Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menelusuri Kampung Tugu, Jejak Portugis di Utara Jakarta

Komunitas masyarakat ini adalah orang Tugu atau lebih dikenal sebagai orang Betawi Portugis.

Salah satu budayawan yang juga pemimpin kelompok musik Orkes Keroncong Cafrinho Tugu, Guido Quiko menuturkan, keberadaan komunitas masyarakat Kampung Tugu tak lepas dari sejarah kota perdagangan di Malaka, Malaysia.

Sekitar periode tahun 1511-1641, Malaka berada di bawah kendali pasukan Portugis.

Lanjut Guido, tahun 1648, Belanda menguasai Malaka. Tentara Portugis yang berasal dari Goa, Bengal, Malabar, dan daerah-daerah jajahan lainnya dijadikan tawanan perang.

Mereka lalu dibawa ke Batavia untuk dijadikan pekerja atau serdadu VOC.

“Sekitar 800 orang itu dibawa oleh Belanda ke Batavia ini sebagai tawanan, masuk tahun 1661 itu orang-orang Portugis yang ada di Batavia diminta untuk masuk Kristen Protestan kemudian mereka dibebaskan dari segala pajak dan dibuanglah ke Kampung Tugu ini. Dulu namanya Batavia Tenggara,” kata Guido kepada Kompas.com, di sela-sela istirahat acara Perayaan Ulang Tahun Gereja Tugu yang ke-271, Minggu (3/11/2019).

Guido menuturkan bahwa orang Betawi dulu kesulitan menyebut nama Portugis. Oleh karena itu, kemudian disebut dengan Tugu.

"Sejak saat itu di sini kami mengembangkan kebudayaan. Sejak awal hingga kini sudah berusia kurang lebih 350 tahun, kami beranak cucu di sini, untuk menjaga tradisi,” jelasnya.

Terlihat dari pantauan Kompas.com, ketika menuju ke area Kampung Tugu, banyak truk tronton yang melintas dari dan menuju Pelabuhan Tanjung Priok.

Bahasa khas di Kampung Tugu...

Bahasa Kreol Tugu

Kampung Tugu memiliki sebuah bahasa sendiri bernama bahasa Kreol Tugu. Orang-orang keturunan Portugis (mestizo) hidup dan berkembang.

“Ini jadi salah satu budaya yang terus dikembangkan, mulai dari anak kecil semua udah diajari Bahasa Kreol karena ini budaya kita, harus terus ada. Orang Tugu sebenarnya dulu ada banyak tetapi saya gak tahu mereka pindah ke mana, ada yang tetap di Jakarta, ada juga yang ke luar negeri,” ujarnya.

Guido mengatakan saat ini orang keturunan Portugis masih memakai nama-nama leluhur mereka, seperti Abraham, Andreas, Cornelis, Michiels, Salomons, Saymons, Quiko, dan Browne.

Masyarakat Kampung Tugu hidup membaur dengan warga lain yang berasal dari berbagai komunitas. Maka dari itu, kampung ini juga dijuluki sebagai kampung toleransi karena terdiri dari beragam suku, seperti Ambon, Betawi, Sunda, Jawa, Batak, dan masih banyak lagi.

Gereja Tugu yang bersejarah...


 

 Gereja Tugu

Tahun 2019, gereja peninggalan Portugis yang masih tersisa di Kampung Tugu yang bernama Gereja Tugu merayakan ulang tahunnya yang ke-271. Gereja ini merupakan pemberian tuan tanah Belanda, Justinus van der Vinch.

Gereja ini dibangun pada 1747. Gereja Tugu atau sekarang bernama GPIB Tugu merupakan gereja ketiga. Gereja sebelumnya yang dari papan kayu dan bilik telah rusak.

“Lokasinya dulu gak di sini, adanya di dekat Gereja Katolik Salib Suci. Karena hancur, lalu dibangun lagi tahun 1740, gereja kedua dirusak oleh pemberontakan China, ini jadinya gereja ke tiga. Dibangun oleh tuan tanah Cilincing, Justinus Vinch,” ujar Aprelo Formes penasihat dan pengurus Gereja Tugu kepada Kompas.com.

Musik khas Kampung Tugu...


 

Keroncong Tugu

Masyarakat Kampung Tugu yang hidup jauh dari pusat kota, dahulu merasa kesulitan mendapat hiburan. Maka timbul keinginan membuat peralatan musik, seperti gitar kecil menyerupai ukulele.

“Ketika dimainkan bunyi gitar ‘crong…crong…crong’ orang kemudian menyebut kami sedang main musik keroncong. Dulu orang Portugis biasa menghibur diri dengan bermain musik ini saat sore selepas mereka mencari nafkah,” kata Guido.

Kini, komunitas masyarakat Kampung Tugu dikenal terampil memainkan alat musik. Musik Keroncong Tugu juga terus berkembang.

Dari yang awalnya terdiri dari tiga-empat gitar, lalu ditambah dengan iringan suling, biola, gendang, rebana, dan alat musik lain.

Lagu-lagu yang dimainkan juga beragam. Salah satu peninggalan Portugis yang masih eksis adalah lagu “Durmer Durmir Neina” atau Nina Bobo. Nina berasal dari kata Menina yang artinya ‘gadis kecil’ sementara bobo berarti ‘tidur’.

Guido menuturkan mungkin mereka satu-satunya keturunan Portugis di Indonesia yang punya komunitas.

"Jadi saya berharap nanti ada tulisan gitu menandakan Kampung Portugis Tugu, bukan Kampung Tugu aja, karena kami memang berasal dari keturunan Portugis, mudah-mudahan budaya yang ada di sini semakin dikembangkan,” harap Guido.

https://travel.kompas.com/read/2019/11/03/210000827/menelusuri-kampung-tugu-jejak-portugis-di-utara-jakarta

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke