Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Perjalanan Menyusuri Kawah Gunung Slamet, Serasa Berada di Planet Mars

Dahi saya sedikit mengernyit mendengar ucapan Wawan. Saya tak membayangkan melintasi jalur di dekat kawah Gunung Slamet yang berstatus sebagai gunung api aktif.

Kami mendaki melewati Jalur Bambangan di Purbalingga. Perjalanan melewati jalur pendakian favorit ke Gunung Slamet ini memang terasa biasa. Incaran saya adalah pengalaman melewati pinggir kawah Gunung Slamet.

“Paling banyak pendaki Gunung Slamet ya lewat Bambangan dibandingkan jalur yang lain,” ujar Wawan yang juga berprofesi sebagai pemandu gunung bersertifikat resmi.

Jalur selanjutnya adalah medan menanjak yang konstan saat melewati Pos Gemirung, Walang, Cemara, dan Samarantu. Vegetasi yang kami lewati adalah hutan tropis dengan pepohonan yang menjulang tinggi.

Bagi saya, jalur seperti ini lazim ditemui di gunung-gunung lain di Pulau Jawa. Yang cukup unik di Gunung Slamet yaitu adanya gubuk-gubuk semi permanen yang kadang kala berfungsi sebagai warung dan tempat beristirahat para pendaki.

Ada dua pos pendakian yang biasanya dijadikan tempat berkemah para pendaki Gunung Slamet. Pendaki biasanya berkemah di Pos Samhyang Rangkah dan Samhyang Kendit bila terlalu gelap dan tak ingin melanjutkan pendakian.

Dalam perjalanan ini kami lebih dari satu malam di Gunung Slamet. Oh, nikmatnya berlama-lama di gunung.

Dari puncak turun ke bibir kawah Gunung Slamet

Udara di luar gubuk tempat peristirahatan kami terasa menusuk kulit. Waktu itu, kami mulai pendakian sekitar pukul 04.30 WIB.

“Ayo kita naik, gak sabar mau melintas kawah nih, Wan,” kata saya kepada Wawan mengawali perjalanan.

Hesti berjalan sebagai orang pertama. Saya mengikuti di belakangnya sambil menyiapkan kamera untuk mengabadikan momen matahari terbit.

Semburat matahari mulai muncul di belakang kami. Udara yang dingin bertiup berganti kehangatan dari matahari.

Butuh sekitar dua jam perjalanan dari Pos Plawangan menuju Puncak Gunung Slamet. Setelah memeras keringat dan berjalan terseok-seok di tengah suhu yang dingin, kami tiba di atap tertinggi di Jawa Tengah.

Panorama Gunung Sumbing, Gunung Sindoro, Gunung Prau, dan Gunung Ceremai bisa terlihat dari Puncak Ceremai. Lubang kawah yang mengepulkan asap juga terlihat dari area Puncak Gunung Slamet.

“Jalurnya turun, lalu nanti melipir di bibir kawah,” kata Wawan.

Saat mulai memasuki area sekitar kawah, kabut benar-benar pekat. Berbeda 180 derajat dengan kondisi di puncak gunung yang benar-benar cerah tanpa tertutup kabut.

Medan masih berbatu dan berpasir. Namun, kini batu-batu yang saya temui lebih besar dan berwarna lebih cerah dan kehitaman.

“Batu-batu ini dari jejak letusan Gunung Slamet,” kata Wawan.

Asap terus mengepul di sekeliling saya. Bau sulfur terasa sangat familiar. Kami pun tak menggunakan penutup wajah dan hidung.

Kami terus berjalan agar menemukan titik pertemuan jalur turun menuju ke arah Guci. Hal yang paling mendebarkan saat itu adalah ketika melintasi igir-igir kawah Gunung Slamet.

“Itu kawahnya masih aktif,” kata Wawan.

Gunung Slamet sendiri termasuk gunung api yang masih berstatus aktif. Area kawah masih mengeluarkan kepulan asap belerang. Oleh karena itu, di kaki Gunung Slamet juga banyak obyek wisata pemandian air panas yang berasal dari panas bumi di perut bumi.

Jarak pandang di depan kami mungkin hanya berkisar lima meter. Namun, saat angin bertiup, tebing-tebing kawah yang menjulang dan melingkar sesekali terlihat.

Suasana hening di sekitar kawah terasa sunyi. Suara yang muncul hanya langkah kaki yang bersepatu di bekas medan bebatuan, bekas letusan Gunung Slamet.

“Bener-bener mirip Mars, Wan. Batu-batu tinggi,” kata saya meski hanya tahu Planet Mars dari foto maupun literatur lainnya.

Bongkahan batu khas letusan vulkanik juga bervariasi ukurannya. Ada batu kerikil hingga kerikil batu setinggi lebih dari satu meter.

Bagi saya, ini adalah salah satu pengalaman mendaki gunung terbaik sepanjang bergelut di dunia pendakian. Jalur yang bervariasi dan menantang serta pengalaman melihat kawah gunung dari dekat adalah ganjaran berpeluh keringat.

Hesti dan Reza juga tak ketinggalan untuk mengabadikan momen. Kami bergantian mengabadikan diri dengan tetap mengutamakan keselamatan.

Wawan mengingatkan agar tak berlama-lama di berada di pinggir kawah. Kami langsung angkat ransel dan berbelok turun ke jalur pendakian Guci.

Gunakan masker dan sepatu khusus mendaki gunung. Ajak juga rekan yang telah berpengalaman mendaki gunung atau gunakan jasa pemandu gunung yang berpengalaman dan bersertifikat resmi.

Bila diingat pengalaman pendakian gunung dengan 3.428 meter di atas permukaan laut (mdpl) ini akan terasa mengerikan.

Apalagi, Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) telah menaikkan status Gunung Slamet dari status normal (level I) menjadi waspada (level II) per tanggal 9 Agustus 2019 pukul 09.00 WIB.

Dengan tanda-tanda yang terdeteksi, Kasbani mengatakan sewaktu-waktu erupsi atau letusan bisa saja terjadi di Gunung Slamet.

Gunung Slamet, semoga kamu tetap tenang…

https://travel.kompas.com/read/2019/08/09/222941227/perjalanan-menyusuri-kawah-gunung-slamet-serasa-berada-di-planet-mars

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke