Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kisah Awal Mula Lahirnya Tas Aceh yang Kini Mendunia

Pengrajin tas ini berpuluh tahun menghabiskan hidupnya dengan benang dan kain--mengubahnya menjadi tas aneka warna, beragam ukuran, multifungsi.

Seluruh tas kreasinya bermotif khas Aceh, seperti rencong, pinto Aceh dan lain sebagainya.

Bagi Zainabon, kerajinan tas bukan sebatas usaha dan bisnis menghidupi keluarga. Namun, meneruskan usaha turun temurun yang dirintis sejak neneknya dahulu. 

Kenangan Zainabon melambung ke puluhan tahun silam. Dulu, katanya, kerajinan bordir masih sebatas untuk kopiah dan sajadah. Lalu muncul ke model tas, seperti yang ditekuni kini.

Varian tas kreasi Zainabon beragam, seperti tas jinjing, dompet, ransel hingga koper.

Zainabon ingat betul, sebelum membuat tas saat ini, ia lebih dulu menjual sajadah di pasar daerah Krueng Geukueh.

"Saat itu, tikar sajadah dari anyaman pandan, tapi pembeli meminta dengan harga murah," ceritanya.

Kemudian, Dinas Industri Kabupaten Aceh Utara memesan 20 sajadah untuk dibawa ke festival kerajinan di Banda Aceh pada medio 1980-an. Zainabon turut serta mengajak masyarakat untuk menganyam sajadah pesanan itu.

"Saat itu waktu diberikan sangat singkat, (karena itu) saya mengajak warga untuk membantunya mengayam tikar pesanan," katanya.

Pada tahun yang sama, Pemerintah Aceh mengirimnya untuk mengikuti festival di Tasikmalaya, Jawa Barat. Dari sana, Zainabon banyak belajar.

Selama sebulan penuh Zainabon menimba ilmu bordir dengan segala macam kerumitannya.

Sepulang dari Tasikmalaya, ia mulai mengembangkan tas motif Aceh yang kini dikenal luas hingga ke mancanegara.

Produk tas khas Aceh kian populer setelah tsunami melanda pada 2004 silam.

Para warga negara asing (WNA) yang saat itu membantu rehabilitasi dan rekonstruksi suka dengan kerajinan tersebut. Dari situ lah tas kian dikenal luas ke mancanegara.


Ratusan pengrajin tas khas Aceh

Salah seorang Pengrajin, Maryana, menyebutkan mulai bisnis kerajinan itu tahun 2006. Hingga kini, 50 pekerja berada di unit usaha miliknya.

Dulu, dia memulai dengan bermodal Rp 500.000 dan tiga pekerja. Kini, usaha itu semakin berkembang. Omzetnya bisa mencapai Rp 150 juta per bulan.

Dalam sehari, Maryana mengaku bisa memproduksi 150 tas. Pesanan itu tembus ke pasar internasional, seperti Kanada, Amerika Serikat, Malaysia, Spanyol dan sejumlah negara di Asia Tenggara.

Kini, Maryana sadar, pengetahuan bisnisnya bukan sebatas miliknya. Tas Aceh makin mendunia. Oleh karena itu, ia beberapa kali memberikan pelatihan untuk pengrajin di Aceh Utara.

Kepala Desa Ulee Madon, Tgk Salahuddin AB mengapresiasi seluruh pengrajin di desanya. Dia tak henti-hentinya mengajak seluruh lembaga keuangan, lembaga sosial, dan pemerintah untuk bekerjasama dengan pengrajin desa itu.

Dia menyebutkan, Bandabags salah satu toko online, bahkan menjual tas ke Amerika Serikat.

"Sekarang sudah banyak super market juga menjual tas Aceh. Bisa kita lihat mulai dari supermarket di Lhoksuemawe, Jakarta, Medan, Bandung," kata Salahuddin.

"Itu menandakan, tas ini bukan sebatas karya khas Aceh, juga keren untuk segala usia,” katanya.

Sayangnya, untuk merk dan hak paten, umumnya belum diurus ke Kantor Kementerian Hukum dan HAM. Ini pula yang diharapkan Salahuddin menjadi perhatian pemerintah.

"Kami harap ini bisa dibantu pemerintah untuk urusan hak paten ini," katanya.

Kini, Ulee Madon terus menggeliat dengan kerajinannya. Asa mereka melambung agar terus berkembang.

Mereka butuh sentuhan pemerintah, agar bisnis rumahan itu bukan dikenal lebih luas dan mendunia.

https://travel.kompas.com/read/2020/03/06/074000127/kisah-awal-mula-lahirnya-tas-aceh-yang-kini-mendunia

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke