Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mencicipi Nasi dan Mi Goreng Legendaris Sejak Zaman Presiden Soekarno

Lokasinya berada di Jalan Mangga No 26 Bandung atau tak jauh dari rumah istri keempat Presiden Soekarno, almarhumah Hartini.

Di sini, pengunjung akan disuguhkan pemandangan tak biasa. Kesan tradisional sangat terasa dari cara memasak mi dan nasi goreng yang menggunakan tungku tungku arang.

Pesan kemudian duduklah. Dalam waktu singkat, pengunjung akan mencium aroma menggoda mi dan nasi goreng. Belum kenyang mencium aroma lezat, pesanan sudah tersaji di meja.

Kemudian cicipilah. Bumbu dalam mi dan nasi goreng begitu memanjakan lidah. Hal inilah yang membuat para pengunjung dari dalam dan luar negeri selalu berkunjung ke warung kecil ini.

“Konsumennya macam-macam. Ada anak sekolah, kuliahan, orang kantoran, pejabat seperti wali kota Bandung, sampai orang-orang luar negeri,” ujar Sani kepada Kompas.com, belum lama ini.

Mereka, sambung Sani, kerap kembali ke tempatnya karena rasa nasi dan mi goreng warungnya tidak berubah sejak zaman Soekarno.

Itu pula yang membuatnya mempertahankan anglo (tungku arang) untuk memberikan aroma arang dalam masakannya.

“Penggunaan anglo juga membuat makanan cepat makan. Perbandingannya, jika menggunakan gas dapat 2 porsi, maka pakai anglo bisa 5 porsi,” ucapnya.

Sejak 1950

Sani mengatakan, usaha nasi dan mi goreng diturunkan dari sang ayah, Suyud. Suyud mulai berjualan dengan cara dipikul sejak tahun 1950.

Pada malam hari setelah siangnya menjadi buruh bangunan, Suyud biasanya keluar rumah memikul dagangannya berkeliling Kota Bandung.


Salah satu kawasan yang dimasuki Suyud adalah kompleks jenderal hingga orang-orang penting di Indonesia, seperti kediaman istri Soekarno.

“Mereka itu langganan ayah saya,” ungkapnya.

Cara memasak nasi dan mi goreng saat itu sangat sederhana. Dengan menggunakan arang kemudian dikipas mirip cara memasak kerak telor.

Sebagai penerangan, ayahnya menggunakan lampu semprong yang sumbunya bisa diperkecil ataupun diperbesar.

Jika dagangan habis, sang ayah baru pulang. Namun biasanya ayahnya akan pulang sekitar pukul 2 pagi.

“Lama kelamaan, ia fokus hanya jualan nasi dan mi goreng. Tidak jadi buruh bangunan lagi,” tutur Sani.


Konferensi Asia Afrika

Pada tahun 1955, Bandung dipilih menjadi tempat penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika (KAA). Para pemuda di Kota Bandung sibuk menjadi panitia.

Ada yang bertugas mengumpulkan kendaraan dari para pembesar di Bandung untuk para delegasi, hingga mengurus santapan yang akan dihidangkan.

Berbagai makanan terkenal di Kota Bandung pun dikumpulkan. Salah satunya mi goreng Pak Suyud. Sejak saat itu, mi goreng Pak Suyud pun makin terkenal.

Setelah Suyud meninggal, Sani menggantikan bisnis mi dan nasi gorengnya. Berbeda dengan sang ayah, ia mengubah konsep jualan.

Dari mulai menggunakan anglo hingga berjualan dari siang hingga Isya. Bahkan jika sudah habis, ia bisa tutup sore hari.

“Banyak yang bilang aneh, karena nasi dan mi goreng biasanya dijual malam. Tapi meski dibilang aneh, banyak orang yang ngikut,” tutur Sani.

Harga Khusus Pelajar

Keunikan lainnya dari mi dan nasi goreng Sani Landoeng adalah porsinya yang besar. Satu porsi seharga Rp 20.000 bisa untuk dua orang.

Jadi bagi mereka yang makan sedikit, setengah porsi pun bisa tidak habis. Untuk itu, bijaklah saat memesan sehingga tidak ada makanan yang terbuang.

Hal unik lainnya adalah harga. Sani memberikan potongan harga Rp 5.000 untuk pelajar dan mahasiswa. Jadi jika harga umum Rp 20.000, bagi para pelajar dan mahasiswa cukup membayar Rp 15.000.

Potongan harga ini diberlakukan sejak generasi pertama. Ayahnya, Suyud, kerap memberikan diskon pada para mahasiswa yang merantau ke Bandung untuk belajar.

Bahkan bila uang kiriman orangtua para mahasiswa belum cair, mereka kerap mengutang kepada Suyud.

Ada kalanya para mahasiswa ini akan membayar dengan pakaian atau barang lainnya, tapi Suyud selalu menolak.


Suyud kemudian berkata agar pakaian itu disimpan karena dibutuhkan. Utang nasi dan mi goreng dibayar setelah dapat uang saja.

Banyak mahasiswa yang membayar utangnya setelah mendapatkan kiriman uang atau bekerja. Namun ada pula yang lupa membayar.

“Kenapa bisnis ini bertahan sampai sekarang mungkin karena senang berbagi. Sampai sekarang pun sama,” tutupnya.

https://travel.kompas.com/read/2019/08/20/082000427/mencicipi-nasi-dan-mi-goreng-legendaris-sejak-zaman-presiden-soekarno

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke