladete, Sang Penguasa Dataran Tinggi Dieng.

Prosesi ruwatan rambut gimbal milik Kayang dilakukan oleh Bupati Banjarnegara, Budi Sarwono. Pak Bupati pula yang memberikan satu-satunya permintaan Kayang, yakni es krim rasa cokelat.

Kayang tampak sumringah menghabiskan camilan yang ditunggunya sejak pagi itu.

https://travel.kompas.com/read/2019/08/06/193057827/rambut-gimbal-nyai-roro-kidul-dan-permintaan-tak-biasa-para-bocah-dieng

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke